Part 05
Suara tongkat yang digunakan Eliora seakan menjadikan dirinya pusat perhatian di sebuah apartemen mewah di Manhattan. Seorang security mengantarkan Eliora ke unit tempat Morgan. Agar wanita itu tak tersesat karena baru pertama kali menginjakkan kakinya di sana.
“Terima kasih pak, kau bisa tinggalkan aku. Aku sudah menghafal langkah untuk kembali,” ujar Eliora.
“Sama-sama, Nona. Semoga kasusmu diterima Mr.Dexter,” jawab security tersebut.
Eliora mengangguk dan tersenyum kembali. Lalu security pergi dan Eliora mulai meraba pintu apartemen hingga ke sisi pintu dan terdapat sebuah tombol kecil.
Eliora sempat menarik napas sebelum dia menekan tombol bel pintu itu.
Dia menunggu beberapa saat setelah dia memencet tombol tersebut. Namun cukup lama tak mendapat sambutan, membuat Eliora kembali menekan tombol bel berbentuk bulat.
Hingga baru saja dia selesai menekannya. Suara pintu dibukakan terdengar. Dan suara berat menyapanya.
“Siapa kau?” tanya Morgan dingin.
Dia berdiri di hadapan Eliora dengan tubuh setengah polos, memperlihatkan perut kotak-kotak yang terbentuk sempurna. Walau tak bisa dinikmati oleh Eliora. Namun wangi maskulin tercium jelas oleh indera penciuman Eliora.
“Aku Eliora, apa benar ini tempat tinggal Mr.Dexter?” tanya Eliora.
Morgan mengerutkan keningnya bingung. “Ya benar. Tapi, maaf aku sedang tak menerima tamu!” tolaknya langsung.
“Ah… Tunggu sebentar,” tahan Eliora.
Tangannya secara spontan hendak menahan pintu. Namun bukan pintu yang tersentuh oleh tangan lembut Eliora yang terasa dingin. Melainkan tubuh liat Morgan yang terasa keras tersentuh secara tak sengaja. Membuat Morgan yang hendak menutup pintu, jadi menghentikan niatnya.
Dengan tatapan yang turun ke tangan Eliora. Morgan berdeham sehingga perutnya sedikit bergetar. Dan membuat Eliora merasakan getaran di tangannya lalu menarik tangan mungil itu dari perut Morgan.
“Hm… Maaf, sebelumnya jika mengganggu waktumu. Aku kesini karena diminta adikmu -Autumn- untuk datang. Dia bilang kau bersedia membantuku dan anakku. Jadi kuharap kau mengizinkanku masuk sebentar untuk menjelaskan niatku datang ke sini,” bujuk Eliora.
Morgan kembali mengerutkan keningnya. Menilik penampilan Eliora yang masih rapi dengan seragam kerjanya. Dia mengingat permintaan Autumn siang tadi. Bahwa kakak ipar dari kekasihnya akan datang ke tempatnya untuk mengajukan kasus pelecehan anaknya.
Hm… Wanita ini terlihat cantik dan manis. Namun sayang… dia buta, batin Morgan.
“Hm… jadi bagaimana, Sir? Bolehkah aku masuk?” tanya Eliora.
Morgan tersadar setelah menilai penampilan Eliora dari atas hingga ke bawah. Lalu dia mengingat ucapan adiknya lagi yang berbunyi meremehkannya.
Membuatnya mau tak mau harus menerima tamu tak tepat waktu itu untuk masuk ke dalam apartemennya. Namun dirinya mempunyai ide untuk membuat wanita di hadapannya itu menyerah dan memilih pulang.
“Ya… tapi apa kau mau menunggu di ruang tamu selama kurang lebih satu jam? Aku sedang tanggung mengurus pekerjaanku,” ujar Morgan beralasan.
Mengingat bahwa sebelum Eliora datang…, dia sedang tanggung hendak melakukan kegiatan panas dengan asistennya -Jasmine-. Setelah tadi siang kegiatannya itu diganggu oleh Autumn. Sekarang dia juga diganggu oleh wanita buta di hadapannya itu.
Morgan dan keangkuhannya… Tak ingin menunggu sebuah jawaban terlalu lama. “Baiklah… silahkan datang besok!” tukas Morgan dan hendak menutup pintunya.
“Ah…! Tunggu. Iya, aku mau!” jawab Eliora berseru.
Lalu Morgan membuka pintunya. “Cepatlah masuk,” pinta Morgan kesal.
Siasatnya untuk membuat wanita itu pergi, gagal total karena ternyata Eliora begitu keras kepala.
“Hah… terima kasih,” balas Eliora merasa bersyukur.
Lalu Eliora melangkah masuk dengan tongkat yang diarahkan ke depan. Sehingga tongkat itu hampir mengenai Morgan. Membuat pria itu harus sedikit menghindar walau akhirnya tetap mengenai kakinya dan membuatnya memekik karena tongkat Eliora mengenai tepat di tulang keringnya.
“Ash… shit!” umpat Morgan berdesis, “berhenti!” perintah Morgan.
“Hah? Kenapa? Apa aku sudah melewati pintu?” tanya Eliora tanpa rasa bersalah.
“Belum… tapi biar aku yang menuntunmu saja!” tukas Morgan menahan kesal.
Lalu dia hendak meraih tangan Eliora. Namun melihat tongkat Eliora membuatnya mengurungkan niatnya, mengingat tulang keringnya masih terasa berdenyut.
“Hm… bisa kau simpan dulu tongkatmu?” pinta Morgan.
“Oh, tentu.”
Lalu dengan cekatan Eliora mengangkat tongkatnya dan melakukan lipatan tongkat dengan lihai. Hingga membuat Morgan sedikit kagum, walau sebenarnya itu biasa saja bagi Eliora yang sudah sering melakukannya.
“Sudah, jadi… kemana aku harus melangkah?” tanya Eliora. Menyadarkan Morgan dari keterkagumannya.
“Ah, ya. Bolehkah aku menuntunmu saja?” tanya Morgan meminta izin dengan sopan.
“Ya,” jawab Eliora.
Lalu Morgan meraih tangan dan pundak Eliora, membawa wanita itu untuk mengikutinya dengan perlahan.
Jasmine keluar dari kamar, dan hendak bersuara. Namun Morgan menahan niat Jasmine dengan melakukan gerakan menutup mulut menggunakan jari telunjuknya.
Jasmine mengerti dan mengangguk. Mengikuti perintah Morgan untuk tetap diam.
“Kemari… Duduklah di sini dulu. Aku akan mengambilkanmu minum dan sedikit camilan,” ujar Morgan.
Dia menyuruh Jasmine mengambilkannya, sembari dirinya mencari sebuah earphone untuk dipakaikan kepada Eliora.
“Ini, dikirimu ada segelas air. Dan dikananmu ada setoples kue kering. Lalu….” Morgan meraih kedua tangan Eliora dan memberikan earphone beserta alat pemutar musik.
“Apa ini?” tanya Eliora.
“Jika kau bersedia menungguku selama satu jam. Aku ingin kau menutup telingamu agar tak mendengar apapun yang kulakukan. Kau harus tahu, aku memiliki banyak telepon masuk dan membicarakan hal serius mengenai kasus orang lain. Aku tak ingin kau mencuri dengar saat aku sedang melakukan itu,” jelas Morgan.
Yang sebenarnya… dia tak ingin kegiatan panasnya terganggu karena di dengar Eliora.
“Apa kau akan sibuk selama satu jam itu?” tanya Eliora.
“Ya. Kenapa? Apa kau keberatan?” tanya Morgan. Berharap wanita di hadapannya itu keberatan dan memilih pulang saja.
Eliora mengingat ucapan petugas polisi yang memberi waktu hanya tiga hari untuk mendapatkan seorang pengacara.
“Tidak. Aku tak keberatan sama sekali. Silahkan selesaikan pekerjaanmu. Aku akan menunggu,” jawab Eliora kembali membuat Morgan kesal karena lagi-lagi usahanya untuk membuat Eliora pergi, gagal lagi.
“Baiklah… selamat menunggu!” tukas Morgan.
Lalu dia masuk ke dalam kamar sambil bercumbu dengan Jasmine, setelah memastikan Eliora sudah mendengarkan musik dengan volume tinggi.
Morgan tak peduli dengan Eliora yang menunggunya begitu lama. Dia dan Jasmine sudah melakukan foreplay sejak siang tadi. Dan terus tertunda karena kedatangan Autumn.
Sekarang… Morgan maupun Jasmine tak mau berhenti sebelum mereka merasakan kepuasan. Tak peduli jika tiba-tiba suara mereka terdengar karena lebih besar pekikan dan erangan mereka dibandingkan suara lagu dari alat pemutar musik yang sedang didengarkan Eliora.
Yang jelas saat ini, Eliora duduk dengan tenang disofa yang di latar belakangi adegan Morgan dan Jasmine yang bercinta di dalam kamar. Mereka sengaja tak menutup pintu karena merasa Eliora sendiri tak bisa melihat kegiatan panas tersebut.
Tanpa tahu wanita yang tak dapat melihat apapun itu bisa mendengar kegiatan sialan mereka. Walau Eliora sudah mengeraskan volume dari lagu yang didengarnya di alat pemutar musik.
Eliora merasa hal itu tak harus dilakukan Morgan. harusnya Morgan tak membuatnya merasa bodoh seperti sekarang ini. Merasa tak dianggap keberadaannya karena dirinya yang buta. Lalu diminta mendengarkan lagu yang sama sekali tak mempengaruhi suara erangan mereka yang masih terdengar jelas.
Eliora berusaha menahan semua itu. Dia terpaksa dan terus mengingat perkataan petugas polisi yang menyuruhnya untuk mendapatkan pengacara demi membela anaknya.
Dan dia hanya diberikan waktu tiga hari. Yang dimana saat ini sudah hari kedua, berarti hanya ini kesempatannya untuk meminta bantuan. Tak ada waktu lagi jika dia pergi hanya karena tak bisa menahan apa yang didengarnya saat ini sungguh menggelikan.
Tapi… apakah harus sampai seperti ini?
Menjadi seperti orang yang mengemis pertolongan. Eliora memejamkan matanya sekilas saat setetes air mata jatuh mengalir ke pipinya. Dia mengusapnya dengan tangan gemetar yang terasa dingin.
Tenang El… demi Hazel. Ya… ini semua demi Hazel, batin Eliora mencoba menguatkan dirinya.
Hingga tepat satu jam…
Morgan menghampirinya dengan keadaan yang sudah segar. Setelah menyiksa Jasmine dengan percintaan kasar hingga membuat asistennya terkapar lemah di atas ranjang. Lalu dia membersihkan dirinya.
Entah kenapa... Sampai saat ini Morgan merasa jijik setelah puas melampiaskan nafsunya dengan wanita manapun. Dia pasti akan selalu langsung membersihkan dirinya.
Tangan Morgan meraih earphone yang masih terpasang di telinga Eliora. “Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Ayo… ikut aku ke ruang kerjaku,” ajak Morgan tanpa merasa bersalah.
Eliora mengangguk dan berdiri dari duduknya. Mencoba meraih sebuah tangan untuk menuntunnya.
Namun Morgan lupa bahwa Eliora buta. Dia berjalan lebih dulu hingga kaki Eliora menabrak ujung meja dan terdengar suara gelas yang terjatuh ke lantai.
Membuat Morgan menoleh dan mengusap wajahnya kasar. Hingga meruntuk dalam hati karena harus disusahkan dengan wanita buta seperti Eliora.
“Maaf… aku tak sengaja,” kata Eliora mencoba berjongkok untuk membereskan kekacauan yang dia buat.
“Biar kubantu,” ujar Morgan membawa Eliora untuk berdiri dan menyingkir dari pecahan gelas tersebut.
“Kau salah jika kau berniat untuk membersihkan semua ini. Biarkan saja… Aku akan meminta asistenku nanti untuk membereskannya,” ujar Morgan.
“Sungguh… Aku minta maaf, telah merepotkanmu dan asistenmu,” sesal Eliora.
“Tak apa. Ayo… Kutuntun ke ruang kerjaku,” ajak Morgan.
Lalu Eliora dan Morgan beranjak dari ruang tengah menuju ruang kerja. Membawa wanita itu untuk segera menyelesaikan urusannya di apartemen itu dan menyuruhnya pulang.
______
Morgan duduk di kursi kebesarannya. Setelah mengantarkan Eliora untuk duduk di hadapannya. Sebuah meja kerja menjadi pembatas mereka.
Morgan membolak balik lembaran yang diberikan Eliora. Yang berisi rangkuman kasus yang menimpa anak Eliora. Tentunya Chase yang menyiapkan semua itu.
Morgan membuka kacamata beningnya sambil membetulkan posisi duduknya dari santai hingga tegak.
“Well… bagiku ini kasus yang mudah. Namun mungkin bagimu ini begitu sulit. Maka dari itu kau mendatangiku, bukan?” simpul Morgan.
Eliora mengangguk sambil tersenyum walau terlihat dipaksakan.
“Baiklah… sebenarnya aku tak ingin mematok harga. Namun kau tahu aku juga harus mencari uang untuk kehidupanku. Jadi aku akan meminta uang pembayaran sebesar $1.500 USD untuk kasus seperti ini. Bagaimana? Biasanya aku meminta dua kali lipat dari itu,” tutur Morgan begitu ringan. Seakan uang senilai itu tak berarti baginya.
Sementara bagi Eliora yang hanya mendapat gaji berapa ratus dollar sudah cukup untuk hidup sederhana dengan Hazel. Dan sekarang… harga yang ditawarkan bukanlah kecil bagi Eliora. Itu setara dengan gaji Eliora selama dua bulan penuh. Itupun digunakan dengan menghemat beberapa biaya yang tak perlu.
“Bagaimana? Hm… kau bisa membayarnya dua kali, diawal saat penanganan kasus ini dimulai. Dan diakhir setelah kasus selesai. Mengingat kau adalah kakak ipar dari kekasih Autumn. Aku memberikan cara mudah untukmu,” jelas Morgan seakan semua itu membantu Eliora.
Yang nyatanya semua itu malah semakin mempersulit Eliora.
“Maaf… sepertinya aku tak bisa membayarnya walau di bagi dua kali pembayaran. Apa kau sungguh tak mempunyai cara lain?” tanya Eliora.
Morgan mengerutkan keningnya lalu terkekeh pelan. “Maaf… sebelumnya, aku sebenarnya sudah menolak permintaan adikku. Namun karena dia memohon dan memintaku untuk mengurangi biaya pengacaraku dari biasanya, maka dari itu aku memberikan penawaran itu!” tukas Morgan seolah meremehkan Eliora.
Melihat Eliora yang hanya diam dengan wajah yang memelas dan berpikir keras. Membuat Morgan kembali membuka suaranya.
“Eherm… Namun jika kau meminta cara lain aku tak tahu harus memberitahukannya padamu atau tidak. Karena ini sangat rahasia, dan hanya aku dan klienku yang menyetujui kesepakatan ini. Bahkan Autumn tak mengetahuinya," pancing Morgan.
Melihat raut wajah Eliora yang masih berharap. Morgan kembali bersuara.
"Bagaimana? Jika kau setuju dengan persyaratanku untuk tak menyebarkan persyaratanku. Aku akan memberitahukannya padamu… masalah kau mau atau tidak itu belakangan. Namun aku tak ingin rahasiaku terbongkar,” timpal Morgan.
Eliora kembali berpikir sejenak hingga membuat Morgan mulai muak dan hendak beranjak, menganggap wanita buta itu tak akan mau menerima tawaran gilanya.
Lagipula Morgan sendiri tak tertarik menawarkan persyaratan gilanya kepada wanita seperti Eliora.
“Baiklah. Aku menyetujui persyaratanmu. Katakan… alternatif apa yang kau miliki agar bisa memudahkanku,” putus Eliora menghentikan langkah Morgan yang sudah mencapai pintu.
Pria itu berbalik dan kembali duduk di bangkunya.
“Baiklah… hah… aku yakin kau tak akan menyukai ini,” kata Morgan seolah tak ingin dikatakan menjebak wanita seperti Eliora.
“Katakan saja. Jika memang biayanya bisa dikurangi,” ujar Eliora memaksa.
“Aku mungkin akan menggratiskan biayanya untukmu. Namun dengan syarat….” Morgan sengaja menggantung kalimatnya.
Membiarkan Eliora mengerutkan keningnya demi mendengarkan tawarannya.
“Aku akan menggratiskan biayanya, jika kau … bersedia ‘tidur’ denganku,” ungkap Morgan dengan sengaja.
Dia yakin Eliora tak akan mau melakukan hal intim tersebut. Melihat dari penampilan Eliora yang tampak seperti wanita baik-baik saja.
Morgan menyeringai melihat Eliora yang kembali diam. Bahkan kali ini disertai raut wajah takut dan seakan tak bisa menerima persyaratan yang dibuatnya.
“Lupakan… aku tak akan memaksa. Apalagi kau adalah—”
“Ya… Aku bersedia,” sela Eliora.
Membuat Morgan terdiam. Tak menyangka... sejak awal melihat dan mengira Eliora, yang dipikirnya tak akan mampu menyanggupi tantangannya.
Namun wanita itu selalu membuat Morgan kehabisan akal untuk membuat Eliora menyerah.
“Aku memang tak memiliki uang sebanyak itu. Namun aku bersedia tidur denganmu sebanyak dua kali. Diawal saat kau bersedia menangani kasus ini. Dan diakhir saat kau memenangkan kasusnya,” tekad Eliora dengan yakin.
Sial! Bagaimana caranya berpikir. Apa dia tak tahu seperti apa aku yang sebenarnya, batin Morgan.
“Bagaimana?” tanya Eliora seolah menantang balik Morgan, yang sejak tadi menantangnya.
Ya ampun… Bahkan sekarang dia yang menantangku! tukas Morgan dalam hati.
“Hah… baiklah. Lagipula aku tak pernah merasakan tidur dengan wanita yang tak bisa melihat apapun,” jawab Morgan sarkas.
Semoga keputusanku ini sudah benar. Demi Hazel. Ya Tuhan… semoga ini jalan terbaik yang sudah kau sediakan untukku. Maafkan aku, Mark, batin Eliora merasa bersalah dengan mantan suaminya.
Aku akan membuatmu menyesal telah menantang seorang iblis sepertiku, batin Morgan.
**