9. Para Benalu
Aldric memasuki kamarnya dengan langkah pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Roy yang tampak tertidur pulas di sofa ruang tengah. Selain itu, dia juga tidak ingin membangunkan Betty yang tengah terlelap di kamar Abigail.
Aldric menyimpan pisau favoritnya ke dalam laci sebelum berbaring di atas ranjang. Belum sepenuhnya menutup mata, terdengar suara dering ponsel yang membuatnya kembali membuka mata.
Unknown Number
"Hadiah yang menarik," ucap seseorang di seberang sana yang membuat Aldric tersenyum.
"Kau menyukainya?"
"Tidak, tapi setidaknya itu menunjukkan jika kau masih seperti dulu," jawab pria itu.
“Apa maumu?" tanya Aldric tidak ingin berbasa-basi.
"Membuat hidupmu menderita." Aldric semakin tersenyum mendengar itu.
"Hidupku memang tidak pernah bahagia," jawab Aldric penuh maksud tapi ekspresi wajahnya yang tenang seolah menutupi itu semua.
"Ya, sebelum wanita berkaca mata itu datang. Bisa-bisanya kau melupakan anakku begitu saja setelah apa yang kau lakukan?"
"Aku tidak pernah melupakan Kate, melupakan semua kebodohannya," jelas Aldric.
"Itu karenamu, sialan!" Pedro berteriak penuh emosi, masih tidak terima kenyataan jika anaknya sudah pergi.
Aldric tidak memperdulikan kemarahan Pedro. "Cepat katakan apa maumu?"
"Bethany wanita yang menarik."
Aldric memejamkan mata sebentar dan kembali membukanya. "Kau tahu dia tidak ada hubungannya dengan semua ini."
Pedro tertawa di seberang sana, "Apa kau khawatir?"
"Tidak."
"Kalau begitu biarkan aku mengganggunya. Dia cukup menarik," seringainya.
"Coba saja." Aldric memutus sambungan telepon dan melempar ponselnya ke sembarang tempat. Melihat bagaimana Pedro membicarakan Betty, Aldric yakin pria itu juga tidak akan menyakiti Betty. Jika memang Pedro berani menyentuh Betty maka Aldric mempunyai alasan yang tepat untuk membunuh pria itu.
***
Betty tidak bisa berhenti menggerutu saat Aldric kembali meletakkan telur acak di hadapannya. Dia bosan dengan makanan itu.
"Berhenti menggerutu dan habiskan makananmu."
Betty menghela nafas kasar dan menatap Aldric yang masih berkutat di dapur. "Aku ingin pulang."
"Setelah makananmu habis."
Betty dengan malas memakan makanannya, "Kenapa kau hanya mempunyai telur dan roti? Tidak mungkin jika kau setiap hari makan ini."
"Telur lebih efisien."
Betty berdecak, "Kau membutuhkan ikan, sayur, susu, dan lainnya. Telur saja tidak cukup."
"Aku mendapatkan sayur di tempat Khalid," jawab Aldric dan meletakkan roti bakar dengan alpukat di sisinya.
"Itu berbeda, setidaknya jika aku ke sini lagi aku bisa mengolah sesuatu. Kasihan Roy jika hanya memakan telur setiap hari."
Aldric menghentikan kunyahannya dan menatap Betty lekat, "Kau ingin kembali ke sini?"
Betty mengalihkan tatapannya dan kembali memakan telur dengan lahap. Mengabaikan tatapan Aldric yang membuatnya gugup.
"Benar begitu?" tanya Aldric lagi.
"Tidak, tentu saja tidak! Aku lebih suka rumahku sendiri."
Aldric mengangguk, "Benar, kau tidak akan kembali ke tempat ini. Mungkin setelah ini kau akan aman. Setidaknya dia tidak akan membunuhmu."
"Aku tidak mengerti," gumam Betty penuh pertanyaan.
"Berhenti berpikir dan habiskan makananmu. Aku tunggu di garasi."
Aldric berlalu meninggalkan Betty yang masih terduduk di meja pantry dengan bingung. Apa sebegitu parahnya masalah ini sampai harus membawa nyawanya? Seharusnya dia marah karena Aldric sudah menyeretnya ke dalam masalah ini, tapi entah kenapa Betty tidak bisa melakukan itu.
***
"Sial! Sial! Sial!" Lukas mengumpat dan terus berlari menerobos kerumunan.
Dia tidak menyangka jika orang-orang itu akan mengikutinya sampai ke tempat ini. Kepalanya menoleh ke belakang dan menemukan empat pria bertubuh besar yang mengikutinya. Mereka semua tidak berusaha untuk tidak terlihat mencolok. Kaca mata hitam di malam hari dengan jaket kulit tipis di musim dingin yang mereka pakai sangat menarik perhatian.
"Berhenti menghindar!" teriakan itu terdengar jelas di festival musim dingin.
Lukas terus berlari tanpa mempedulikan teriakan itu, hingga akhirnya dia merasakan tarikan keras pada mantelnya. Tubuhnya terhempas begitu saja menghantam tembok di sebuah gang yang sepi.
"Sudah aku bilang, berhenti menghindar!" Pukulan keras Lukas dapatkan di wajahnya hingga dia terjatuh. Dalam sekali pukulan pun Lukas sudah terbatuk dengan darah yang keluar dari mulutnya.
"Aku butuh waktu.” Lukas mencoba melindungi wajahnya dari pukulan.
"Kau sudah terlambat 3 hari dari perjanjian." Lukas kembali meringis begitu pria itu kembali menendang tubuhnya. Untung hanya satu orang, karena ketiga temannya hanya menonton dan mengawasi keadaan sekitar.
"Aku belum mempunyai uang."
Pukulan kembali menghantam tubuh Lukas, "Kalau begitu jangan berhutang!"
"Kalau aku punya uang, aku tidak akan berhutang bodoh!" umpat Lukas.
"Jaga mulutmu! Bersyukurlah tuan Wilson tidak meminta kepalamu malam ini."
"Katakan padanya, aku akan melunasi semua hutangku."
"Dasar tidak berguna!" Sekali lagi pria itu menendang perut Lukas yang membuatnya kembali terbatuk dengan darah yang keluar dari mulutnya.
Pria-pria itu pergi meninggalkan Lukas yang tengah menahan sakit di tubuhnya. Berkali-kali dia mengumpat saat darah keluar dari mulutnya. Lukas masih selamat malam ini, tapi tidak tahu jika esok hari.
***
Betty menggosok rambutnya dengan handuk saat keluar dari kamar mandi. Berendam air hangat di tengah malam sedikit merefleksikan tubuhnya. Untung saja penghangat ruangan bekerja dengan baik saat ini. Jika tidak, dapat dipastikan jika Betty akan mati kedinginan.
Betty menyesap coklat hangatnya dengan pelan, seolah menikmati rasa hangat yang menjalar di tubuhnya. Di saat seperti ini dia merasa kesepian. Biasanya ada Rubby yang selalu mengganggu ketenangannya tapi sahabatnya itu menghilang entah ke mana selama beberapa hari ini. Betty memang khawatir, tapi Rubby selalu rutin mengirimkan pesan padanya bahwa ia baik-baik saja.
Bagaimana bisa dia percaya jika Rubby sendiri bersama dengan pria yang berbahaya?
"Kau juga terjebak dengan pria berbahaya, Beth. Khawatirkan dirimu sendiri!" batinnya berteriak.
Suara bel apartemen berbunyi dan Betty menegakkan tubuhnya waspada. Dia meletakkan handuknya dan perlahan mendekati pintu utama. Dia meraih tongkat baseball dan mengintip dari lubang pintu.
Ya Tuhan!
Betty dengan cepat meletakkan tongkatnya dan segera membuka pintu. Saat pintu terbuka, tubuh Lukas langsung jatuh begitu saja di atas tubuhnya.
"Apa yang terjadi?!" Betty bertanya khawatir sambil membawa tubuh kakaknya ke sofa. Dia segera mengunci pintu dan kembali menatap tubuh Lukas yang terlihat sangat memprihatinkan.
"Ada apa denganmu?" tanya Betty lagi sambil melepaskan sepatu Lukas.
"Tubuhku sakit sekali," gumam Lukas dengan mata yang masih terpejam.
Masih dengan rasa khawatir, Betty berjalan ke dapur dan mengambil air hangat. Dia akan membersihkan wajah Lukas dari noda darah yang mengering.
"Apa lagi yang kau lakukan kali ini?" gumam Betty mulai mengelap wajah Lukas. Nada suaranya terdengar bergetar.
Betty sedih, tentu saja. Biar bagaimanapun Lukas tetaplah Kakaknya. Semenyebalkan apapun pria itu, dia yang merawat Betty sedari kecil. Lukas memang bajingan, tapi dia tidak pernah melupakan Betty sampai dirinya dewasa seperti ini.
"Bisakah kau tidak membuat ulah sehari saja?"
"Mereka hanya berani keroyokan. Aku yakin jika hanya satu, aku bisa mengatasinya sendiri," ucap Lukas dan kembali terbatuk.
"Siapa mereka yang kau maksud?"
"Penagih hutang." Jawaban singkat itu seolah sudah mewakili semuanya. Lagi-lagi Lukas kembali berurusan dengan hutang.
"Untuk judi lagi?" tanya Betty sedih.
"Itu membuatku ketagihan."
"Dan sampai membuatmu bodoh untuk terus berhutang."
Lukas berdecak tapi sedetik kemudian dia meringis sambil menyentuh ujung bibirnya, "Sial! Aku akan membalas mereka semua jika hutangku sudah lunas!" rutuk Lukas kembali membiarkan Betty mengobati lukanya.
"Jangan berhutang kalau kau tidak bisa membayarnya."
"Kau terdengar seperti ibu," cemooh Lukas. "Lagipula aku tidak akan berhutang jika mempunyai uang."
Betty menatap Lukas prihatin, "Apa kau tidak sadar jika aku memang harus bertingkah seperti ibu selama beberapa tahun terakhir?"
Lukas hanya mendengkus dan kembali memejamkan matanya. Dia terlalu malas untuk berdebat dengan Betty. Dia hanya butuh istirahat dan menyiapkan tubuhnya untuk merampok besok. Biar bagaimanapun juga dia harus segera membayar hutang atau Wilson benar-benar akan memenggal kepalanya.
"Berhentilah berjudi jika tidak menghasilkan. Kau bodoh dalam hal itu."
"Aku selalu menang! Tapi hanya dengan bajingan itu aku selalu kalah dan membuatku selalu berhutang," rutuknya lagi.
"Aku tidak peduli! Ini terakhir kalinya kau seperti ini. Jika kau tidak berubah aku tidak akan membukakan pintuku lagi untukmu, kecuali jika kau memberiku uang satu koper penuh."
"Jangan konyol!"
"Aku tidak."
Lukas tiba-tiba membuka matanya dan menatap Betty serius, "Membicarakan uang, apa kau mempunyai uang? Beri aku uang sekarang."
Detik itu juga Betty menekan luka Lukas dan beranjak pergi meninggalkannya yang meringis kesakitan.
"Apa aku harus melakukan ritual pengusiran setan untuk menyadarkan Lukas?" batin Betty.
***
TBC