Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Sebuah Obsesi

Aldric membersihkan tangannya setelah selesai berkutat dengan mobil sport yang dia perbaiki. Udara pagi di musim dingin tidak membuat tubuhnya beku sedikitpun. Pintu garasi yang terbuka seolah memberikan angin segar tersendiri untuknya.

Roy datang dari dalam rumah dengan sepiring penuh sosis bakar. Mulutnya sibuk mengunyah dan duduk di kursi kayu ujung ruangan.

"Kau tidak sarapan?" tanya Roy meminum sodanya. Sosis dan soda, perpaduan yang aneh untuk sarapan.

"Tidak."

"Bagaimana dengan Pedro? Dia kembali mengganggumu?"

"Tidak."

"Dengan Betty?" tanya Roy menggoda.

Aldric terdiam sebelum akhirnya menggeleng, "Sepertinya juga tidak, dia tidak menghubungiku."

Roy mendengkus, "Kau pikir dia akan menghubungimu? Jangan konyol!"

Aldric tersenyum mendengar itu. Tentu saja Betty tidak akan menghubunginya. Tiga hari telah berlalu dan Aldric yakin jika Betty merasa bebas dari penjara. Memang mereka tidak bertemu secara langsung, tapi Aldric tetap mengawasi Betty.

"Apa kau tidak curiga karena Pedro menghilang akhir-akhir ini?" Roy menjilat tangannya dengan nikmat.

"Dia berada di Puerto Rico."

Roy menyeringai, "Kau memang menantu yang baik, mengetahui segala kegiatannya."

"Jaga mulutmu," jawab Aldric dingin.

Roy mengedikkan bahu dan kembali memakan sosisnya. Entah kenapa di musim dingin seperti ini perutnya lebih sering lapar, dan sialnya dia harus memasak sendiri jika tidak ingin kelaparan.

"Oh ya, Lukas mencarimu semalam."

Aldric menaikkan alisnya dan berjalan mendekat. Tangannya mengambil irisan sosis paling besar dari piring Roy dan memakannya. "Di Bar?" tanyanya.

Roy mengangguk. "Dia menantangmu lagi semalam."

"Dasar keras kepala. Padahal aku tidak sehebat itu.”

Roy menatap Aldric kesal, "Jangan merendah seperti itu. Sebagai pembunuh bayaran kau tidak cocok melakukan itu.”

Tanpa disangka Aldric tertawa. Perasaannya sedang baik saat ini sehingga dia bisa menangkap lelucon Roy dengan baik. Kadang Aldric merasa bingung kenapa pria itu masih berada di sini dan tidak melarikan diri sejauh mungkin saat mengetahui siapa dirinya sebenarnya.

"Oh ya, siapkan mobil bekas,” ujar Aldric.

"Untuk?"

"Menenggelamkan mayat di danau,” ucap Aldric berlalu ke dalam rumah.

"Kadang aku berpikir, kenapa kau kreatif sekali?" desis Roy kembali memakan sosisnya.

***

Betty masuk ke dalam flat-nya dengan nafas yang memburu. Debaran jantungnya tidak melambat sedikitpun sejak tadi. Betty bergerak mengunci pintu dan mengintip jendela yang terarah langsung pada jalanan yang gelap. Arah pandang dari lantai 2 tentu dapat menangkap pemandangan yang lebih luas. Keadaan jalan sudah gelap tapi masih ada kendaraan yang berlalu lalang. Betty mengintip dengan gelisah, memastikan jika tidak ada orang yang mengikutinya. Mungkin rasa takutnya terlalu berlebihan sampai berpikir jika ada yang mengikutinya sedari tadi.

"Apa yang kau lakukan?" tanya sebuah suara dari belakang Betty.

"Memastikan sesuatu," jawabnya.

"Ada apa?" tanya Betty menutup jendelanya rapat.

"Aku lapar.”

Sudah 2 hari Lukas tidur di tempat Betty. Selain untuk menumpang, dia juga menghindari dari kejaran anak buah Mr. Wilson. Lukas masih belum memiliki uang untuk membayar hutangnya. Betty pun juga tidak memiliki tabungan selain gajinya bulan lalu.

"Apa ini?" tanya Lukas saat Betty meletakkan kantung plastik yang dibawanya.

"Roti isi, aku tahu kau kelaparan.”

"Kau memang yang terbaik!” teriak Lukas saat Betty masuk ke dalam kamar.

Betty membuka sedikit pintu kamar dan berteriak, "Tentu saja! Hanya aku keluarga yang kau miliki. Jangan konyol!"

Lukas tertawa melihat tingkah Adiknya. Dia sadar betul betapa kesalnya Betty terhadap dirinya. Namun apa boleh buat? Lukas sudah muak hidup tertata dan tidak ada hasil. Hanya dengan berjudi dia bisa mendapatkan uang, meskipun harus mendadak bangkrut jika harus berhadapan dengan Aldric.

"Kapan kau akan pergi?" tanya Betty keluar dari kamar dengan pakaian tidurnya. Rambutnya yang diikat tinggi dengan kaca mata besarnya membuat Lukas tersenyum. Adiknya memang sudah besar, tapi dia tetap menggemaskan seperti dulu.

"Kau mengusirku?"

"Ya, kau menyebalkan," jawab Betty tanpa perasaan.

"Sorry, Sis. Tapi aku akan tetap berada di sini sampai hutangku lunas."

"Kalau begitu cepat bayar!"

Lukas mendengkus dan berbaring di sofa setelah berhasil menghabiskan makanannya. Dia tidak perlu menanggapi Betty karena hal itu akan percuma. Betty tidak tahu akan jalan pikirannya yang selalu berlawanan. Maka cara yang aman untuk menghindari perdebatan adalah diam dan menutup mulut.

"Selamat malam,” gumam Lukas mulai memejamkan matanya.

Betty kembali ke kamar dengan berdecak, tapi langkahnya terhenti saat Lukas kembali berbicara.

"Besok jangan pulang terlalu malam jika kau takut."

Betty memiringkan kepalanya dan berpikir, "Tapi aku harus lembur karena ada perut yang harus aku beri makan.”

Lukas seketika membuka mata dan menatap Betty kesal. Dia beranjak dari sofa dan berlari ke arah Betty. Gadis itu tertawa dan masuk ke dalam kamarnya cepat, menguncinya tanpa memperdulikan Lukas yang menyumpahinya dari luar sana.

***

Sorot mata tenang itu menatap bangunan di hadapannya dengan lekat. Sesekali mulutnya menghisap rokok ke tiga dalam satu jam terakhir. Aldric mendongak untuk menatap jendela sebuah flat tempat Betty tinggal. Seperti penguntit gila, Aldric selalu mengikuti ke manapun Betty pergi. Dia melakukan ini semata-mata karena ingin mengawasinya dari Pedro. Namun Aldric sadar akan satu hal, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Rasa khawatir itu tiba-tiba muncul padahal rasa itu sudah mati bertahun-tahun yang lalu.

Aldric membuka ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam 12 malam dan dia sudah berdiri di sana selama satu jam. Matanya mengedar untuk memastikan sesuatu. Tangannya sedari tadi mengelus pisau yang berada di kantong hoodie-nya dengan pelan. Sebagai alat perlindungan jika terjadi sesuatu pada Betty.

Saat sudah aman, Aldric mulai berjalan menjauh. Dia tahu jika Pedro tidak akan menyakiti Betty tapi dia juga tidak tahu apa yang pria itu rencanakan. Aldric berjalan ke arah mobilnya yang terparkir jauh dari tempat tinggal Betty. Melihat lampu kamar yang masih menyala, Aldric mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia memilih bersandar pada mobil dengan menghisap batang rokok ke empatnya.

Entah apa yang terjadi pada dirinya, Aldric tidak mengerti. Seolah seperti ada magnet yang membuatnya ingin terus melihat Betty. Apa istimewanya gadis itu? Tidak ada! Hanya ada kaca mata besar dengan tumpukan buku yang terlihat mencolok. Begitu kuno tapi sialnya sangat menarik untuk Aldric.

Lampu kamar sudah padam. Aldric menunggu sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan melajukannya menjauh. Dia meraih ponsel dan mengetikkan sesuatu untuk seseorang.

"Di mana?"

Tidak lama ponselnya bergetar dengan balasan dari orang yang dia awasi sedari tadi.

"Akan tidur, kenapa?"

Itu balasan Betty. Aldric memilih mengabaikannya dan melajukan mobilnya ke arah bar. Sepertinya malam ini dia membutuhkan wanita untuk bermain. Melihat Betty tadi entah kenapa membuatnya merasa tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang ingin mendesak keluar dari tubuhnya. Yang membuatnya kesal adalah kenapa harus Betty yang memberikan efek seperti ini pada tubuhnya?

***

Pria berbadan tegap itu meminum anggurnya dengan pelan. Pesawat pribadi yang dinaikinya akan segera mendarat. Akhirnya dia bisa kembali ke kota terkutuk ini.

"Tuan, pengiriman nikotin harus ditunda," ucap Ethan yang duduk di depannya dengan berkas-berkas di pangkuannya.

"Bisa kau jelaskan kenapa?"

"Polisi bergerak ke lokasi."

Pedro mengangkat alisnya bingung, "Bagaimana bisa? Lokasi itu sudah diamankan sejak seminggu yang lalu untuk transaksi ini."

"Banyak laporan dari warga akan hewan buas."

Tatapan Pedro semakin menajam, "Konyol!"

"Sebagian besar wilayah itu memang hutan. Jadi apa yang harus kita lakukan?"

"Batalkan dan amankan semua barang."

"Mr. Blac akan kecewa," ucap Ethan masih tidak mengerti jalan pikiran Pedro.

"Aku tidak akan mengorbankan anak buahku hanya untuk Steve. Jika dia masih menginginkan barangku kita bisa melakukannya lain waktu."

"Baik, Tuan."

Pedro menegakkan tubuhnya saat pesawat sudah mendarat dengan sempurna di landasan, "Kau tahu Ethan, ada seseorang yang ingin mengacaukan bisnisku. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari ada banyak hal yang selalu mengganggu kegiatan kita saat transaksi."

"Benar, gangguan sering terjadi jika transaksi besar berlangsung." Ethan mengangguk setuju.

"Aku tidak akan tinggal diam. Aku juga tidak mentolerir jika ada orang dalam yang berkhianat." Pedro menatap Ethan tajam.

Kaki panjangnya berjalan menuruni pesawat dengan Ethan di belakangnya. Musim dingin di London terasa begitu menusuk tahun ini.

"Kita akan ke mana, Tuan?" tanya Ethan mulai masuk ke dalam mobil.

"Melihat gadis berkaca mata."

"Bethany?" tanya Ethan bingung.

Pedro mengangguk dan memejamkan matanya erat. Ada banyak masalah di dalam bisnisnya dan dia harus memutar otak untuk mengatasi itu. Namun ada satu hal yang harus Pedro lakukan, yaitu menemukan dalang utama di balik semua kekacauan ini.

***

TBC

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel