Bab 9 Iblis
Bab 9 Iblis
Suara itu menggema di sepenjuru rumah. Kepergian Ramzis dengan Frida membuat Vina semakin histeris. Melihat ibu yang kita sayangi, histeris karena perlakuan sang ayah membuat Renata trenyuh. Dia ingin melakukan sesuatu tapi, tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Renata tidak bisa melakukan apa pun selain duduk di lantai, menangis menatap ibunya.
"Nyonya, sudah Nyonya."
"LEPASKAN AKU!"
Bugh!
"BIBI!"
Renata menuju bi Minah, dia mendekap wanita tua itu setelah punggungnya terbentur tembok.
Renata semakin terisak parau. "Ibu ...." rintihnya.
Vina mengabaikan, dia memilih masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintu rapat-rapat. Sedangkan bi Minah dan Renata masih menangis di bawah. Mereka sedang meratapi nasib, ketika takdir dan semesta tidak berpihak pada mereka.
"Kenapa ayah jahat, Bi?"
"Sabar ya, Non."
"Kalau Tuhan sayang, kenapa dia membuat kita menderita?"
Bi Minah tidak sanggup berkata-kata lagi, dia mendekap lebih kencang tubuh mungil itu. Sedangkan Vina, dia sedang meringkuk di dalam kamarnya. Dia membanting semua barang-barang yang ada, nyaris tak ada yang utuh, semuanya pecah berkeping-keping. Vina tidak bisa dikendalikan dan tidak ada yang bisa mengendalikannya.
"Ke-na-pa-ka-mu-te-ga," rintih nya.
****
Sementara rumah itu berantakan kacau balau, Ramzis dan Frida justru sedang kasmaran di dalam mobil. Ada wajah khawatir yang Ramzis tampakkan untuk selingkuhannya itu.
"Kamu benar tidak ingin ke dokter?"
"Tidak apa-apa, Mas. Bersama dengan kamu, itu adalah obatnya." Frida meraih lengan Ramzis membuat pria itu tersenyum senang.
"Aku janji sama kamu, tidak akan membiarkan kamu sendiri."
Frida mengangguk mantap. "Aku percaya kalau kamu akan bertanggung jawab. Selain aku, dan juga calon anak kita." Frida mengelus perutnya lalu disusul Ramzis.
Wanita itu hamil, baru berusia lima hari. Dan kepulangan Ramzis dari Bali adalah untuk menikahi Frida di Jakarta. Dan setelah itu, dia dan Frida akan pergi jauh dari hiruk-pikuk ibukota. Rasa cintanya pada Vina dan Renata perlahan lenyap seiringnya dia menjalani hari dengan Frida.
****
Pagi-pagi buta Ramzis menelepon bi Minah, meminta wanita tua itu untuk mengantarkan semua pakaiannya ke sebuah apartemen. Maka dengan sangat berat hati, bi Minah melaksanakannya. Ingin membantah pun dia tidak bisa.
Bi Minah membuka kamar Vina, melihat keadaan kamar itu berantakan, banyak barang yang bertebaran di mana-mana dengan kondisi yang tidak layak. Beberapa vas pecah dan alat kosmetik tidak bisa digunakan lagi.
Bi Minah menghela napasnya. Semalam dia enggan menjenguk Vina, takut majikannya histeris lagi.
Kreyok!
Suara itu membangunkan Vina yang sedang tertidur. Dia membuka matanya, samar-samar melihat bi Minah memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper.
"U-n-tuk-a-pa?"
Bi Minah terkejut, dia menoleh dengan wajah tegang. "Nyonya, maaf sudah membangunkan."
Vina menatap bi Minah lekat. "Di-a-a-kan-per-gi?" Suara nya tetap terbata-bata. Bi Minah benar-benar tidak tega menyaksikannya.
"Nyonya, jangan dipikirkan, ya?"
Vina merintih lagi, kali ini lebih halus. Dia menangis di dalam tubuhnya sendiri. Tidak mengeluarkan air mata dan suara yang memilukan.
"Ra-sa-nya-sa-ki-t."
Karena tidak tega, bi Minah pun mendekatinya. "Nyonya jangan khawatir, masih ada saya dan Renata. Nyonya tunggu sebentar ya, saya akan mengantarkan pakaian tuan."
Vina mengangguk bak anak kecil. "Bi-lang-sa-ma-di-a-a-ku-ma-sih-me-nung-gu."
Bi Minah mengangguk kecil. Dia merapikan rambut Vina sebelum menghilang dari balik pintu.
****
"Bibi ingin mengantarkan baju-baju itu untuk ayah?"
Bi Minah menoleh sebentar. Melihat Renata berjalan mendekat dari arah tangga. "Eh, sudah bangun?" tanya bi Minah dengan seulas senyum.
Alih-alih menjawab, Renata bertanya lagi, "Bibi ingin mengantarkan baju untuk ayah?"
"Iya, Non Renata temani ibu, ya?"
Renata menggeleng. "Renata ingin ikut, sebentar saja, kan?"
"Kalau Nona ikut pergi, siapa yang akan jaga ibu?"
"Renata sudah bilang sama ibu, katanya boleh."
Bi Minah diam.
"Kan ada pak satpam, Bi."
Bi Minah sedang menimang-nimang permintaan Renata. Dia bingung akan mengizinkannya atau tidak. "Baiklah, ayo cepat." Bi Minah dan Renata pun berjalan keluar rumah. Mereka memasuki sebuah mobil yang mengantarkan mereka menuju apartemen Ramzis.
****
Frida tengah asyik menyantap buah sembari menonton acara infotainment selebritis. Dia menikmati hari-hari baik yang menimpanya. Akhirnya, dalam sekali petikan, nasibnya kembali berubah, dia kembali berada di atas.
Dia menikmati hal itu. Dan sekarang, dia harus mempertahankan posisi itu bagaimanapun caranya.
Ting! Tong!
Frida menghembuskan napas kasar. Dia beranjak membukakan pintu apartemen lalu melihat Renata dan bi Minah berdiri di sana.
"Hai, selamat pagi?"
Dalam hati mereka memaki-maki senyum Frida yang sok tulus itu.
"Ada keperluan apa kalian kemari?"
"Tuan Ramzis ada?" tanya bi Minah.
"Ah, dia sedang mempersiapkan acara pernikahan."
"Jangan bohong kamu!"
"Aku tidak bohong, kalau tidak percaya silakan masuk. Dia sedang keluar!"
Rupanya bi Minah tidak takut pada Frida kalau tidak ada Ramzis. Dia memanjangkan lehernya seperti jerapah untuk melihat seisi apartemen. Saat melihat kebenaran yang dikatakan Frida, perempuan paruh baya itu percaya. Lalu, Bi Minah memberikan dua koper pada wanita itu.
"Ini punya tuan Ramzis, tolong berikan."
"Kamu kan, pembantu kenapa tidak membereskannya sekalian?"
"Saya tidak sudi mematuhi perintah kamu!"
Frida berdecih. "Sombong sekali kamu. Aku akan memperlihatkan seperti apa kamu di depan mas Ramzis."
"Silakan, saya tidak takut pada iblis seperti kamu!"
Nyali bi Minah semakin besar, dan hal itu memancing amarah Frida hingga ke ubun-ubun. Menyadari ada tatapan api di antara keduanya, Renata memegang tangan bi Minah.
"Bi, ayo kita pulang. Kasihan Ibu."
"Kenapa sayang, apa yang terja—"
Plak!
Bi Minah menepis kasar tangan Frida yang mengelus wajah mungil Renata. Dia melotot tajam. "Jangan pernah menyentuhnya dengan tangan kotor kamu!"
"Kenapa? Sebentar lagi aku adalah ibunya."
"Dia tidak sudi punya ibu iblis seperti kamu!"
Kesal karena bi Minah terus memancing amarahnya. Frida semakin tersulut. "KAMU—"
"Bi ayo pulang!" Renata merengek, dia menarik-narik tangan bi Minah agar segera pulang. "Ayo Bi."
Kalau saja tidak ada Renata, bi Minah dan Frida mungkin sudah terlibat cekcok. Bi Minah pergi meninggalkan Frida yang sudah tersulut api amarah.
Frida berdecih. "Dasar wanita tua!" gerutu nya.
Dia mengambil kedua koper lalu masuk ke dalam apartemen. Paginya sudah rusak karena kedatangan tamu tak diundang.
****
"Renata tidak suka Bibi bersikap seperti tadi, Renata takut."
Bi Minah mengatur deru napasnya. "Maafkan bibi, ya."
Renata mengangguk. Lift terbuka menampakkan loby apartemen. Dari arah sana, mereka melihat jelas tubuh seseorang yang mereka kenali.