Bab 8 Di Balik Layar
Bab 8 Di Balik Layar
Satu bulan berlalu....
Ramzis tak kunjung pulang selama sebulan terakhir, tidak memberi kabar apa pun seolah lenyap dimakan angin. Hari-hari selama sebulan ini berubah drastis. Dimulai dari Vina yang lebih suka merenung di dalam kamar dengan keadaan gelap. Lalu Renata yang mulai rajin menggurat benda-benda di sekitarnya, itu kebiasaan buruk dikala bosan melanda, dan bi Minah tidak suka hal itu. Dia harus mengurus ibu dan anak ini agar makan mereka teratur. Walaupun sangat sulit, namun perlahan berjalan.
Kalau diibaratkan mereka seperti naik roller coaster, hingga pada ketinggian tertentu mereka akan jatuh. Kebahagiaan yang selama ini dibangun, hilang sia-sia, kandas begitu saja. Ulang tahun Renata yang kelima bukanlah awal bahagia bagi gadis itu, melainkan awal keburukannya.
Renata sedang berada di dalam kamarnya, memainkan guratan meja belajar. Lalu Vina pun berada di dalam kamarnya, menatap kosong gedung di luar sana. Bi Minah berada di dapur, mencuci piring bekas makan siang.
Ting! Tong!
Bi Minah segera mematikan kran air, dia mengelap tangannya lalu tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu.
"Iya sebentar!" teriaknya sebelum menggapai pintu rumah.
"Siang, Bi."
Bi Minah tidak tahu harus merespon seperti apa. Dia menatap kaku tubuh dua orang di depannya ini—Ramzis dan Frida yang tengah tersenyum bahagia.
"Ayo sayang, masuk." Ramzis menggandeng lengan Frida. "Tolong bawa koper ini ya, Bi. Ada baju kotor," ucap Ramzis.
Bi Minah hanya melongo menatap keduanya, dia mengangguk kaku. Entahlah, dia tidak bisa membayangkan apa jadinya nanti kalau Vina dan Renata tahu hal ini.
"Ayah," panggil Renata. Gadis itu berjalan pelan menuju sang ayah yang sedang duduk bersebelahan dengan Frida. Matanya menyorot tajam pada kedua pasangan itu. Dia tidak membalas senyum yang dilemparkan Ramzis.
"Apa kabar sayang?" tanya Frida.
Renata berpaling. Dia menatap tajam sang ayah. "Dia siapa? Kenapa bisa bersama Ayah?"
Alih-alih menjawab, Ramzis justru melemparkan pertanyaan. "Di mana ibu kamu."
"Di sini." Vina turun pada undakan terakhir. Matanya menatap kosong, wajahnya lelah, kantung mata itu sangatlah kentara, terlebih tubuh kurusnya saat ini.
Bi Minah enggan membawakan koper, dia memilih berdiri di samping Vina. "Nyonya, kenapa keluar?"
"Apa kabar Vina?" tanya Ramzis. Sedangkan Frida hanya tersenyum manis. Seolah mereka tidak mempunyai kesalahan.
Vina berjalan maju.
Plak!
Vina merangsek, menarik tangan Frida kasar agar menjauh dari tubuh suaminya lalu menampar jalang itu. Dia seperti kesetanan, menyiksa Frida tanpa rasa iba sedikit pun. Sontak hal itu menimbulkan kehebohan seisi rumah.
"VINA APA YANG KAMU LAKUKAN?"
"DIA JALANG! DIA PANTAS SEPERTI INI!"
"AWH! SAKIT, MAS!"
"LEPASKAN!"" Ramzis berusaha menarik tangan Vina dari rambut Frida.
"TIDAK SEBELUM DIA MATI!"
"IBU LEPASKAN, IBU!"
"NYONYA ... SUDAH...."
"VINA!"
"TIDAK SEBELUM JALANG INI MATI!"
Bugh!
"IBU!"
"NYONYA!"
Kejadian yang naas terjadi lagi.
Ramzis mendorong Vina hingga kepala wanita itu membentur ujung meja. Rasanya sakit, pening, berat, namun hatinya jauh lebih dari itu. Vina hanya melihat Renata dan bi Minah yang mengerubunginya, sedangkan Ramzis memilih mendekap Frida.
"Ibu tidak apa-apa? Mana yang sakit?"
"Nyonya, bisa lihat saya?"
Ramzis menatap tajam Vina. "APA-APAAN KAMU, KENAPA KAMU MENYERANG DIA!"
"LALU KENAPA AYAH MENYELAKAI IBU??" Renata berlimang air mata, dia menangis sejadi-jadinya. Kejadian ini harusnya tidak dia lihat. Namun takdir memperlihatkannya.
Ramzis mendesah berat. "KALAU IBUMU TIDAK MENYERANGNYAA, AYAH TIDAK AKAN MENYELAKAINYA!" Tunjuk nya pada Vina.
Perlahan, Vina tertatih berdiri. Dia menatap nyalang Ramzis lalu Frida. Dia hendak melakukan penganiayan pada Frida lagi, namun Renata memeluknya.
"Ibu ... jangan buat Ibu sakit lagi."
Mereka paham, apa maksud dari ucapan Renata. Tapi sayangnya, tidak dengan Vina. "KAMU JALANG! BENAR-BENAR JALANG! KENAPA KAMU MENGGODA SUAMI SAYA!"
Alih-alih segera membalas, Frida justru memberikan ekspres menyedihkan pada Ramzis. Seolah-olah dialah yang teraniaya di sini. "Mas, apa kamu tidak ingin membelaku?"
"Sudah ya, tenang saja," ujar Ramzis. Dia berusaha menenangkan Frida. "Kalian duduk, ada yang ingin aku katakan. Kalau kamu berani melukai dia lagi, aku tidak akan segan-segan melakukan lebih dari ini!" perintahnya pada Vina.
"Tuan ...."
"DIAM KAMU!"
Bi Minah bungkam seribu bahasa. Ramzis beranjak duduk bersama Frida. Sedangkan tiga orang di depannya, memandanginya dengan ekspresi memelas. Kecuali Vina yang membelakangi.
"Kenapa kalian tidak duduk? Aku menyuruh kalian duduk?"
Bi Minah, Renata, dan Vina menurut, mereka duduk bersama Ramzis dan Frida.
"Dengar, aku tidak suka apa yang telah kamu perbuatan, Vina. Aku benar-benar membencinya," tekan Ramzis.
Vina mengepalkan tangannya. Dia menatap Ramzis. "MAS, APA KAMU TAHU APA YANG AKU RASAKAN? SATU BULAN, MAS. SATU BULAN AKU TUNGGU KAMU DAN KAMU PULANG DENGAN JALANG INI?" Vina benar-benar tidak bisa dikontrol. Pengurungannya di dalam kamar seolah meditasi untuk mengumpulkan kekuatan dan meledak pada saat yang telah ditentukan.
"Aku bukan jalang!" elak Frida.
"DASAR PELACUR!"
Plak!
"Ayah, jangan terus-terusan pukul ibu." Renata menangis sejadi-jadinya.
"Tuan, pukul saja saya kalau Tuan mau. Tidak bisakah Tuan mengerti perasaan kami?" Bi Minah pun sudah basah karena air mata.
Yang ditampar Vina, dan yang menangis Renata dan bi Minah. Sakit fisik yang Vina alami tidak setara dengan sakit hati yang dia rasakan. Bi Minah dan Renata sungguh tidak tega jika harus melihat Vina dipukuli Ramzis.
"Ka-mu-ja-hat," ujar Vina.
Kepala Ramzis tiba-tiba berat. Dia merasakan sakit yang luar biasa. Rasa sakitnya melebihi sakit ditimpa ton.
"Mas, ayo jelaskan agar kita bisa bebas," rengek Frida.
Ramzis menghela napasnya. "Baiklah, dengarkan saya. Dia bukan jalang seperti yang kamu bilang Vina. Dia adalah Frida, wanita yang sekarang dan selamanya saya cintai. Dia adalah cinta pertamaku," tegas Ramzis, "dan aku tidak suka jika kalian menyebutnya jalang."
"Maksud Tuan? Dia adalah masa lalu Tuan sebelum bertemu nyonya Vina?"
Ramzis mengangguk setuju. "Ya, seperti itu."
Vina menunduk, rasanya sangat menyesakkan mendengar pengakuan yang Ramzis buat. Cinta yang selama ini diterimanya ternyata tidak tulus dan murni sepenuh hati.
"Ibu ...." lirih Renata.
"Maafkan Ayah Renata, juga kamu Vina, aku tidak bisa lagi mencintai kalian dengan tulus," ujar Ramzis.
"Kenapa Tuan melakukan ini?"
"Karena ini adalah jalannya," sambung Frida.
Ini benar-benar kenyataan yang menyakitkan. Vina tidak bisa lagi berkata-kata selain menangis dan memukul dadanya. Renata pun ikut menangis di sebelah ibunya. Sedangkan bi Minah, dia memerhatikan dengan hati yang sangat iba.
"Bi Minah, besok tolong bawakan semua baju saya ke apartemen. Nanti saya hubungi tempatnya," ujar Ramzis.
Bi Minah mendongak terkejut. "Tuan, apa yang akan terjadi selanjutnya?"
"Saya tidak tahu, saya hanya tahu satu hal, kebahagiaan baru akan saya dapatkan lagi," ujarnya lalu bergegas bangkit dan berjalan membuka pintu. Sebelum pergi, dia mengelus sekejap rambut Vina.
"Ayah."
Ramzis menoleh.
"Ini hadiah pertama dari Ayah, yang isinya kesedihan."
Ramzis menghela napasnya. Dia berjalan keluar rumah.