Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Hanyutnya Kepercayaan

Bab 7 Hanyutnya Kepercayaan

"Ayah ingin pergi ke mana?" tanya Renata.

Gadis itu melihat sang ayah sedang memakai sepatunya. Ramzis terlihat sangat rapi dan menawan dengan balutan jas hitam itu.

"Ayah akan ke Bali, ada bisnis di sana."

"Oh." Renata ikut duduk di sebelah Ramzis. "Berapa lama?"

"Eumph, mungkin satu sampai tiga bulan."

"Ayah pergi selama itu meninggalkan rumah?"

Ramzis tersenyum, dia mengelus rambut Renata. "Kalau sudah selesai, ayah janji akan segera pulang."

"Ayah akan bawakan hadiah dari Bali?"

"Oke, ayah bawakan nanti. Sudah ya, ayah berangkat dulu." Ramzis mengecup kening Renata lalu meneguk segelas kopi. Dia menghampiri alphard yang sudah dipanaskan oleh sang sopir.

Sebelum memasuki mobil, Ramzis tersenyum sembari melambaikan tangannya pada Renata. Seolah ada yang akan terjadi dari balik senyum tulus itu. Renata balas melambaikan tangan. Bi Minah muncul di sebelah Renata.

"Ayo, kita sarapan dulu."

Renata mendongak. "Ibu ada di mana?"

"Ibu sedang sarapan, ayo."

Renata dan bi Minah segera masuk ke dalam rumah. Mereka menutup pintu rapat lalu berjalan menuju meja makan. Di sana sudah ada Vina yang sedang menyantap sandwich, yang tersisa setengah potong. Renata pun bertanya, "Ibu tidak habiskan sandwichnya?" tanya Renata sembari naik ke atas kursi.

Vina tersenyum tipis. "Ibu sudah kenyang," jaawb Vina lalu beranjak tiba-tiba menuju kamarnya.

Renata hanya bisa menatap punggung ibunya yang kian menjauh. Dia tidak perlu tanya kenapa ibunya seperti itu, karena dia tahu apa jawabannya. Sedangkan bi Minah, sedikit ragu untuk bertanya.

"Non Renata, ayo dimakan. Bibi ingin bertemu ibu dulu, ya?"

Renata mengangguk manis.

Bi Minah berjalan menaiki anak tangga. Dia membuka pintu kamar Vina dan menemukan wanita itu berdiri di balkon kamar. Bi Minah berjalan mendekat.

"Nyonya."

Vina menoleh sekejap.

"Apa terjadi sesuatu?"

Mendengar pertanyaan itu membuat memori kelam Vina kembali terbuka. Sekelibat bayangan perselingkuhan antara Ramzis dan Frida itu melintasi kepalanya. Mata Vina tiba-tiba berlinang. Dan hal itu yang membuat hati bi Minah tersentuh, dia merasa bersalah setelah menanyakan hal itu.

"Maaf Nyonya, tidak perlu menjawab kalau—"

"Mas Ramzis selingkuh," potong Vina.

Tubuh bi Minah menegang di tempat, seolah ada paku yang menancap. Dia menutup mulutnya yang tahu-tahu terbuka. "Ya ampun, benarkah Nyonya?"

Vina menghela napas panjang. Dia menunduk. "Saya melihatnya sendiri dengan mata kepala saya kemarin. Dengan perempuan yang mengantarkan kue."

Bi Minah semakin terkejut mendengar pernyataan itu.

"Katanya mereka teman lama. Tapi aku tidak yakin, mereka pasti lebih dari sekadar teman." Vina menggelengkan kepalanya, dia menitikkan bulir mutiara.

"Saya harus bagaimana, Nyonya? Katakan, apa saya perlu—"

"Tidak usah, Bi. Tidak ada yang perlu dilakukan. Semuanya sudah terlambat. Rasanya sa-kit." Vina memukul-mukul dadanya sendiri, dia merasakan nyeri yang mendalam.

Melihat hal itu membuat bi Minah merasa iba, dia meraih tangan Vina dan mengusapnya pelan. "Nyonya yang sabar ya, pasti ada jalannya."

Tapi sayangnya, Vina tidak percaya jalan kebahagiaan itu ada. Jalan kebahagiaannya, sudah ditutup.

****

Renata terus mendongak ke atas. Dia terus memantau kamar ibunya. Takut-takut terjadi sesuatu. Sarapan di depannya belum sepenuhnya habis. Dia hanya hanya mecicipinya tanpa mau melahapnya.

Renata menghela napas panjang. Dia memainkan garpu serta sendok di kedua tangannya sembari menunduk. Akankah, gerbang kebahagiaan itu sudah ditutup semesta?

Sementara itu Ramzis dan Frida sedang berada di bandara Soekarno-Hatta. Satu jam lagi mereka akan terbang ke Bali. Sejak tiba di bandara, Frida terus bergelayut pada Ramzis tanpa tahu malu.

"Istri kamu tidak curiga?"

"Curiga, tapi aku tidak peduli."

Frida terkekeh kecil. "Aku sebetulnya kasihan. Tapi mau bagaimana lagi, takdir kita sudah ditentukan."

Ramzis mengangguk setuju. "Aku tidak akan melepaskanmu lagi," ujar nya sembari memainkan dagu runcing Frida.

Tahu-tahu ponsel Ramzis berdering, ada satu panggilan masuk dari telepon rumah. Ramzis mendesah berat, dia meminta Frida untuk menjauh dari tubuhnya.

"Ada apa, Mas?" tanya Frida bingung.

"Ada telepon dari rumah."

Ramzis hendak mengangkat telepon itu. Tapi sayangnya Frida lebih dulu mengambil ponsel Ramzis.

"Jangan diangkat! Memangnya kamu mau liburan kita kali ini tertunda?"

"Tapi takut ada hal penting."

Frida menghela napasnya. "Jadi kamu masih peduli dengan mereka, dan kamu mengabaikanku?"

Bagaimana bisa Ramzis tidak tergoda dengan suara Frida. Lalu, mendekap wanita itu ke dalam pelukannya. "Iya, aku akan fokus denganmu saja," ujar nya.

Frida tersenyum puas. Dalam dekapan Ramzis dia mencuri kesempatan untuk menekan tombol merah panggilan.

****

Bi Minah menghela napas panjang. Sambungan teleponnya diputus oleh Ramzis, dan kedua kalinya tidak terjawab. Bi Minah pasrah dengan wajah cemasnya.

"Bibi kenapa?" tanya Renata.

"Nona, sudah selesai sarapannya?"

"Sudah. Bibi ingin mencoba menelepon Ayah, ya?"

Bi Minah tersenyum kaku. Ingin mengelakpun dia tidak akan bisa. "Iya, tapi tidak terhubung."

"Mungkin Ayah sedang dalam penerbangan."

"Mungkin."

"Ibu tidak sibuk kan, Bi, tadi? Aku ingin ketemu ibu dulu."

"Iya, Non. Pelan-pelan naik tangganya."

Tapi sayangnya Renata tidak peduli itu. Dia menaiki anak tangga dengan bringas hingga langkahnya menggema di sepenjuru rumah.

Bi Minah menggelengkan kepala. Dia berjalan menuju meja makan—hendak membereskan piring bekas sarapan. Saat dia melihat piring Renata dia mengernyit bingung. Tidak biasanya Renata makan sedikit. Nasi goreng yang dia buat, nyaris utuh di atas piring Renata.

"Dia tidak sarapan," gumam nya lalu menghela napas. Sama halnya dengan Vina yang menyisakan sarapannya.

Memang benar, ikatan antara ibu dan anak itu kental, lebih kental daripada darah.

****

Ceklek!

Renata memasuki kamar Vina, yang pertama dia lihat adalah kegelapan yang menyelimuti. Hanya cahaya remang-remang yang berasal dari kaca di balkon. Ibunya duduk di sana, Renata menghampiri.

"Ibu, kenapa tidak menyalakan lampunya?"

Vina diam, dia tidak menjawab pertanyaan anaknya. Bahkan, dia mengabaikan anaknya itu. Renata yang duduk di sebelahnya memegang lengan dingin Vina. "Ibu sakit? Kenapa diam saja? Ayo main."

Vina menoleh, menatap Renata dengan tatapan dalam. Bibirnya bergetar, sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa keluar.

"Ibu," panggil Renata dengan nada yang lebih rendah. Dia bingung dengan apa yang terjadi pada ibunya, tapi dia paham apa penyebabnya. Akankah dia bilang kalau dia juga melihat kelakuan bejad ayahnya atau tetap menyembunyikannya?

"Renata," lirih Vina.

Renata mengerjapkan matanya. "Ada apa Ibu?"

"Ibu sayang kamu, kamu sayang ibu kan?"

Diam sejenak. Hanya angin yang berhembus halus. Perlahan Renata memeluk Vina dengan sangat lembut. Vina membalas pelukan anaknya.

"Renata sayang Ibu juga ayah. Tapi, Renata ...me lihat apa yang ayah lakukan," ucapnya membuat kepalanya merasakan ada tetesan air.

Vina menangis dalam pelukan Renata. Dari jauh, bi Minah memperhatikan dari ambang pintu. Sekarang dia tahu sumber masalah dari tuan dan nyonya-nya itu, yang tak lain karena adanya orang ketiga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel