Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Memberikan Kepercayaan

Bab 6 Memberikan Kepercayaan

Buk!

Vina menyandarkan punggungnya dengan keras ke dinding. Dia berada di belakang gedung kantor suaminya, meringkuk, dan merintih ngilu saat sekelibat bayang-bayang suaminya berselingkuh melintasi otak. Vina mengatur deru napasnya agar stabil, dia menahan panasnya mata agar air tidak keluar. Dia harus berpikir dingin, jangan sampai Renata mencurigainya. Dia menatap kosong ke depan dengan ekspresi tegang. Perlahan, napasnya berangsur baik.

"Kenapa Ibu lari ke sini?"

Vina tersentak kaget mendengar pertanyaan itu, dia menoleh ke samping dan menemukan Renata dengan wajah polos.

"Ibu kenapa? Sakit?"

Renata merangsek maju, namun Vina perlahan mundur. Seakan dia menjauh dan menghindari sentuhan Renata. Namun, saat dia menyadari anaknya itu kebingungan, Vina tersenyum tipis. "Tidak apa-apa."

"Kenapa lari ke sini?" tanya Renata mengulangi.

Vina diam, dia tidak bisa mencari alasan dari pertanyaan itu. "Tidak ada apa-apa. Ayo, lebih baik kita pulang," ajak Vina pada Renata.

"Ayah ada di kantor?"

"Iya ada."

"Renata mau ketemu, boleh?"

"Ayah sedang sibuk, kalau sudah pulang ke rumah saja, ya? Ayo, kita pulang."

Vina bergegas menarik lengan Renata sebelum anaknya itu bertanya lebih dalam dan merengek meminta sesuatu. Renata tidak boleh tahu apa yang sebenarnya dia lihat. Tapi sayangnya, Renata sudah melihat tanpa Vina sadari.

Mereka berjalan menjauhi gedung. Vina mendongak menatap gedung itu. Samar-samar dia melihat bayangan dua orang yang tengah berhadapan. Itu pasti Ramzis dengan selingkuhannya—Frida.

Vina menghela napas panjang. Tubuhnya sudah mulai bergetar.

***

"Sepertinya ada yang mengintip kita," ujar Frida.

Ramzis mengernyit bingung menatap selingkuhannya itu.

Menyadari kebingungan Ramzis, Frida menunjuk ke arah pintu yang setengah terbuka dengan dagunya.

Ramzis mengikuti arah tunjuk Frida. Dia mengernyit bingung menatap pintu yang setengah terbuka, lalu pandangannya jatuh ke bawah—pada beberapa berkas yang jatuh di lantai. Dia menatap Frida lagi.

"Sepertinya istri kamu melihat kita," kata nya sembari menjauh dari Ramzis.

Ramzis masih menunjukkan ekspresi bingung. Dia masih belum sadar dan mengumpulkan banyak nyawa.

"Setelah ini dia akan mencurigai kita."

Ramzis menghela napasnya. Dia duduk di kursi sedangkan Frida di atas meja. Tangan wanita itu dilipat di depan dada. Sepertinya, Ramzis sedang memikirkan sesuatu.

"Apa kita akan mengungkapkan segalanya?" tanya Ramzis.

Frida berdecih. "Kalau seperti itu untuk apa kita mulai, Mas? Kita lanjutkan saja."

Ramzis menghela napas panjang.

Frida memutar bola matanya. "Aku rasa kita harus pergi jauh untuk mengalihkan perhatian dia, Mas."

Ramzis menatap Frida, dia sama sekali tidak paham dengan jalan pikir wanita itu. "Caranya?"

"Kita liburan ke Bali, alasannya kamu ada project," kata Frida sembari menatap Ramzis dengan keyakinan penuh.

***

Ceklek!

Vina membuka pintu rumahnya, dia melihat keadaan rumah ini sepi. Berbanding terbalik dengan keadaan kemarin. Dia melihat bi Minah datang tergopoh-gopoh.

"Nyonya, ingin minum?"

Vina menggeleng lemah. Tanpa mengatakan apa pun, dia melangkah pergi meninggalkan Renata dan bi Minah. Dia melepas gandengan tangannya dengan Renata.

Melihat Vina berjalan lunglai menaiki undakan anak tangga, bi Minah dan Renata merasa khawatir sekaligus heran.

"Ibu kenapa?" tanya bi Minah.

Renata menggeleng dengan wajah polos. "Mungkin Ibu lelah. Renata juga mau ke kamar."

Anak itu sama halnya seperti Vina—berjalan lunglai menapaki satu persatu anak tangga demi menuju kamarnya.

Bi Minah menghela napas, dia merasakan nyeri di dada. Sakit yang datang tiba-tiba dan langsung menjalar ke seluruh tubuhnya.

***

Vina duduk di sofa kamarnya yang menghadap gemerlap ibu kota. Dia belum mandi meski malam sudah hampir larut, dia nyaris menghabiskan satu hari ini dengan melamun di tempatnya dengan tatapan kosong. Dia enggan melakukan segala aktivitas seperti menemani Renata bermain. Perubahan ini terjadi secara signifikan.

"Ibu." Renata melangkah ke depan. Dia duduk di samping ibunya. "Ibu sudah mandi?"

Vina hanya menggeleng kecil. "Belum."

"Kapan Ibu mandi? Renata sudah mandi. Ibu menunggu ayah pulang?"

Vina hanya tersenyum tipis menanggapi hal itu. Dia mengelus rambut Renata. "Kamu tidur di kamar, ya? Istirahat."

Renata menghela napas panjang. Dia sangat kecewa lantaran tidak bisa ngobrol lama bersama Vina. Seharian ini, Renata berkutat sendirian di dalam kamarnya. Dia merasa sesuatu telah berubah, semenjak kejadian itu.

Renata beranjak bangun, dia mengecup pipi ibunya singkat lalu bergerak menjauh. Dia menoleh ke belakang, menatap siluet ibunya sebelum dia menutup pintu kamar Vina.

Renata menghela napas panjang. Dia melihat ke bawah, Ramzis datang dan langsung dibantu bi Minah. Sepertinya Ramzis dan bi Minah sedang membicarakan sesuatu. Pasti bi Minah melapor pada Ramzis kalau Vina seharian ini sangatlah aneh.

"Renata belum tidur?" tanya Ramzis saat berada di hadapan putrinya.

Renata menggeleng. "Belum."

"Tidur ya, sudah malam."

Renata mengangguk kecil. Dia berjalan memasuki kamarnya. Sentuhan Ramzis saat mengelus kepalanya membuatnya teringat akan kejadian pagi tadi—saat melihat belahan jiwanya berselingkuh.

Ramzis memasuki kamar, dia menghela napas saat melihat Vina duduk di sofa. Dia berjalan maju, lalu perlahan duduk di sebelah Vina tanpa menimbulkan suara.

"Hai..." sapa Ramzis. Sapaan lembut itu mampu menggores hati Vina. Dia menoleh ke arah suaminya dengan mata memanas.

"Kamu kenapa?" tanya Ramzis sembari meraih tangan Vina dan berusaha mengapitnya. Namun sayang, Vina enggan disentuh suaminya. Dia menarik tangannya secara kasar.

Vina membungkam mulutnya untuk berbicara. Dan membuka matanya untuk berbicara.

Ramzis mendesah berat. Darimana dia akan mulai semua ini?

"Vina, aku tidak bermaksud berpaling dari kamu. Dia itu—"

"Selingkuhan kamu!" tegas Vina.

Ramzis mendesah berat. "Dengarkan dulu."

"Apa yang harus didengarkan, Mas? Aku sudah melihat dengan mataku sendiri. Itu murni Mas, murni! Kamu ingin mengelak?"

Vina benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya, dia meluapkan segala kekesalannya pada sang suami. Nada bicaranya yang keras membuat bi Minah enggan menarik kenop pintu, dia tidak jadi mengantarkan kopi untuk Ramzis. Dia memilih pergi, daripada harus mendengar percakapan yang menyakitkan antara Ramzis dan Vina.

Bi Minah berlalu, memilih memasuki kamar Renata.

"Itu tidak disengaja, Vina. Dia jatuh, dan aku membantunya."

Vina tidak habis pikir dengan semua ini. "Seharian aku di sini, Mas. Hanya untuk memikirkan hal itu benar atau tidak."

"Sekarang kamu dengar aku, ya? Kamu percaya kan sama aku? Itu tidak sengaja, dia terjatuh dan aku membantunya."

Ramzis memegang bahu Vina, namun sayangnya wanita itu menolak disentuh.

"Aku lelah harus percaya terus."

Ramzis menghela napas panjang. Kali ini, dia lebih berhati-hati menyentuh Vina. Dia memegang tangannya lalu mengelus punggung tangan yang sudah menemaninya dari nol. "Vina, kamu percaya denganku, ya? Tadi itu tidak disengaja, dan aku tidak akan pernah berpaling dari kamu."

Vina menatap mata Ramzis. Dia menemukan ketulusan dan kebenaran di mata itu. Apakah benar yang dikatakan suaminya itu? Bagaimana kalau ternyata yang dikatakan Ramzis itu bohong? Apa yang harus dia lakukan? Dia meragu akan perkataan yang disampaikansang suami.

"Ayolah, Vina ... kita sudah membina rumah tangga ini sekian lama. Apakah aku harus mengkhianatinya dengan melakukan tindakan bodoh itu?" bujuk Ramzis. Dia terus mendesak istrinya untuk tetap percaya dengan perkataannya. "Rumah tangga kita terlalu berharga, Vina."

Akhirnya Vina pun mengangguk, setelah mendengar kalimat terakhir Ramzis. Dia memercayai ucapan suaminya itu. "Ya. Aku memercayaimu, Mas."

Ramzis menghela napas lega. Dia merentangkan tangannya dan mengelus punggung Vina saat berada di dekapannya. Ramzis menyalurkan dan kenyamanan sampai Vina benar-benar memercayainya.

"Aku sayang kamu," bisik Ramzis tepat di telinga Vina.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel