Bab 5 Berselingkuh
Bab 5 Berselingkuh
"Ayah ... Renata punya hadiah untuk Ayah," ucap Renata ketika Ramzis kembali setelah mengantarkan Frida. Dia mengabaikan Vina yang menguping pembicaraannya tadi. Dia mendekati Renata.
"Oh iya, apa?"
"Sebentar, Renata ambil." Gadis itu bergegas berlari menuju kamarnya di atas, dia menginjak sobekan kertas kado yang sudah bi Minah rapikan.
"Mas," panggil Vina.
Ramzis menoleh. Dia menatap manik mata istrinya, ada begitu banyak pertanyaan yang dipancarkan dari sorot mata Vina. Tapi, Ramzis enggan menjelaskannya untuk saat ini. Dia hanya mengangguk sembari mengelus beberapa helaian rambut Vina. "Nanti, ya," ucap nya.
Vina menghela napas panjang. Dalam sekejap, perasaan buruk mulai menghantuinya, dia sudah sedikit merasa tertekan.
Derap langkah Renata terdengar menggema. Gadis itu turun lalu duduk tepat di antara, Ramzis, Vina, dan bi Minah. "Ini dia!" Dia menunjukkan sebuah gambar.
Semua orang melihatnya, itu adalah gambar dirinya, Ramzis, Vina, dan juga bi Minah.
"Wah, gambar keluarga?" tanya bi Minah.
"Iya, ini hadiah untuk Ayah, Renata sempurnakan."
Ramzis begitu bangga mempunyai anak seperti Renata. "Kamu pintar."
Kalau Ramzis dan bi Minah sudah mulai memuji Renata. Lain halnya dengan Vina, wanita itu hanya tersenyum memerhatikan. Seolah dia adalah patung. Dia memerhatikan gurat wajah suaminya, dia seperti melihat sosok lain dalam diri Ramzis. Mimiknya sangat berbeda saat berhadapan dengan Renata dan Frida.
Benar-benar ada hal yang ditakutkan Vina saat mendengar kata "berpaling" yang diucapkan Frida.
***
Usai pesta, anggota rumah memilih istirahat lebih cepat, dipukul 20.00 malam. Rumah sudah kembali bersih seperti sedia kala. Renata sudah tidur di kamarnya, begitu pun dengan yang lain. Tapi lain halnya dengan Ramzis dan Vina. Pasangan itu masih terjaga di malam hari.
Ramzis sedang berkutat di layar laptop di atas sofa, sedangkan Vina sedang membersihkan wajah. Ini tidak biasanya Ramzis terkekeh geli di depan laptop. Biasanya, dia akan selalu serius ketika berhadapan dengan pekerjaan. Tapi sekarang, dia senyum-senyum sendiri seperti remaja yang baru kasmaran.
"Mas," panggil Vina.
"Ada apa?"
"Tumben kamu senyum-senyum sendiri dengan pekerjaan kamu."
"Ah, ada karyawan yang mengirimkan gambar lucu. Aku sedang berbalas email dengannya."
"Oh."
"Jangan berpikiran buruk, Vina."
Padahal, Vina tidak bermaksud menyinggung hal itu. Namun Ramzis malah mengungkitnya sendiri.
"Tidak."
Ramzis menghela napasnya. Dia lanjut berkutat pada layar laptopnya. Tidak tahu saja, kalau dia sedang berbalas email dengan Frida.
Vina ingin menanyakan sesuatu. Tapi dia terlalu takut untuk menanyakannya langsung pada sang suami. Kalau dia bertanya, dia takut kemungkinan buruk akan terjadi. Tapi kalau dia tidak bertanya, kemungkinan yang jauh lebih buruk akan terjadi. Vina berada di ambang perasaannya. Dia benar-benar bingung harus berlakon bagaimana.
"Mas, boleh aku tanya sesuatu."
"Boleh, tanyakan saja."
Vina diam sejenak, dia kembali mengumpulkan keberaniannya. "Kamu dan temannya Oliv itu—"
"Frida."
"Iya, Frida. Apakah cuma sebatas teman?"
Mendengar pertanyaan itu membuat tubuh Ramzis seperti tertimpa beton. Dia diam, lalu menyorot tajam pada Vina lantas menutup laptopnya. "Kenapa? Kamu mulali tidak percaya denganku? Sudahlah. Aku lelah." Ramzis bergegas naik ke atas kasur lalu memejamkan matanya.
Vina menghela napas. Hatinya semakin sesak, sudah tidak ada ruang kebahagiaan lagi yang tersisa. Nyatanya benar, manusia akan bertemu pada titik lelah ketika siklus itu terus berulang.
***
Pagi menjelang lagi, sepertinya ada hal yang harus dikejar Ramzis. Kentara sekali kalau dia sedang terburu-buru memasukkan beberapa berkas ke dalam tasnya. Dia menolak bantuan dari Vina dan enggan meminum kopi buatan Vina. Ini adalah hal yang mustahil Ramzis lakukan. Sikapnya memang seperti biasanya, seolah tidak terjadi sesuatu. Tapi gelagatnya, menunjukkan seperti terjadi sesuai hal.
"Kopinya tidak diminum dulu?" tanya Vina.
"Aku harus kejar meeting pagi ini."
"Hati-hati."
Ramzis bergegas keluar dari kamarnya, dan tanpa dia sadari, sesuatu jatuh dari dalam tasnya.
"Ayah, ingin sarapan bersama?" tanya Renata saat dirinya bertemu dengan sang putri kecil.
"Tidak dulu ya, Ayah terburu-buru."
"Oke, jangan lupa bawa hadiah, ya?"
Ramzis hanya tersenyum mengangguk lalu bergegas membuka pintu rumah. Disusul dengan itu, Vina menuruni anak tangga.
"Mas Ramzis!" teriaknya. Dan sayangnya, Ramzis tidak mendengar suaranya. Dia menyusul Ramzis, membuka pintu rumah dan melihat Alphard mewah itu keluar gerbang. Vina menghela napasnya. Kalau sudah buru-buru, Ramzis lupa akan segala hal.
"Ada apa, Nyonya?" tanya bi Minah saat melihat wajah gusar majikannya.
"Ah, ini ada yang ketinggalan punya dia."
"Oh, tinggal diantar saja."
"Ah ... benar juga ya,Bi. Ya sudah kalau begitu saya pergi dulu." Bi Minah pun mengangguk setuju.
"Renata boleh ikut?"
"Boleh, setelah selesai sarapan."
***
Sementara Ramzis buru-buru pergi ke kantor, lain halnya dengan Frida yang tengah bersiap-siap santai di kamarnya. Dia mengeluarkan isi lemari dan mencoba semua bajunya, mencari yang terbaik untuk dia kenakan.
"Warna merah atau navy?" Dia menimang-nimang dress ketat di kedua tangannya. "Ah, navy aja."
Dia lantas masuk ke dalam kamar mandi lalu keluar dengan mengenakan dress seksi itu. Ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Oliv.
"Halo."
"Frida kamu tidak masuk?"
"Aku tidak akan bekerja lagi di toko kue itu, aku sudah bilang pada bos."
Helaan napas berat keluar dari mulut Oliv. "Dasar!"
"Sudahlah, bye."
Frida menutup sambungan telepon dan siap berkemas diri. Dia harus menjadi mawar pagi ini di depan Ramzis.
***
Jalanan begitu macet, padahal Vina dan Renata sedang terburu-buru untuk mengantarkan berkas yang ketinggalan milik Ramzis.
"Pak, tidak bisa menyalip, ya?"
"Kan macet Nyonya, tidak bisa menyalip."
"Itu penting banget ya, Bu?" tanya Renata.
"Iya, ini berkas untuk meeting Ayah kamu pagi ini."
"Bagaimana kalau kita naik taxi saja?"
"Tetap saja terjebak macet. Kita tunggu dulu ya?"
Renata mengangguk. Dia menoleh pada kaca jendela mobil, membukanya dan melihat seorang wanita yang sepertinya dia kenali tengah menebalkan lipstik di dalam taxi. Renata menyipitkan matanya, memperjelas pandangan sebelum taxi yang ditumpangi wanita itu melesat di jalanan.
"Itu kan...."
***
Usai melewati macet yang panjang dan mampir membeli jajanan es di jalanan, Renata dan Vina akhirnya sampai di depan gedung kantor Ramzis.
"Kamu tunggu di sini aaja, habiskan minumannya."
"Baik, Bu," jawab Renata patuh.
Vina kemudian turun dari dalam mobilnya. Dia masuk ke dalam lobi dan langsung disapa hangat oleh karyawan suaminya. Dia berjalan memasuki lift. Lalu setelah dia tiba pada lantai yang dituju, dia berjalan dengan langkah sedikit menggema di lorong.
"Cari Bapak, Bu?"
"Iya, masih meeting?"
"Ah, tidak. Bapak ada di ruangannya."
"Baik, Terima kasih."
Vina lanjut berjalan menelusuri lorong panjang itu. Dia bernapas lega, ternyata berkas ini tidak begitu penting, hanya Vina yang berlebihan.
Dia tersenyum manis saat dia melihat pintu ruangan suaminya sedikit terbuka. Dia berjalan maju dengan seulas senyum, dan seulas senyum itu mendadak hilang saat dia melihat hal buruk benar-benar terjadi di depan matanya.
Buk!
Berkas itu jatuh sia-sia di lantai dan sama sekali tidak mengusik kenyamanan dua orang yang tengah bercumbu. Vina menutup mulutnya lalu bergegas pergi, dia tidak melihat kalau ternyata Renata mengikutinya dan melihat ayahnya sedang bercumbu dengan wanita yang tadi dia lihat di taxi—Frida.