Bab 4 Pesta Ulang Tahun
Bab 4 Pesta Ulang Tahun
Pukul 16.00 pesta akan segera digelar. Dan sekarang, mulai ada banyak kendaraan yang terparkir di pekarangan luas rumah Ramzis. Padahal ini adalah acara pesta ulang tahun, tapi kesannya seperti orang hajatan. Ramzis dan keluarganya begitu bahagia sekarang, mereka menyambut banyak tamu undangan yang datang—anak-anak beserta orang tua yang menghantar.
Kediaman rumah ini sudah didekor dengan sangat apik, ada banyak balon di mana-mana, dan juga beberapa hiasan lainnya. Renata menjelma bak ratu, dia memakai gaun mewah pilihan Vina. Dia berdiri di antara kedua orang tuanya sembari mengembangkan seulas senyum.
"Wahhh, Renata setiap tahunnya pasti dirayakan, ya?" komentar salah seorang ibu dari teman Renata.
Vina tersenyum manis. "Kami begitu menyayanginya."
"Baiklah, pestanya mari kita mulai," ujar Ramzis.
Rumah ini mendadak menjelma bak istana yang sedang merayakan pesta pernikahan rajanya. Anak-anak menyanyikan lagu sembari bertepuk ria—termasuk Frida yang ikut dalam kerumunan itu.
Selepas satu lagu berhasil dinyanyikan dan Renata meniup lilin, kemudian dia menyuapi kedua orang tuanya termasuk bi Minah. Lalu, tiba-tiba Ramzis izin pergi ke toilet. Dia enggan mendampingi Renata dan Vina dalam menerima kado, posisinya digantikan oleh bi Minah. Ramzis keluar dari kerumunan itu disusul Frida di belakangnya.
***
Mereka memilih menjauh dari kerumunan itu, memilih tempat sunyi untuk mereka singgahi. Mereka senantiasa was-was menoleh ke belakang—takut ada yang mengintip bahkan mencurigai mereka. Mereka persis seperti maling yang hendak melancarkan aksinya.
Ramzis senantiasa menggandeng tangan Frida agar senantiasa berada di sisinya.
Buk!
Dia mendorong punggung Frida hingga menyentuh dinginnya tembok. Sorot mata Ramzis begitu dalam pada Frida, begitu pun sebaliknya. Ada kata yang ingin mereka sampaikan, tapi terlalu keluh di lidah.
"Untuk apa kamu kemari?" tanya Ramzis.
"Selagi aku masih hidup, aku akan tetap tinggal di bumi."
"Di mana dia?"
Frida mengernyit bingung, dia berlagak tidak tahu. "Dia siapa, Mas? Bukannya hanya ada kita?" Frida mulai melancarkan aksinya, dia mulai menggoda suami Vina yang dua hari ini telah menjadi targetnya.
Ramzis terbuai, dia benar-benar terbuai dengan sentuhan yang sudah lama tidak dia rasakan. Dia nyaris saja terhanyut dalam rayuan Frida jika dia tidak menepis halus tangan wanita itu. "Jangan berusaha menggodaku."
"Kenapa? Bukankah dulu kau menyukainya?"
Ramzis menghela napasnya.
"Oh ayolah ... kenapa kita tidak seperti dulu jika kita dipertemukan lagi?"
Ramzis diam.
Frida semakin agresif, dia memainkan simpul dasi Ramzis. "Aku menyesal atas kejadian itu, tidak seharusnya aku meninggalkanmu. Kamu pasti tahu, kalau aku sebetulnya lebih mencintai kamu daripada dia. Dan kamu tahu, dia sudah bangkrut seperti kamu beberapa tahun lalu, Mas," jelas Frida.
Ramzis semakin dalam menatap Frida. "Bangkrut?"
Frida mengangguk. "Iya. Apakah kita bisa seperti dulu lagi?"
Frida sedang berusaha meyakinkan suami orang. Dia benar-benar seperti jalang. Tahu-tahu Ramzis mengeluarkan sesuatu dari dompetnya—kartu nama. "Besok temui saya."
Frida menerimanya. "Untuk apa?"
"Untuk memberi jawaban atas pertanyaan kamu."
Frida tersenyum manis. Dia merangsek maju, memeluk Ramzis dengan sangat erat. Ada kerinduan yang disalurkan di sana.
"Terima kasih," ujar Frida.
Perlahan, tangan Ramzis menyentuh punggung Frida, dia mengelusnya dengan lembut. Setelah
sekian lama, akhirnya orang yang sangat istimewa di dalam hidupnya hadir tanpa diduga.
Dan tanpa mereka sadari, Vina berdiri tidak jauh dari mereka. Wanita itu menatap kosong suaminya yang tengah berpelukan dengan wanita lain. Seolah pasokan oksigen menipis di sekitarnya, dia kehabisan oksigen.
Ramzis menoleh lalu menemukan Vina pergi menjauh dengan kepala tertunduk.
***
"Vina," panggil Ramzis.
Dia berusaha mengejar langkah cepat Vina ketika istrinya itu pergi menjauh. Vina berhenti sejenak, tepat di ruang dapur. Dia menoleh ke belakang dengan mata memanas. "Siapa?"
Ramzis berusaha meraih bahu Vina, mendekapnya dan menyalurkan kepercayaan hangat. "Kamu jangan berpikiran buruk, aku tidak mungkin berpaling jauh dari kamu dan Renata. Percayalah, dia hanya temanku waktu dulu. Dan kita baru saja bertemu, dia temannya Oliv pelayan toko kue itu."
Vina menatap ketulusan mata suaminya. "Tapi kenapa sembunyi-sembunyi? Kenapa tidak bilang?"
Ramzis mendesah berat. "Saat aku ke toilet aku berpapasan dengannya. Lalu kami memutuskan untuk menjauh dari pesta untuk menanyakan kabar. Percayalah, aku tidak ada hubungan apa pun dengan dia."
Ucapan itu sangat meyakinkan bagi Vina. Dia percaya akan kebohongan yang diciptakan suaminya. Dia mengangguk kecil lalu menatap pesta ria di ruang tengah.
"Kamu jangan sedih, ya?"
Vina mengangguk kecil. "Iya."
"Nyonya, maafkan saya. Saya dan suami Nyonya tidak ada hubungan apa pun selain pertemanan." Frida tahu-tahu menyeletuk datang dengan ekspresi tidak enak. "Maafkan saya, jangan berpikiran yang buruk, ya?"
Dugaan itu semakin kuat saat Frida menyatakan hal yang sama seperti Ramzis. Vina mengangguk manis. "Tidak apa-apa, mungkin tadi hanya salah sangka."
"Kami teman yang sudah lama terpisah jauh, mungkin tuan Ramzis sudah lupa, makanya dia tidak cerita pada Nyonya," kata Frida.
Vina tersenyum manis. "Tidak apa-apa. Sudahlah, mari kembali ke pesta."
Ramzis menggandeng tangan Vina untuk kembali ke pesta. Setelah beberapa langkah maju, dia menoleh ke belakang—melihat Frida dengan seulas senyum manis.
"Bodoh," cerca Frida.
***
Acara pesta ulang tahun baru saja usai di pukul 17.30. Keluarga Ramzis tengah berkumpul di ruang tengah dengan sejumlah hadiah dari para undangan. Renata mengacak semua kado membuat bi Minah kewalahan menghadapi gadis itu. Tenaganya kalah telak dengan Renata yang sangat agresif.
"Bagaimana pestanya?" tanya Ramzis.
"Seru, apa pun yang Ayah berikan akan selalu membuat Renata bahagia."
Dia enggan mengenal kata "penderitaan".
Vina terkekeh. "Bukanya pelan-pelan, Renata."
Renata mengabaikan hal itu, dia terus membuka semua kadonya secara brutal membuat bi Minah benar-benar kewalahan, bahkan Vina sekali pun. Sedangkan Ramzis hanya tersenyum memperhatikan.
"Permisi, saya izin pamit pulang dulu," celetuk Frida datang dari arah dapur.
Bi Minah segera bangkit. "Iya, hati-hati ya, nanti di depan ada sopir yang siap antar."
"Ah, tidak usah repot-repot."
"Tidak apa-apa, Oliv juga biasanya seperti itu. Iya kan Tuan, Nyonya?"
Ramzis dan Vina mengangguk manis.
"Baiklah, terima kasih, saya pamit dulu."
"Biar saya antar sampai depan," ucap Ramzis. Dia segera bangkit berdiri, mengabaikan sentuhan tangan Vina yang berniat mencegahnya. Ramzis mengantar Frida sampai ke depan rumah.
Dan sesampainya di depan rumah, mereka berdiri berhadapan.
"Terima kasih untuk hari ini," ucap Frida.
"Terima kasih telah datang kembali."
Frida tersenyum manis.
"Jangan lupa untuk besok pagi."
"Baiklah, asalkan jawabannya memuaskan."
"Pasti."
"Kamu jangan khawatir, dia tidak akan terlihat lagi. Entah untuk selamanya atau sementara. Tapi tenang, kalaupun iya, aku tidak akan berpaling lagi."
Ramzis begitu puas mendengar pernyataan itu. "Baiklah, hati-hati di jalan."
Frida berjalan memasuki mobil yang sudah disiapkan keluarga ini. Ramzis berbalik, dan lagi-lagi menemukan Vina berdiri tak jauh darinya.