Bab 3 Permulaan
Bab 3 Permulaan
Frida tidak perlu repot-repot mencari jalan keluar untuk permasalahannya saat ini. Karena jalan keluarnya, sudah ada di depan mata. Dia hanya perlu mengikuti alurnya secara alami. Dia berdiri di depan cermin toilet lalu menyunggingkan senyum.
Sementara itu di kediaman Renata, semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara ulang tahun Renata. Bi Minah sedang membuat cemilan bersama Vina di dapur. Kehadiran Renata di sana menambah suasana keseruan di antara mereka. Gadis kecil itu selalu saja mencomot cemilan yang baru masak. Padahal, cemilan kue itu untuk para tamu di acara pesta nanti.
"Jangan dimakan terus, Renata," ujar Vina.
"Sedikit kok."
"Kamu makannya emang sedikit-sedikit. Tapi, kalau digabungkan itu banyak."
Renata terkekeh, dia menyudahi menyantap cemilan kue itu.
"Nyonya, ini adonannya sudah kalis?" Bi Minah meminta pendapat Vina untuk menjajal adonan yang tengah dia buat. Vina menyentuh adonan buatan bi Minah lalu merasakan teksturnya di tangan.
"Sudah, Bi. Masukkan saja ke cetakan."
Bi Minah segera mengambil cetakan dan langsung memasukkan adonan kue itu ke dalam sana.
Ceklek!
Renata menoleh ke arah pintu, dia menemukan sang ayah baru saja pulang. Padahal, ini masih terlalu sore, dan sangat tidak lazim Ramzis pulang di pukul sekian. Tapi, itu tidak masalah bagi Renata, pulang cepat atau lambat, dia selalu menanti hadiah dari sang ayah. Tapi kali ini, sangat pengecualian.
"Ayah!"
Ramzis tidak membentangkan tangannya seperti sebelum-sebelumnya. Wajah dia terlihat sangat lelah. Dia mengabaikan Renata berdiri di depannya dengan wajah cemberut.
"Ayah … Ayah ... mau kue yang dibuat ibu? Enak, lho...."
Ramzis mendesah berat. Mendengar suara nyaring anaknya membuat kepala Ramzis pening. "Tidak."
"Ah, Ayah pasti suka. Nanti Renata ambilkan."
"Tidak usah Renata, Ayah tidak ingin makan apa pun."
"Baiklah, di mana hadiah dari Ayah?" Renata kembali menyodorkan tangannya.
Ramzis menatap uluran tangan itu. Bagaimana ini, dia melupakan sesuatu itu padahal sebelumnya dia tidak pernah lupa. Hadiah untuk Renata ada di list paling atas dan seolah sudah jadi kewajiban. Ramzis menepuk jidatnya. "Ayah lupa."
"Ah ... Ayahhh ... kenapa bisa lupa?"
"Besok ayah belikan."
"Janji?"
"Iya, janji. Sudah, kembali bermain ya, ayah lelah."
Mungkin Renata dan bi Minah menganggap perlakuan Ramzis kali ini adalah hal yang biasa—manusiawi. Tapi, lain halnya dengan Vina. Dia merasakan kalau sesuatu terjadi pada suaminya itu. Setelah pulang dari toko kue, sejak itulah Vina merasa kalau ada hal yang mengusik suaminya. Ramzis pulang lebih cepat. Pertanda ada sesuatu hal yang mengganggu pikirannya.
"Ada yang membuat kamu tidak nyaman?" Vina membuka obrolan di dalam kamar. Dia sedang membantu Ramzis melepaskan jas yang melekat di tubuh pria itu.
"Tidak ada."
"Tidak biasanya kamu lupa membelikan hadiah untuk Renata."
"Lupa kan, manusiawi. Lagi pula, katanya kamu tidak suka kalau Renata hidup terlalu mewah."
Vina menghela napasnya. "Iya benar, tapi aku merasa ada sesuatu yang mengusik kamu."
Ramzis terkekeh geli. Dia menatap sang istri sepenuhnya. "Sesuatu itu tidak mengusik aku, tapi kamu," ujar nya sembari mencolek hidung Vina.
Walaupun sekarang terlihat jelas wanita itu menyadari kebodohannya, padahal hatinya merasa sangat berat. Seperti ada sebongkah batu yang masuk ke dalam dada.
***
Dua hari kemudian....
Pesta akan segera dimulai, namun pada sore hari. Di mana semua orang sedang saatnya bersantai dan tidak memiliki kesibukan. Frida menyunggingkan seulas senyum saat berdiri di depan rumah Ramzis. Dia masuk ke dalam, membawa kue yang diletakkan di atas troli.
Frida bisa melihat, banyak orang-orang berseliweran ke sana-ke sini menyiapkan acara pesta, senyum di wajahnya semakin mengembang di kala pintu rumah yang terbuka lebar itu menampakkan sosok Ramzis dan keluarganya duduk di sofa sembari bercanda.
Frida berharap, Ramzis atau Vina yang datang menghampirinya saat di ambang pintu, namun ternyata seorang wanita tua paruh baya yang datang menyambutnya.
"Ini kue ulang tahunnya?"
Frida sedikit kesal karena yang datang bukan yang diharapkannya. Tapi, setidaknya ini jauh lebih baik karena perhatian Ramzis sudah mulai terbagi dari keluarganya.
Frida tersenyum manis. "Iya betul, ini kue ulang tahunnya."
"Asyik!" Renata berhasil lepas dari jeratan Vina dan Ramzis, gadis itu berjalan menghampiri kue ulang tahunnya. "Wah, keren banget."
Vina ikut menghampiri. Kecuali Ramzis yang nampaknya kaku.
"Langsung masukkan saja di kulkas."
"Baik, Nyonya. Ayo."
Bi Minah membantu Frida membawa kue itu menuju kulkas. Vina berbalik, menatap sang suami yang tatapan matanya fokus tertuju pada punggung Frida yang kian menjauh. Dia menatap tangan dan kaki Ramzis yang terlihat gelisah.
Ada yang mulai Vina takutkan sekarang.
***
"Nah, terima kasih, ya," ucap bi Minah usai meletakkan kue ke dalam kulkas.
"Sama-sama."
Mereka sama-sama duduk di meja makan.
"Oh iya, omong-omong Oliv ke mana?"
"Dia sedang ada urusan, makanya saya yang antar."
"Oh begitu."
Frida mengangguk-angguk. "Oh iya, memangnya acara ulang tahun anaknya tuan Ramzis yang ke berapa?"
"Kelima tahun."
"Wow, sudah besar ya?"
"Iya, tuan sangat sayang anak dan istrinya. Dia adalah perisai rumah ini. Dia benar-benar bertanggung jawab. Dia tidak akan membiarkan kesedihan datang ke rumah ini."
Frida hanya mengangguk kecil. "Beruntung ya jadi istrinya."
"Nyonya Vina sangat beruntung, bahkan Keberuntungan itu menyalur pada kami semua." Bi Minah berkata sembari menatap Ramzis yang sedang berkata dengan seseorang dan Vina yang sedang bermain bersama Renata.
Dan dari situ, seulas senyum miring tercipta pada paras cantik Frida.
"Oh iya, kamu mau menunggu sampai acara pestanya mulai?"
"Apa?"
"Acaranya dua jam lagi. Biasanya, Oliv ikut pesta ulang tahunnya Non Renata, dan dia akan menunggu selama dua jam."
Frida masih tidak paham dengan maksud ucapan bi Minah. Namun setelahnya, dia paham ke mana arah pembicaraan ini. Rupanya, setelah menikahi Vina, wanita itu punya pengaruh baik terhadap Ramzis.
"Ah, tidak usah saya merasa tidak enak."
"Tidak apa-apa, anggap saja menggantikan Oliv."
"Memangnya boleh?"
"Tuan Ramzis akan mengizinkan."
Bertepatan dengan itu, Ramzis datang menghampiri meja dapur. Dan sekarang, ekspresinya seperti orang bodoh. "Ada apa?"
"Dia menggantikan Oliv untuk mengantarkan kue Tuan, bagaimana kalai dia juga menggantikan Oliv untuk ikut perayaan pesta?"
Ramzis menatap Frida, sorot mata mereka bertemu dan seolah saling melempar tatapan kerinduan. Dan bi Minah sama sekali tidak menyadari arti sorot mata itu.
"Tentu, dia boleh ikut pesta menggantikan Oliv."
Mendengar hal itu membuat sekujur tubuh Frida panas. Bi Minah tersenyum senang. "Nah, sudah diizinkan, mau ya?"
Mungkin ini sudah jalannya untuk Frida keluar dari zona merah.
"Baiklah, saya akan menunggu."
"Yasudah, saya ambilkan kue untuk kamu makan di sini, ya."
Bi Minah bergegas pergi dari dapur. Dia berniat mengambil setoples kue yang diletakkan di atas meja ruang tamu. Dan hal itu dimanfaatkan Ramzis dan Frida untuk berduaan. Mereka duduk tepat saling berhadapan.
Frida membantu Ramzis menuangkan air minum ketika tangan pria itu bergetar.
"Sepertinya kamu terlalu grogi, Mas."
Ramzis mengabaikan hal itu. Dia asyik meneguk air putihnya.
"Apa kamu lupa dengan apa yang terjadi dulu?"