Bab 2 Permulaan yang Tidak Disadari
Bab 2 Permulaan yang Tidak Disadari
"Sebentar lagi Renata ulang tahun, kita akan merayakannya lagi?"
Vina bertanya ketika dia membersihkan riasan di wajahnya. Sedangkan sang suami sedang duduk di atas kasur sembari berkutat di depan laptop. Sudah pukul 21.00 malam, waktunya mereka istirahat usai makan malam.
Ramzis mendongak menatap istrinya. "Iya, kita akan merayakannya."
Vina menghela napas panjang. Dari ulang tahun pertama hingga kelima nanti, Ramzis dan Vina senantiasa merayakannya berturut-turut. Mereka seolah membangun dunia baru untuk Renata. Dan dunia yang mereka bangun berisi dengan kebahagiaan, tidak ada celah sedikit pun untuk kesedihan masuk.
"Jangan lupa nanti kosongkan jadwalnya."
"Iya, besok aku juga akan ikut memesan kuenya."
"Bukannya ada meeting?"
"Setelah selesai meeting, tidak ada yang lebih penting dari kebahagiaan Renata."
Vina tersentuh mendengar ucapan itu. Ramzis benar-benar suami yang bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya. Bahkan, seluruh anggota rumah.
****
Sudah berkali-kali bi Minah membangunkan Renata, tapi gadis itu tak kunjung bangun juga. Sudah pukul 08.00 pagi, harusnya anak itu sudah bangun dan segar. Tapi kali ini, justru kebalikannya.
"Non Renata, ayo bangun." Bi Minah menggoyangkan bahunya secara perlahan.
Renata menggeliat. "Ada apa, Bi?"
"Sudah siang, ayo bangun, mandi."
"Masih mengantuk."
"Kalau tidak membuka mata pasti mengantuk terus, ayo bangun."
Renata akhirnya menurut, dia menguap lebar lalu menggeliat. Sinar matahari menembus matanya, mengusik kenyamanan tidurnya. Bi Minah membantu menata rambut Renata yang berantakan karena tidur.
"Ibu ke mana?"
"Ada di dapur."
"Memangnya hari ini ada acara?"
"Non Renata lupa ya?"
Renata diam sejenak. Dia belum mengumpulkan kesadarannya secara penuh. "Lupa apa?"
Bi Minah menghela napasnya. Dia mencolek hidung Renata. "Sebentar lagi ulang tahunnya, Non Renata."
Mendengar kabar itu Renata langsung membulatkan matanya. Dia menatap terkejut ke arah bi Minah. Kantuknya seketika hilang, lenyap begitu saja. "Oh iya, mereka pasti mau menyiapkan acara untuk ulang tahunku. Aku mau siap-siap."
Renata bergegas turun dari atas kasurnya menuju kamar mandi. Dia mengabaikan omelan bi Minah yang sudah mewanti-wanti agar berjalan masuk ke dalam kamar mandi secara perlahan. Namun, dia anak kecil, tidak cukup diperingatkan satu sampai dua kali.
****
Kalau keluarga Ramzis mendadak sibuk untuk acara pesta ulang tahun Renata, maka lain halnya dengan Frida. Wanita itu harus kembali menghadapi realita pahitnya. Sepanjang ayam berkokok, wajah Frida ditekuk masam. Dia memasuki toko kue tempatnya bekerja, melihat toko ini berdebu padahal semalam sudah dia lap, dia mendesah berat. Dia nyaris tidak bisa menopang tubuhnya karena beban yang dia pikul terlalu berat.
"Oh ya Tuhan, kapan semua ini akan berakhir?" gumamnya, "semoga akan ada kebahagiaan yang mampir." Dia lanjut berjalan dan mengambil celemek lalu memasangnya dan mulai mengelapi etalase sebelum kue-kue yang dibuat rekannya itu masuk ke dalam sana.
Hanya Frida yang terus menggerutu kesal. Sedangkan rekannya di toko kue hanya bisa menggelengkan kepala.
"Kalau saja dia tidak jatuh miskin, aku pasti tidak akan susah seperti gini. Menyebalkan!" gerutu Frida.
"Pelan-pelan, Frida, nanti etalasenya pecah, gaji kamu mau dipotong?" tegur rekannya.
"Alah, sudah diam saja!"
Rekannya yang bernama Oliv itu menghembuskan napas panjang.
Frida melanjutkan mengelapi etalase. Namun, saat dia melihat sebuah mobil terparkir di depan toko dan dia punya firasat kalau pemilik mobil itu ingin memesan kue, Frida lebih dulu menyerah.
"Oliv, itu sepertinya ada yang mau pesan. Kamu saja yang melayani, biar aku yang aduk adonan."
Oliv menghela napasnya. Dia mencuci tangannya dan segera menggantikan posisi Frida. Sedangkan Frida berganti mengaduk adonan di pantry.
****
Tidak ada lelahnya senyum itu mengembang di wajah seorang gadis cantik bernama Renata. Kedua tangannya sama-sama digandeng oleh Ramzis dan Vina. Mereka bertiga masuk ke dalam sebuah toko kue untuk memesan kue ulang tahu Renata. Dan toko kue ini adalah toko kue langganan keluarga Ramzis. Maka jangan heran, ketika Ramzis masuk ke dalam toko itu, Oliv segera mengembangkan senyumnya.
"Tuan Ramzis, selamat pagi."
"Pagi."
"Ingin pesan kue?"
"Iya, untuk ulang tahun Renata."
"Oh, baiklah, tunggu sebentar." Oliv bergegas mengambil buku menu dan menyodorkannya pada Ramzis. "Silahkan dipilih."
Renata menyambar buku menu itu dan segera melihat-lihat isi di dalamnya. "Wah, ini kue ulang tahunku tahun lalu."
Vina membalasnya, "Iya."
"Aku mau yang terbaru."
"Ada, di bagian belakang," ujar Oliv.
Renata membuka bentang lembar belakang dan menemukan sebuah kue dengan empat tingkatan. Di atasnya itu terdapat patung animasi. Renata menatap takjub.
"Kamu mau yang ini?" tanya Vina.
Renata mengangguk.
"Oke, yang ini." Vina menyodorkan buku menu dan kue yang dipilih Renata pada Oliv.
"Oke, untuk dua hari lagi, kan?"
Ramzis terkekeh geli. Bukan hanya dia yang menyayangi Renata, tapi juga orang lain yang notabenenya tidak sedarah. "Iya betul."
"Oke, saya catat ya," sahut Oliv ramah.
"Terima kasih," jawab Vina.
"Terima kasih kembali."
Ramzis dan keluarganya pun akhirnya bergegas pergi dari toko itu. Namun, langkah Ramzis untuk balik badan nyaris urung dilakukan saat dia melihat seseorang yang sangat familiar mengintip dari balik dinding yang memisahkan ruangan mereka. Vina memegang bahunya, membuatnya tersadarkan dan lanjut berjalan.
"Oliv," panggil Frida.
"Ada apa?"
"Tadi itu siapa?"
"Tuan Ramzis, dia itu pelanggan tetap di toko kue ini. Oh iya, nanti dua hari lagi kamu antar kue ulang tahun anaknya ke rumah dia, ya. Soalnya aku ada kesibukan."
Frida hanya mengangguk tanpa membalasnya dengan ucapan. Dia menatap kepergian alphard mewah itu. Seulas senyum terukir di wajahnya.
****
Ada yang harus Ramzis tunda untuk mengantar Renata dan istrinya memilih kue. Padahal, tanpa dia pun mereka bisa memilih kue sendiri. Tapi, Ramzis sudah terlanjur memberikan kasih sayang dan cintanya terlalu banyak pada Renata juga Vina. Dan, entah apa jadinya kelak jika sayang dan cinta yang begitu besar itu, berpindah kepemilikan.
"Ayah keluar dulu, ya?"
Renata menatap ayahnya. "Terima kasih sudah menemani memesan kue."
Ramzis mengacak rambut Renata. "Iya. Hati-hati, daaada... putri kecil Ayah"
Renata melambaikan tangannya pada Ramzis dari balik kaca mobil yang terbuka ketika ayahnya itu berjalan memasuki gedung pencakar langit.
"Ayo, Pak," ucap Vina pada sopir.
****
Buk!
Ramzis meletakkan tas kerjanya di atas meja. Dia sedikit melonggarkan dasinya lalu duduk di kursi kebanggaannya. Sebelum meeting dimulai sepuluh menit lagi, dia memutuskan untuk menyejukkan diri. Dia sedang berpikir keras, soal orang yang sangat familiar dihidupnya muncul lagi.
Beberapa gerakan gelisah Ramzis tampakkan di dalam ruang kerjanya. Dia ingin menyejukkan tubuhnya, tapi otaknya berubah jadi panas ketika mengingat hal itu.
Hal yang sangat berarti bagi hidupnya, tapi justru pergi begitu saja. Dia seperti terlempar pada mesin waktu, dan mesin itu berputar membawanya pada dimensi beberapa tahun lalu. Di mana saat itu, kejadian yang naas menimpanya. Saat dia gulung tikar, dan orang spesial meninggalkannya.