Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Kebahagiaan dan Penderitaan

Bab 1 Kebahagiaan dan Penderitaan

"Ayahhh!!!"

Seorang anak kecil dengan dua kunciran rambut di kepalanya berlari kecil dari atas anak tangga menemui seorang pria berbalut jas di ruang tamu. Rambutnya berterbangan sana-sini karena angin. Dia melebarkan senyumnya saat pria yang sangat dia sayangi melebarkan tangannya—meminta pelukan.

Hap!

Tubuh mungilnya berhasil ditangkap oleh pria itu. Dia memeluknya dengan sangat erat. Seolah dia tidak melepaskan bahkan kehilangan putri kecilnya itu.

Mereka berbagi tawa dalam pelukan hangat itu. Usai beberapa saat, pria tersebut yang diyakini adalah ayah dari anak kecil itu, yang bernama Ramzis Kamadatu menurunkan putri kecilnya—Renata Abigail.

"Bawa hadiah apalagi?"

Renata menyodorkan tangannya meminta hadiah dari sang ayah. Karena biasanya, siklus ini terus berputar tanpa kenal henti. Di mana Ramzis akan pulang dari kantornya dan memberikan hadiah untuk anaknya. Maka jangan heran, kalau kamar Renata penuh dengan barang-barang pemberian Ramzis.

"Jangan ditanya dulu, ayah kamu ingin istirahat."

Vina Artha Nila—seorang ibu dan juga istri bagi Renata dan Ramzis datang seraya mengambil tas kerja Ramzis, lalu membawanya. Dia pun meminta suaminya itu untuk duduk.

Renata berdecak sebal. "Aku tidak mengganggu, aku hanya meminta hadiah dari Ayah. Iya, kan?" Renata meminta persetujuan dari Ramzis dan dibalas pria itu dengan senyum mengembang.

"Sama saja."

"Beda!"

Ramzis terkekeh geli menyaksikan perdebatan kecil antara istri dan anaknya. "Renata sini." Dia menepuk-nepuk sofa di sampingnya agar Renata duduk di sana. Gadis kecil itu duduk di samping Ramzis dengan mata membulat. "Renata mau hadiah?"

Renata mengangguk manis.

"Setiap hari kan, sudah diberi hadiah, kenapa masih terus meminta?"

"Karena Ayah selalu memberikannya, makanya aku selalu meminta."

Ramzis dan Vina terkekeh geli mendengar ucapan anak semata wayangnya. Dalam hal adu mulut, Renata sudah mulai pandai.

"Baiklah, ini dia!" Ramzis menyodorkan sebuah bingkisan pada Renata membuat putrinya itu berjingkrak senang.

"Asyik, apa ini?"

"Buka saja."

Renata selalu suka dengan kejutan. Bagi dia, kejutan selalu istimewa, membuat semua orang bahagia. Dia pun membuka bingkisan itu dan mengeluarkan sebuah buku gambar, pensil, dan krayon. Semua itu adalah perlengkapan untuk menggambar.

"Wow." Renata menatap takjub barang-barang yang dibelikan ayahnya. Walaupun sebetulnya dia bisa beli sendiri, namun apa yang diberikan Ramzis melebihi isi dunia ini.

"Bilang apa kalau diberi hadiah?" tanya Vina.

"Terima kasih," ujar Renata sembari menatap Ramzis.

Ramzis mengacak rambut putrinya. "Kembali ke kamar dan coba barang-barang itu."

"Oke." Renata bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia kembali berlari dari ruang tamu menuju kamarnya di lantai atas. Dia nyaris saja menabrak seorang asisten rumah tangga bernama bi Minah yang ada di tengah undakan tangga.

Kepergian Renata membuat Ramzis menghela napas lega. Seolah, dia baru saja terlepas dari jeratan benang. Dia menyeruput kopi yang disuguhkan istrinya.

"Mas," panggil Vina.

"Ada apa?"

"Aku rasa setelah ini kamu jangan terlalu banyak memberikan hadiah pada Renata. Kamarnya penuh dengan barang-barang. Dibagikan dia tidak mau. Kalau seperti itu terus, nanti dia terbiasa hidup mudah."

Ada hal yang selalu dikhawatirkan orang tua, termasuk Vina. Dia khawatir kalau Renata akan tumbuh menjadi gadis manja, gila harta, dan akan menatap rendah orang-orang. Hidup Renata dari kecil nyaris menyentuh kata sempurna bak tuan putri di negeri dongeng. Dan itu yang dia takutkan jika Renata enggan mengenal kekurangan.

"Selagi aku bisa membahagiakannya, biarkan dia hidup bahagia," ujar Ramzis. Karena dia punya pendapat lain dari Vina. Dia sangat menyayangi anaknya, dan enggan melihat sang anak menangis. Dia adalah perisai Renata, akan melindungi anaknya dari segala marabahaya.

"Justru itu, bagaimana kalau kamu tidak sanggup membahagiakannya? Pikirkan untuk kedepannya, Mas."

Ramzis menghela napas panjang. Menurutnya, pikiran Vina itu terlalu berlebihan. "Jalani saja sekarang, nikmati," katanya dan segera bangkit berjalan menuju kamarnya.

Vina menghela napas panjang.

***

Bugh!

"Ahhh..."

Seseorang menghela napas panjang ketika tubuhnya terbanting di atas kursi kayu. Dia memejamkan matanya, merasakan kesejukan angin yang menerpa tubuhnya dari ventilasi, dan bukan AC. Dia berusaha merilekskan tubuh dan otaknya setelah seharian berkutat di sebuah toko kue. Badannya terasa pegal, seolah semua tulangnya tidak terhubung satu sama lain.

Perlahan, dia menggerak-gerakkan tulang-tulang tubuhnya.

"Seperti mau copot," lirihnya. Dia membuka matanya, dan hal yang pertama dia lihat adalah cat tembok yang mulai mengelupas membuat pemandangan menyedihkan. Lihatlah, ruang tamu ini berantakan, ada banyak debu di mana-mana, baju-baju kotor dan bersih yang tercampur dan berserakan di setiap lantai. Ini persis seperti gudang, bukannya tempat huni.

Dia menepuk jidatnya sendiri. Kepalanya mulai terasa pening. "Ya Tuhan, kapan aku akan mendapatkan kebahagiaan lagi?" gumamnya.

Dia adalah wanita paruh baya, namanya Frida Yamara. Seorang wanita yang baru tiga hari ini bekerja di sebuah toko kue setelah kejadiaan naas baru-baru ini menghujamnya. Baru tiga hari dia hidup susah, setelah sekian lamanya dia hidup bahagia dan berkecukupan.

Tok! Tok! Tok!

Frida meringis ngilu mendengar suara ketukan pintu itu. Terlebih, orang di luar sana memanggil namanya dengan suara nyaring. Tidak bisakah dia hidup tenang untuk sementara waktu?

Ceklek!

Frida membuka pintunya secara kasar dan melihat seorang ibu-ibu yang jauh lebih tua darinya menatapnya tajam.

"Mana uangnya!" Dia menyodorkan tangannya.

Frida persis seperti orang gila, dia sangat-sangat frustasi mendapati hal yang menyedihkan ini.

Dia menyandarkan kepalanya di kusen pintu. "Saya belum dapat uang," katanya frustasi.

"Kamu janji hari ini bayar di bulan pertama!"

"Iya, kalau saya punya uang akan saya bayar. Saya belum mendapat gaji kerja saya."

Orang di depan Frida mendesis kasar. "Makanya, jangan suka janji ini dan itu. Saya orangnya konsisten!"

Suaranya persis seperti klakson kontainer. Frida merutuki hal itu.

"Ya sudah, nanti juga saya bayar."

"Kapan?"

"Kalau saya dapat uang Ibu! Lagi pula saya baru tiga hari tinggal di kosan ini!"

Ibu kosan mendesis lebih keras. "Oke, awas saja, kalau tidak bayar."

"Iya ... iya ...."

Ibu kos bergegas pergi meninggalkan Frida. Frida memang baru tiga hari pindah. Dan ketika diminta tagihan, dia berjanji akan membayarnya besok, besok, dan besok.

Brakh!

Frida menutup pintunya secara kasar, dia menurunkan tubuhnya secara perlahan hingga menyentuh dinginnya lantai. Frida benar-benar frustasi, hidupnya sangat menyedihkan, dia harus keluar dari zona ini secepatnya sebelum keadaannya semakin memburuk.

Otaknya diputar, cara apa yang harus dia lakukan dalam waktu dekat ini.

Dia meraih ponselnya di dalam tas yang diletakkan di atas meja kayu. Ditatapnya ponsel itu lekat hingga giginya bergertak.

"Aku harus cari kamu!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel