Bab 10 Undangan Pernikahan
Bab 10 Undangan Pernikahan
Ramzis menghentikan langkahnya saat melihat sosok Renata dan bi Minah berdiri di depannya. Bukannya dia tidak ingin berpaling, hanya saja dia bingung akan melakukan apa nantinya.
Ramzis berusaha mendekat. "Sudah di antar?"
Bi Minah mengangguk. "Sudah Tuan."
"Terima kasih."
Bi Minah mengangguk kecil. Dia harap akan ada kalimat yang dilontarkan Ramzis, tapi ternyata itu hanya angan-angan yang tidak pernah terwujud. Ramzis berlalu begitu saja seperti angin yang melewati awan.
"Ayah."
Ramzis menghentikan langkah tanpa mau menoleh.
Renata menatap punggung tegak ayahnya. "Ibu sakit karena Ayah, Ayah tidak ingin menjenguknya?"
Ramzis mendesah berat. Alih-alih menjawab iya atau tidak, Ramzis justru lanjut berjalan memasuki lift. Ucapan anaknya seperti tertelan angin. Dia memasuki lift. Pintu lift perlahan tertutup membuat pandangannya pada Renata dan bi Minah kabur.
"Ayo kita pulang, tidak ada yang bisa diharapkan lagi," ucap bi Minah.
Renata menghela napasnya. Dia berjalan bergandengan dengan bi Minah menuju mobil yang terparkir.
Benar, tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Semuanya sudah benar-benar hancur.
****
Baru saja bi Minah dan Renata turun dari dalam mobil. Seorang satpam datang tergopoh-gopoh dari arah rumah menuju mereka. Wajahnya terlihat panik, ekspresinya tegang. Mungkin, sesuatu hal yang buruk telah terjadi.
"BI MINAH! NON RENATA!" Dia berteriak lalu sampai dengan napas terengah-engah.
"Ada apa?" tanya bi Minah. Dia ikut panik seperti satpam itu.
"Nyonya ... di dalam dia—" Dia masih mengatur deru napasnya.
"Ibu kenapa?" tanya Renata panik.
"Nyonya sekarat di kamar!"
Sontak Renata dan bi Minah bergegas meninggalkan pak satpam dan berjalan menaiki anak tangga. Beberapa pembantu sedang mengerumuni kamar Vina. Oh ya Tuhan, apa ini? Vina mengunci pintunya dari dalam.
Bi Minah dan Renata memecah kerumunan itu, hingga berdiri tepat di depan pintu berfuniture coklat.
"NYONYA!" Bi Minah menggedor pintu kamar dengan sangat keras lalu disusul Renata.
"IBU! IBU BUKA, BU?"
"TOLONG, SIAPA PUN DOBRAK PINTU INI!"
"Biar saya saja!"
Pak satpam tadi datang menyelusup. Napas dia masih memburu. Dia meminta semua orang minggir dan memberikan kesempatan pada dia untuk mendobrak pintu. Wajah-wajah gelisah penuh kekhawatiran itu muncul di setiap orang yang melihat kejadian ini.
Dua sampai lima kali pintu tidak terbuka. Pak satpam nyaris menyerah. Namun, karena iba melihat raut wajah Renata, energi pak satpam bertambah. Hingga pada dorongan ke tujuh pintu itu terbuka.
Bag!
Mereka terkejut bukan main saat melihat sosok Vina terkulai lemas di sisi ranjang dengan mulut penuh buih. Salah satu tangannya memegang botol—pil tidur. Semua orang menutup mulutnya saking terkejut.
"NYONYA! ASTAGA, APA YANG TERJADI!"
Mereka bergegas berkerumun. Renata sudah menangis sejadinya sembari menggoyangkan bahu Vina.
"TOLONG, PANGGILKAN DOKTER!"
Seseorang pamit keluar untuk menelepon seorang dokter. Sedangkan beberapa dari mereka mencoba membantu Vina naik ke atas kasur.
"Ibu, Ibu kenapa?"
Padahal, pagi tadi Vina terlihat baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda dia akan melakukan hal semengerikan ini. Entah sudah kehilangan motivasi atau sudah benar-benar menyerah. Vina sekarat di depan anaknya.
"Ibu ... bangun ... Renata sayang Ibu."
Tangan gadis itu mengepal saat melihat foto pernikahan Vina dan Ramzis.
****
Semua orang sedang menunggu hasilnya di bawah. Mereka semua di sini sedang merapalkan doa, agar ada keajaiban dan Vina baik-baik saja. Semua orang mengerti perasaan satu sama lain, termasuk perasaan Renata. Anak lima tahun itu pasti lebih sakit melihat ibunya sekarat.
"Apa tidak ada yang melihat dia melakukan itu?" tanya bi Minah pada semua pembantu.
"Ini tidak terduga. Setelah kalian pergi Nyonya sarapan di bawah, kemudian dia kembali lagi ke kamarnya. Aku pikir dia sedang beristirahat. Dan tiba-tiba kami mendengar suara rintihan dari arah kamar."
Bi Minah memegang kepalanya yang berat. Seperti inikah takdir buruk itu. Harus merasakan kesedihan untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.
Seorang dokter turun dari lantai atas usai memeriksa kondisi Vina.
"Bagaimana, Dok?" tanya bi Minah.
Dokter itu menghela napas panjang nan berat. Mungkin saking tidak bisa menjabarkannya, dia binggung memilih padanan kata yang bagus.
"Bagaimana kondisi ibu?"
"Dia baik-baik saja, obat tidur yang dia minum tidak terlalu banyak. Kalian jangan khawatir berlebih, dia akan segera sembuh dalam dua hingga tiga hari ke depan."
Semua orang menghela napas lega. "Dia benar baik-baik saja, Dok?"
"Saya tidak bisa bilang mentalnya baik-baik saja. Dia sudah hampir menyentuh dasar jurang."
Mereka tahu betul makna ucapan sang dokter itu.
"Lalu apa yang harus dilakukan, Dok?"
Dokter itu menghela napas panjang. "Kalian harus beri dia perhatian. Awasi dia karena takut ini akan terulang lagi."
"Baik, terima kasih."
"Saya permisi dulu."
Bi Minah menatap manik mata Renata, ada sesuatu yang tidak bisa dijabarkan di sana. Gadis itu, sudah sangat menderita diusia yang terbilang masih belia.
Sejak kejadian itu, beberapa orang bergilir mengawasi Vina. Mereka benar-benar memastikan Vina aman. Kejadian tiga hari lalu menimbulkan kekhawatiran besar.
Jadwal makan Vina memang teratur, tapi wanita itu yang enggan mengaturnya. Kadang, dia hanya akan makan sehari sekali atau terlebih dia tidak makan. Bahkan hal yang tidak terduga, dia banyak menghabiskan porsi makan. Makanya, infus sekarang membantunya untuk memenuhi nutrisi tubuh.
Selama tiga hari ini tidak ada yang bisa Renata lakukan selain menggurat sesuatu, melihat para pembantu rumahnya bekerja, dan menatap ibunya dari kejauhan. Seperti sekarang ini, dia sedang menemani ibunya di dalam kamar sembari memainkan rambut kecilnya.
"Ibu katanya sayang Renata, kenapa Ibu melakukan hal itu? Renata takut kehilangan Ibu." Sebulir air mata jatuh dari pipi Renata menuju pipi Vina.
Vina membuka mata. "Re-na-ta."
"Maaf, Renata membangunkan Ibu?"
Vina menggeleng lemah. "Te-ri-ma-ka-sih."
Entahlah, untuk apa ucapan Terima kasih itu. Renata hanya tersenyum menanggapinya. "Sama-sama. Renata keluar dulu, ya. Ibu istirahat."
Vina mengangguk.
Renata beranjak menuruni anak tangga. Bertepatan dengan berakhirnya dia turun dari anak tangga, bel rumah berbunyi.
"Biar aku saja." Gadis itu melarang bi Minah yang tergopoh-gopoh hendak membukakan pintu.
Ceklek!
Renata menatap seorang kurir. "Ada apa?"
"Ini, ada undangan."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Renata menutup pintunya saat kurir itu berjalan menjauh. Gadis itu melihat undangan di tangannya. Dia terkejut bukan main saat melihat nama pengantin yang tertera diundangan itu. Tubuhnya mematung.
"Dari siapa?" Bi Minah berjalan sembari mengelap tangannya sembarangan pada daster.
Tubuh bi Minah pun ikut kaku saat melihat nama pengantin yang tertera. Undangan itu seperti mengantarkan sihir yang kuat. Perlahan, bi Minah mengambil undangan di tangan Renata dan membacanya dengan seksama.
"Itu undangan pernikahan ayah dan wanita itu."