Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Pesta Pernikahan

Bab 11 Pesta Pernikahan

"Itu undangan pernikahan ayah dan wanita itu."

Bi Minah menatap Renata dengan penuh keterkejutan. "Nak...."

"Tidak apa-apa, Renata harus datang besok. Bi Minah mau kan, menemaniku?"

Bi Minah dengan tegas menggeleng. "Tidak, besok jangan datang ke acara ini. Bibi tidak akan mengizinkannya."

"Kenapa? Itukan acara ayah, Renata harus datang. Sebentar saja, setelah itu pulang."

"Ingin sebentar ataupun lama, Non Renata tidak boleh datang. Bibi tidak ingin kejadian buruk terulang lagi.”

“Dengarkan bibi, Non." Bi Minah menangkup kedua bahu Renata, berusaha meyakinkan anak majikannya itu. Sebab, yang dia takutkan saat Renata datang adalah gelombang kesedihan menerjang anak itu.

"Renata tidak ingin lemah, Bi. Renata ingin buktikan, ada atau tidak adanya Ayah, Renata akan selalu baik-baik saja. Renata tidak ingin dianggap lemah."

Bi Minah diam, dia sedang mencerna baik-baik ucapan Renata. Dia merasa terkesan dengan ucapan Renata. Entah dari mana gadis itu belajar merangkai kata yang indah.

Setelah diam beberapa saat, Bi Minah mengangguk mengizinkan.

"Bibi akan temani."

****

Hari pernikahan diselenggarakan disebuah aula pernikahan yang mewah. Banyak gemerlap lampu-lampu dipadu dengan bunga-bunga. Interior yang mewah sepadan dengan gaun pengantin yang dikenakan Frida. Mereka berdua sibuk menyalami tamu undangan yang datang.

Sedangkan dilain sisi, Renata dan Bi Minah juga ikut sibuk mempersiapkan diri untuk datang ke acara pernikahan Ramzis. Mereka tidak menggunakan pakaian yang begitu mewah, yang penting cukup enak dipandang.

Renata dan bi Minah bergegas turun ke bawah, mereka berjalan tanpa suara agar tidak menganggu istirahat Vina. Kalau sampai wanita itu tahu, semuanya bisa kacau balau.

"Ayo, pelan-pelan."

Bi Minah menggandeng Renata berjalan di depan kamar Vina agar tidak menimbulkan suara. Mereka meminta pembantu di rumah agar tidak mengatakan kalau mereka sedang pergi.

"Hati-hati ya, Non," ucap salah satu pelayan.

"Iya, jaga Nyonya. Jangan sampai dia terganggu." Bi Minah memberika pesan pada pelayan tersebut.

"Iya, Bi."

Renata dan bi Minah berjalan keluar rumah. Mereka segera memasuki mobil yang sudah dipanaskan. Mobil mereka melaju menembus jalanan.

Semua pembantu di rumah mulai mengerjakan tugasnya. Sebisa mungkin pekerjaan yang mereka lakoni tidak menimbulkan suara besar yang membuat Vina bangun. Tapi, tanpa mereka ketahui, Vina sudah terjaga sejak dini hari. Dia tidak bisa tidur semalaman, terus melamun dengan pikiran kosong.

Dia menoleh ke arah pintu. Tidak ada tanda-tanda seseorang yang akan datang membawakan sarapan. Vina membuka selimut yang membungkusnya, termasuk alat infus yang melekat di tubuhnya. Entah apa yang dia pikirkan, dia berjalan dengan jiwa kosong.

Dia menuruni anak tangga, menoleh ke kanan dan ke kiri—tidak ada siapa pun. Matanya tertuju ke arah meja, ada sebuah undangan yang tertera. Vina mendekat, mengambil undangan itu lalu membacanya.

****

"Terima kasih sudah menghadiri acara pernikahan kami."

"Semoga kalian menjadi pasangan yang paling bahagia."

Begitulah ucapan dan doa serta ucapan terima kasih itu Ramzis dan Frida terima. Beribu-ribu harapan para undangan tujukan untuk pasangan yang sedang berbahagia ini, dan di antara padatnya tamu undangan, Renata dan Bi Minah ada di dalamnya. Mereka hanya berdiri menatap pelaminan di depan mata.

"Frida," panggil Olivia, "kamu pakai jurus apa sampai Tuan Ramzis menikahimu?"

Duk!

Frida menyikut perut Oliv membuat temannya itu meringis. "Jangan sembarangan kamu!"

Oliv berdecih. "Dasar!"

Frida kembali tersenyum manis pada teman-temannya yang lain. Mata dia tanpa sengaja bertemu dengan manik mata Renata juga Bi Minah, dia tersenyum miring.

"Kalau Non Renata tidak sanggup, kita pulang saja," ucap bi Minah.

Renata menggeleng. "Tidak, ayo kita ke sana."

Bi Minah menghela napasnya. Mereka berjalan menuju pelaminan, ikut berbaris dengan beberapa orang yang hendak mengucapkan selamat.

Ramzis meneguk ludahnya saat melihat kehadiran Renata dan bi Minah. Kalau sampai ada orang yang menyadari kalau Renata adalah anaknya, reputasinya akan hancur dalam sekali jentikan. Dia tidak tahu, kenapa bisa anaknya itu datang kemari.

"Frida, siapa yang mengundang Renata dan Bi Minah," bisik Ramzis.

"Aku tidak tahu, memangnya mereka kemari?" tanya Frida balik.

Ramzis memutar otaknya dengan sangat cepat. "Ayo, saatnya kita sesi foto!" ucap Ramzis.

Bi Minah dan Renata menghentikan langkahnya. Padahal selangkah lagi mereka akan naik ke pelaminan. Mereka melihat Ramzis dan Frida sedang sesi foto bersama beberapa orang.

Renata dan bi Minah saling tatap. Ada banyak pertanyaan yang tidak bisa dijabarkan oleh rangkaian kata.

"Padahal kita belum ke sana," ucap Renata.

"Sudahlah, lebih baik kita segera pulang, Non," ucap bi Minah.

Renata sangat kecewa dengan kenyataan ini. Dia dan bi Minah kembali berjalan mundur, hendak keluar dari aula pernikahan ini. Tapi sayangnya, kejadian besar tiba-tiba terjadi.

"MAS RAMZIS!"

Semua orang terkejut bukan main. Mata mereka mengarah pada seorang perempuan dengan balutan gaun pernikahan. Wajahnya sangat lelah, ada bekas tangisan di matanya. Wanita itu berjalan maju dengan langkah bergetar. Tatapan matanya menyorot tajam, seperti singa yang hendak menerkam mangsanya.

Sementara itu, Ramzis sendiri menggertakkan giginya. Siapa yang memberitahu kepada anak dan istrinya tentang pernikahan ini. Termasuk Renata dan Bi Minah pun tak kalah terkejutnya.

"KENAPA KAMU MENIKAHI JALANG INI!" tunjuk nya pada Frida.

Semua orang mulai berbisik satu sama lain. Mengomentari kedatanganVina yang bertingkah seperti orang gila.

Beberapa orang dari arah pintu bergegas masuk. Mereka menahan Vina yang hendak merangsek maju. "AYO CEPAT KELUAR!"

"TIDAK! LEPASKAN AKU!"

"KELUAR!"

Mereka dengan susah payah menarik Vina agar keluar dari dalam aula ini. Tapi, Vina juga tidak kalah memberontaknya.

"LEPASKAN AKU! AKU INI ISTRINYA! DIA JALANG! LEPASKAN AKU!"

"AYO KELUAR!"

Bugh!

"IBU!"

Lagi-lagi Vina jatuh membentur lantai, membuat keningnya lebam. Dia meringis kesakitan, untuk kedua kalinya dia mengalami hal serupa. Dan entah untuk keberapa kalinya, hatinya hancur.

Renata berlari mendekat dan memeluk Vina. "Jangan sakiti ibu!"

"Nyonya." Bi Minah ikut memeluk Vina.

Tapi yang dipeluk, justru memberontak. "LEPASKAN AKU! AKU TIDAK MENGENAL KALIAN! AKU HANYA KENAL SUAMIKU, MAS RAMZIS! DAN JALANG ITU—" Telunjuk nya tepat mengarah pada Frida bersamaan dengan mata yang menyorot tajam. Dia hendak merangsek maju, namun lagi-lagi ditahan.

"JANGAN GANGGU PESTA INI! AYO KELUAR!"

"Jangan tarik-tarik ibu. Kasihan dia!"

"AYO CEPAT KELUAR!"

Vina berhasil di keluarkan dari dalam aula bersamaan dengan bi Minah dan juga Renata. Dua orang itu menatap tajam ketiganya. "Jangan kembali lagi, paham!"

Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah dengan keadaan. Bahkan disaat seperti ini, Ramzis hanya diam membisu. Tubuhnya sama sekali tidak bergerak atau bergeser sejengkalpun. Tangannya membeku, namun segera mencair saat Frida menggenggamnya.

"Ibu, kenapa Ibu bisa ada di sini?"

Vina diam. Tidak ada yang tahu, bagaimana dia bisa memasuki aula ini. Sedangkan di dalam aula pernikahan, suasana menegang. Para tamu undangan sedang berbisik-bisik mengenai kejadian tadi.

Seorang pembawa acara di stage menyanyi berkata, "Para hadirin, mohon maaf atas ketidaknyamanannya tadi. Itu adalah kesalahan kecil. Dan untuk mengembalikan suasana, mari kita lanjutkan pestanya."

Semua orang kembali memeriahkan acara pesta ini. Mereka tidak lagi berbisik akan sesuatu hal.

"Siapa yang mengirim undangan pada mereka, Frida?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel