Bab 12 Pelaku Penyebar Undangan
Bab 12 Pelaku Penyebar Undangan
Ingatan Frida terlempar pada dua hari yang lalu. Di mana sehari sebelum pernikahan, dia meminta seseorang untuk mengantarkan undangan pernikahan ke rumah lama Ramzis.
"Di sini ada alamat ke mana undangan ini tertuju. Setelah memberikannya langsung kembali," kaya Frida.
"Baik, saya akan melaksanakannya dengan baik."
Padahal, Ramzis tidak mengizinkan siapa pun menyebar undangan ke rumah lamanya. Dia tidak mau kalau orang rumah mendengar kabar ini. Terlebih ketika anak dan istrinya mendengar. Dia takut kejadian buruk terjadi, seperti kejadian tadi.
Frida mendekatkan bibirnya di telinga Ramzis. "Aku tidak tahu, mungkin yang mengantarnya tidak sengaja memberikan."
Ramzis mendesah berat.
"Oh ayolah, jangan merusak hari bahagia kita." Frida mengait tangan Ramzis. Dia memberikan seulas senyum manis yang menyalur pada Ramzis.
Suami Frida tersenyum hangat. Dia kembali melakukan sesi foto bersama Frida.
****
Sementara di luar aula pernikahan, Renata, Vina, danBi Minah menangis tersedu-sedu. Vina enggan bangkit dari duduknya meski Bi Minah dan Renata sudah memaksa. Wanita itu sepertinya sudah dipaku di tempatnya. Sama sekali tidak bisa berpindah.
"Di-a-mi-lik-ku," lirih Vina.
"Ibu, ayo kita pulang saja." Renata menarik-narik lengan Vina.
Vina menggeleng. "Di-a-mi-lik-ku."
Dari dalam, Oliv keluar dengan tergesa-gesa menghampiri ketiganya. "Bi Minah, Renata, Nyonya Vina." Dia ikut duduk di depan tiga orang yang sedang menangis itu. "Astaga, kenapa ini bisa terjadi?" Oliv sendiri tidak habis pikir dengan jalan semua ini. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan terlalu mendadak. Jadi, sangat sulit untuk ditebak.
"Oliv, tolong kami," ujar Bi Minah, "bujuk Nyonya Vina untuk pulang."
Oliv mengangguk setuju. "Baiklah, kalian bawa mobil tidak?"
"Tidak, kami menyuruh supir pulang."
Oliv ikut panik. "Baiklah, ikut mobil saya saja. Nyonya Vina, ayo kita pulang ya."
Vina menatap Oliv, tatapannya pada wanita itu sangatlah tajam. "TIDAK! DIA MILIKKU!" Vina bangkit berdiri, hendak berjalan masuk kembali namun Oliv dan Bi Minah menahan tubuhnya.
"Tidak Nyonya, jangan masuk!"
"Dia milikku!" Vina lemas, energinya mulai terkuras habis. Dia jatuh pada dekapan Oliv sambil menangis tersedu. "Di-a-mi-lik-ku."
Oliv mengelus punggung Vina. Hatinya merasa sangat tersentuh. Dia sama sekali tidak membayangkan kalau hal semengerikan ini akan terjadi. "Nyonya, tenang ya. Ayo, kita pulang saja. Lebih baik pulang daripada melihat ini semua."
Ucapan Oliv mampu membuat Vina luluh. Mungkin karena dia juga sudah lelah. Dia dibantu Bi Minah dan Oliv untuk berjalan. Renata menoleh ke belakang, melihat pesta pernikahan yang digelar dengan sangat mewah. Renata mengepalkan tangannya, merasa sedih sekaligus kesal. Perasaannya mulai bercampur aduk.
****
Mobil Oliv sudah terparkir manis. Beberapa pembantu rumah mulai berkerumun. Wajah mereka terlihat sangat gelisah. Terlebih saat melihat Vina turun dari dalam mobil seperti mayat hidup. Mereka siap dimarahi Bi Minah karena lalai menjaga Vina. Kalau sudah kumbuh, Vina sangat sulit untuk dikendalikan.
"Tolong bantu Nyonya masuk ke dalam kamar."
Dua orang berjalan mendekat, mereka membawa Vina berjalan memasuki kamar, diikuti Bi Minah dan sederet orang lainnya. Mereka sama-sama duduk, berkerumun di sofa ruang tengah.
Belum genap menjelang siang, Bi Minah dan Renata sudah sangat lelah. Wajah mereka begitu kentara letihnya.
"Maafkan kami Bi Minah, kami lalai menjaga nyonya Vina. Dia benar-benar kalut, sulit untuk dikendalikan."
Bi Minah mendongak, menatap salah seorang pembantu. Dari tatapannya sudah jelas mengisyaratkan agar dia terus bercerita.
"Dia melihat undangan di meja kemudian masuk ke dalam kamar. Saat saya ingin memberikan sarapan, dia sudah memakai gaun pernikahan. Dia tertawa keras, saya takut, dia seperti hantu. Kemudian dia menyodorkan pisau pada setiap orang yang menghalanginya. Kami tidak bisa melakukan apa pun, kami ingin mencegahnya. Tapi kami lebih dulu tumbang. Nyonya mengunci pintu dari luar."
Dari rentetan cerita itu Renata bisa membayangkan kejadian yang sangat mengerikan itu.
Bi Minah menghela napas panjang. Dia menopang jidatnya dengan kedua tangan. Oliv yang ada di sebelahnya berusaha menenangkan dengan memberikan sentuhan. "Bibi yang sabar, semua pasti ada jalannya."
"Semuanya sudah buruk, terlanjur sangat buruk. Sangat susah memperbaikinya."
Suasana mendadak berubah menjadi haru. Ada yang menitikkan air mata, dan ada juga yang hanya merasa iba, terlebih saat mereka menatap Renata yang tertunduk memainkan guratan bajunya. Gadis itu sangat terpukul, tapi dia tidak tahu bagaimana cara menampilkan rasa terpukul itu. Dia menatap pintu kamar ibunya yang baru saja ditutup.
Perasannya campur aduk, dan hasilnya pahit.
****
Renata ingin tidur bersama ibunya. Tidak ada yang bisa dia lakukan sepanjang hari ini selain menemani ibunya di dalam kamar tanpa berkata-kata. Mungkin, Renata hanya akan berkata dalam hati. Dia menyesal karena meletakkan undangan itu secara sembarangan. Kalau saja dia segera membuang undangan itu, hal buruk ini tidak akan terjadi. Ah, kalau saja Frida tidak hadir dalam kehidupan mereka, ini tidak akan pernah terjadi. Dan Renata, masih dinobatkan menjadi orang yang paling bahagia. Tapi, dalam sekejap penobatan itu berganti nama, Renata menjadi anak yang paling menderita.
Pukul 22.00 Renata tidak bisa menahan kantuknya, dia memutuskan untuk menarik selimut lalu memejamkan matanya. Dia memeluk Vina erat, seperti Vina mendekapnya dulu.
"Selamat malam Ibu." Dia mengecup sebelah pipi ibunya lalu tidur.
Bertepatan dengan itu, Bi Minah pun menutup pintu kamar usai mengintip sebentar. Dia menghela napas panjang. Kapan semua ini akan berakhir?
****
"SIAPA YANG MEMBERIKAN UNDANGAN KEPADA ANAK DAN ISTRI SAYA?" Ramzis bertanya dengan tegas dan sarkas pada bawahannya usai pesta diadakan. Beberapa orang yang ada di depannya tertunduk takut. Seolah Ramzis saat ini berubah jadi monster yang sangat kalap.
"SIAPA!" tegas nya.
Tidak ada yang berani menjawab.
"AKU TANYA SIAPA!" Nada nya semakin meninggi menandakan dia semakin marah. Frida yang ada di belakangnya hanya bisa mengelus lengannya.
"Maaf Tuan, tidak ada yang tahu siapa yang mengirimnya. Bukankah, Tuan sudah melarangnya?" jawab salah seorang pelayan.
Ramzis memijat pelipisnya.
"Kalau sampai mereka datang, akan ada skandal besar yang terjadi. Saya tidak ingin reputasi saya hancur. Kalau sudah seperti ini, siapa yang akan bertanggung jawab dan memperbaikinya?"
Masih dengan suara kerasnya Ramzis memandang bawahannya dengan bengis.
"Tidak mungkin mereka tahu tanpa ada yang memberitahu."
"Maaf Tuan, kami memang benar-benar tidak tahu. Kami bahkan tidak berani berbohong apalagi melawan perintah Tuan."
"Lalu siapa?"
Semua orang semakin menunduk. Mereka bertambah takut pada Ramzis jika sudah marah seperti ini. Karena selama ini, Ramzis nyaris tidak pernah marah. Dan sekalinya marah, begitu meresahkan.
"Sudahlah, Mas. Mereka tidak ada yang mengaku. Mungkin saja, mereka tidak sengaja mendengar kabar ini," ucap Frida, "lebih baik kita memikirkan acara untuk bulan madu kita besok."
Ramzis menoleh menatap Frida. Memang benar, dia adalah remot kontrol Ramzis. Pria itu menatap kembali bawahannya. "Baiklah, kalian selamat. Lain kali jika ada yang melanggar, saya tidak akan segan-segan memecat kalia. Paham!"
"Paham Tuan."
Frida membawa Ramzis memasuki kamar. Salah seorang pekerja menatap punggung Frida yang semakin menjauh. Dikala teman-temannya berdesas-desus pasal undangan itu. Dia sedang berpikir, tipe seperti apa Frida ini. Karena dia melihatnya sendiri, kalau Frida memberikan undangan itu pada kurir pos. Hanya saja, dia tidak punya keberanian untuk mengatakannya.
"Andaikan saya berani bilang kalau istri Tuan adalah pelakunya."