Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CHAPTER 9

Langit mulai menghitam yang menandakan matahari telah terbenam. Siang pun berganti menjadi malam. Clara masih bersimpuh di lantai ruang kerja ayahnya dengan berbagai beban di pikirannya. Menyadari terlalu lama dia berdiam diri, akhirnya dia menyadari bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima kenyataan ini.

Dia melangkah menuju kamar. Dia kemas beberapa pakaian dan memasukannya ke dalam sebuah ransel. Ya, dia telah memutuskan untuk menuruti keinginan ayahnya yaitu pergi meninggalkan rumah ini.

Setelah membawa serta semua barang yang diperlukan, dia pun menuju dapur untuk membawa Cliff bersamanya.

Hatinya berdenyut nyeri ketika dilihatnya kondisi Cliff yang masih dalam keadaan terikat seperti terakhir kali dia melihatnya tadi siang. Beberapa pegawai ayahnya masih menjaganya dengan ketat. Sedangkan Cliff sendiri tengah menundukan kepala tanpa melakukan gerakan apa pun.

Para pegawai itu terhenyak ketika melihat sosok Clara memasuki dapur. Tanpa kata dia berjongkok di hadapan Cliff dan mencoba melepaskan tali yang mengikat tubuhnya.

“Apa yang anda lakukan, Nona?” Salah seorang dari pegawai itu tampak heran sekaligus terkejut melihat tindakan Clara yang melepas tali yang mengikat Cliff tanpa seizin mereka. Clara tak mengatakan apa pun, dia tetap melepaskan tali yang mengikat putranya.

“Anda tidak boleh melepaskan tali itu, ini perintah dari Tuan Besar.”

“Aku dan putraku akan meninggalkan desa ini. Itulah yang diinginkan ayahku.” Hanya jawaban itu yang diberikan Clara. Dia tetap fokus melepaskan tali bahkan dia mengabaikan Cliff yang tengah menatapnya intens.

“Hei, tanyakan ini pada Tuan Besar,” titah salah seorang pegawai pada pegawai Harry yang lain, yang tentu langsung dituruti. Clara sudah berhasil melepaskan ikatan tali yang mengikat Cliff, namun mereka masih belum bisa meninggalkan rumah karena para pegawai Harry itu sama sekali tidak mengizinkan mereka pergi dan terus menghalangi jalan mereka.

“Tuan Besar menyuruh kita untuk membiarkan mereka pergi.” Barulah setelah kalimat itu terucap dari pegawai yang tadi menemui Harry, akhirnya Clara dan Cliff bisa melangkahkan kaki mereka meninggalkan rumah megah kediaman keluarga Huston.

Ketika mereka sudah berada di luar rumah, Clara menghentikan langkah dan sejenak menatap rumah megah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya bersama kedua orangtuanya. Banyak kenangan indah di dalam rumah itu yang ketika mengingatnya membuat air mata Clara menetes dengan sendirinya.

“Ibu kenapa menangis?” Clara segera menghapus air mata dengan jari-jari tangan ketika mendengar pertanyaan putranya. Dia menatap putranya dan tersenyum tipis tanpa mengatakan apa pun padanya. Dia menggenggam tangan Cliff erat dan membawanya pergi dari area rumah itu.

“Bu, kenapa kita tidak kembali ke pondok kita?”

“Mulai hari ini pondok itu bukan lagi tempat tinggal kita.” Cliff terhenyak mendengarnya tapi dia memutuskan untuk tidak banyak bertanya dan memilih mengikuti ke mana pun ibunya itu membawanya pergi.

Langkah demi langkah mereka arungi dalam kesunyian karena tak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah gubuk kecil yang terlihat tua dan tidak terawat. Tanpa ragu Clara membuka pintu gubuk itu yang memang dalam keadaan tidak terkunci. Clara masuk ke dalam gubuk mengabaikan keadaan gubuk itu yang kotor, penuh debu serta dipenuhi sarang laba-laba. Cliff tertegun di depan pintu, dia menatap heran ibunya yang berjalan mantap memasuki gubuk yang tidak layak untuk dihuni menurut Cliff.

Sedangkan bagi Clara, dia tidak mungkin melupakan gubuk ini karena tempat inilah yang menjadi saksi bisu awal dari penderitaannya. Meski saat itu Clara kehilangan kesadaran, tapi dia sangat yakin bahwa pria yang telah menodainyalah yang membawanya ke dalam gubuk ini. Clara duduk di lantai dan menyandarkan tubuh ke dinding. Tatapannya tampak kosong, tak ada semangat untuk melanjutkan hidup sama sekali.

Cliff memasuki gubuk itu dengan menutup hidung, dia hanya tidak tahan mencium aroma pengap khas tempat berdebu yang menurutnya membuat indera penciumannya tidak nyaman.

“Bu, apa kita akan tinggal di sini?” Tanya Cliff setelah berdiri tepat di hadapan Clara.

“Ya,” jawab Clara singkat tanpa menatap ke arah Cliff.

Cliff mengedarkan tatapan ke segala penjuru ruangan. Bagi Cliff ruangan itu jauh lebih menyedihkan dibandingkan pondoknya. Ruangan ini lebih kecil dan sempit dibandingkan tempat tinggalnya dulu. Tidak ada kamar mandi bahkan tempat tidur pun tidak ada. Hanya ada sebuah meja di dalam ruangan ini, tidak ada benda apa pun lagi selain itu.

“Bagaimana mungkin kita bisa tinggal di tempat seperti ini? Lagi pula, tempat ini sangat kotor.”

“Tidak ada tempat lain lagi yang bisa kita jadikan tempat tinggal selain tempat ini. Ruangan yang kotor ini bisa kita bersihkan.” Cliff mengernyit tak suka mendengar jawaban ibunya. Sang ibu bahkan berbicara tanpa menatapnya sedikit pun.

“Aku tidak mau tinggal di sini!!” teriaknya yang membuat Clara mendongak menatap Cliff detik itu juga. Clara menggertakan gigi tampak kesal mendengar teriakan putranya. Dia bangun dari posisi duduk dan kedua mata mereka kini saling berpandangan.

“Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi anak yang manja. Kita harus tinggal di sini karena kita sudah tidak punya rumah!!” Clara kehilangan kendali atas dirinya, dia bahkan tak peduli meski harus membentak Cliff. Merasa tidak terima dimarahi oleh ibunya, Cliff pun mulai tersulut emosi.

“Kita bisa pergi ke tempat ayahku, kan? Sebenarnya di mana ayahku? Aku akan menemuinya.”

“Berapa kali sudah ibu katakan padamu. Jangan pernah membahas tentang dia!!” bentak Clara lagi. Bayangan pria yang menjadi penyebab semua penderitaannya ini membuat amarahnya semakin memuncak. Tak dipungkirinya, dia memang sangat membenci pria itu. Pria yang bahkan belum pernah dia lihat wajahnya tapi dengan berani dia memberikan semua penderitaan ini padanya. Kira-kira begitulah yang ada di benak Clara saat ini. Kebenciannya pada ayah Cliff begitu besar dan seumur hidupnya dia tidak akan pernah memaafkan pria itu.

“Kenapa ibu selalu menolak untuk membahas tentangnya? Aku berhak mengetahui siapa ayahku. Tidak mungkin aku tidak memiliki seorang ayah, kan, Bu? Aku mohon beritahu siapa ayahku?” Clara menutup telinga dengan kedua tangan serapat mungkin. Dia tidak tahan lagi mendengar Cliff yang terus menanyakan pria yang dibencinya itu.

“Ibu!!”

“Cukup, Cliff! Jangan membicarakan lagi tentangnya. Ibu sangat membencinya, dia adalah pria yang menyebabkan semua penderitaan ini. Jangan lagi menyebut tentang pria brengsek itu. Kau paham, kan?!!” Cliff membelalak tak percaya mendengar ucapan ibunya. Baru kali ini dia mendengar bahwa ibunya itu sangat membenci ayahnya. Cliff bertanya-tanya di dalam hati, memangnya apa yang sudah dilakukan ayahnya hingga ibunya begitu membencinya seperti ini?

“Jangan menanyakan tentang ayahmu lagi, anggap saja dia sudah mati!!” Cliff mengepalkan tangan erat, dia sungguh marah mendengar perkataan ibunya ini.

“Ibu egois. Ibu hanya memikirkan diri sendiri. Ibu tidak pernah memikirkan perasaanku sedikitpun.” Cliff berlari meninggalkan Clara setelah kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Tanpa dia ketahui, kata-katanya itu sangat menyakiti hati Clara. Clara merasa tubuhnya sangat lemas hingga membuatnya jatuh terduduk.

Entah untuk keberapa kalinya dia menangis karena ulah pria yang menurutnya brengsek itu, dan kini dia kembali menangis karenanya. Sekarang Clara merasa hidupnya benar-benar hancur terutama karena tidak ada lagi sosok ibunya yang akan menguatkannya seperti dulu. Sikap Cliff yang mulai membangkang pun tak ayal membuatnya semakin frustasi. Tapi lebih dari itu semua, Clara tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membesarkan Cliff. Dia sudah tidak bisa lagi membawakan darah hewan untuk Cliff. Clara benar-benar putus asa sekarang, dia bahkan mulai memikirkan mungkin saja kelak dia akan mati di tangan putranya sendiri karena dia akan dijadikan santapan olehnya. Berlebihan memang tapi itulah yang ditakutkan Clara saat ini. Pemikiran itu memenuhi kepalanya, dia merasa telah sepenuhnya kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup.

Dia menatap ke arah ransel yang tergeletak tidak jauh darinya. Dia raih ransel itu dan mengambil sebuah benda yang selalu dibawanya. Sebuah gunting kecil namun cukup tajam kini berada dalam genggamannya. Gunting itu biasanya dia pakai untuk memotong benang jika dia sedang merajut pakaian untuk Cliff. Selama ini untuk mengisi waktu luang, dia selalu membuatkan pakaian untuk Cliff dengan tangannya sendiri.

Entah apa yang direncanakan Clara tapi kini dia meraih buku kecil dari dalam ransel beserta sebuah bolpoin. Terlihat dia menuliskan sesuatu di secarik kertas. Setelah selesai, dia meletakkan kertas itu tidak jauh darinya. Kini atensinya kembali pada gunting kecil yang sudah berada di dalam genggamannya lagi.

“Ibu, maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan hidupku ini. Kepergianmu membuatku rapuh,” gumamnya pelan dengan air mata yang sudah menganak sungai di wajahnya. Dia menempelkan bagian paling tajam pada gunting itu tepat di atas urat nadi tangannya. Dia sempat ragu untuk melakukan hal bodoh ini ketika wajah Cliff berkelebat di benaknya. Tak dipungkirinya betapa dia sangat menyayangi putranya. Dia tentu tidak tega jika harus meninggalkan putranya hidup sebatang kara di dunia ini. Tapi secara bersamaan, dia pun tidak tahu lagi harus membesarkan Cliff dengan cara apa. Bayangan wajah Cliff memudar dan digantikan dengan semua ingatan kelam di dalam hidupnya.

Dia mengingat bayangan pria di hutan terlarang, tidak lain pria yang memberikan semua penderitaan ini padanya. Dia pun mengingat kebencian Maxy padanya, pernikahan mereka yang gagal serta semua kata-kata hinaan yang pernah dilontarkan Maxy padanya. Dia pun mengingat peristiwa ketika warga Desa Tussand mengabaikannya, menganggapnya tidak ada dan bukan bagian dari warga desa. Yang paling menyakitkan baginya adalah ketika mengingat kemarahan ayahnya hingga dengan kejam dia mengusirnya seperti ini. Terakhir yang membuat Clara memantapkan untuk melakukan tindakan gila ini, ketika dia mengingat melihat jenazah ibunya. Mengingat sumber kekuatan yang membuatnya sanggup bertahan menjalani kehidupan, kini sudah tidak ada lagi di dunia ini.

“Ibu, aku akan menyusulmu,” gumamnya lirih, lalu akhirnya dia mengiris urat nadinya dengan gunting itu, tangannya robek dan darah mengalir dengan deras. Seketika Clara merasakan sakit dan perih yang tak terkira tapi baginya rasa sakit itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakit di dalam hatinya.

Sedangkan di luar gubuk, Cliff yang sejak tadi berjongkok dengan isakan tangis bangkit berdiri ketika mencium bau anyir darah. Namun, dia yakin bau itu berasal dari dalam gubuk. Dia bergegas masuk ke dalam gubuk dan betapa terkejutnya dia ketika melihat tangan ibunya yang berlumuran darah. Seketika dia merasakan hasrat yang kuat untuk menghisap habis darah itu. Beruntung akal sehatnya masih mampu meredam keinginannya untuk meminum darah itu. Dia tahu betul ibunya berada dalam bahaya saat ini. Dengan susah payah Cliff mencoba mendekati ibunya, walau bagaimana pun bau anyir darah itu sangat menyiksanya.

“I-Ibu ... apa yang terjadi? Kenapa tangan ibu berdarah?” Tidak ada jawaban dari Clara, tapi Cliff bisa menebak apa yang terjadi ketika dia melihat gunting yang berada di dalam genggaman ibunya.

“Kenapa ibu melakukan ini? Ibu ingin meninggalkanku?” Sebenarnya Clara ingin mengatakan banyak hal pada Cliff tapi banyaknya darah yang keluar dari urat nadi membuatnya mulai kesulitan bernapas. Dia bahkan merasa tubuhnya sangat lemas dan kehilangan semua tanaganya. Dengan susah payah Clara menunjuk ke arah secarik kertas yang tergeletak di lantai. Menyadari isyarat dari ibunya itu, Cliff pun mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana.

Cliff ... maafkan ibu. Ibu tidak bisa menemanimu lagi. Ibu merasa telah gagal mendidikmu, ibu telah gagal menjadi ibu yang baik untukmu. Kau benar, ibu sangat egois selama ini. Ibu hanya memikirkan diri sendiri dan mengabaikan perasaanmu. Maafkan ibu, Nak. Mungkin banyak alasan yang membuatmu tidak mempercayai ibu lagi, ibu memahaminya. Tapi satu hal yang harus kau percaya, ibu sangat menyayangimu.

Kau selalu bertanya tentang ayahmu, maaf karena ibu tidak pernah menceritakan tentangnya padamu. Jika kau ingin bertemu dengan ayahmu, pergilah ke hutan yang berada di dekat gubuk ini. Kau akan bertemu dengan ayahmu di sana.

Sekali lagi maafkan ibu, ibu sangat menyayangimu sepenuh hati ibu.

Air mata Cliff mengalir deras membaca tulisan itu atau bisa dikatakan tulisan yang dibacanya adalah pesan terakhir dari ibunya.

“Ibu, maafkan aku. Aku juga menyayangimu.” Cliff menghamburkan diri dalam pelukan Clara. Bau anyir darah ibunya yang menyiksa pun, dia hiraukan. Dia hanya ingin memberitahu sang ibu bahwa dia sangat menyayanginya.

Melihat kedua mata ibunya yang terpejam dengan napas yang terengah, Cliff merasakan ketakutan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia sadar tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan ibunya. Yang bisa dilakukannya hanyalah meminta bantuan pada orang lain untuk menyelamatkan ibunya. Tanpa pikir panjang lagi, Cliff berlari meninggalkan gubuk.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel