Bab 4
“Apa yang kau bawa Tristan?”
Ein sudah berwajah masam sejak putri keluarga Servant itu meninggalkan istana. Berani sekali gadis itu menggunakan bahasa kasar padanya. Setelah lama tidak bertemu, ternyata putri Duke Servant tumbuh sedemikian menarik. Gadis itu punya senyuman yang bisa mengatakan apa isi kepalanya, seperti umpatan atau kutukan.
Bukankah menarik?
Lebih menarik lagi saat gadis itu terlihat tidak mau bertemu dengan Ein di saat dirinya menjadi perbincangan semua gadis di seluruh Easter.
Raeliana De Servant.
Ein pikir ketika beranjak dewasa, Raeliana akan tetap menjadi gadis pendiam yang suka membaca buku. Ternyata gadis itu perlahan punya hobi membuat kue, sampai-sampai Carry memberikan sebuah toko kue untuknya.
Tetapi Ein rasa gadis itu belum berubah. Masih gadis yang lembek.
Lalu kejadian Raeliana tertabrak kereta kuda itu menjadi pertemuan Ein setelah sekian lama. Benar-benar tidak menyangka Raeliana bisa merawat rambutnya jadi seperti helaian emas.
“Menarik.”
“Ya, Yang Mulia?” jawab Marquess Knightdale dengan nada sindiran. “Saya menarik?”
Ein membuang wajah. “Urus saja urusanmu.”
“Sayang sekali. Seharusnya ini milik Anda.”
Ein melirik Tristan yang mengangkat tinggi-tinggi keranjang milik Realiana. Ia tidak butuh rasa terima kasih karena menyelamatkan seseorang yang ceroboh dan tertabrak kudanya. Nyaris diinjak-injak kuda rombongannya.
Gadis lemah.
“Oh, ini dari Lady Servant?”
Xain, pendeta agung kekaisaran Easter itu ikut duduk bersama Tristan.
Yang menjadi pertanyaan Ein, kenapa pendeta itu selalu berada di tempat yang sama sepertinya? Seharusnya tempat pendeta bukan di sini. Xain sudah pasti punya tempat di katedral. Namun, setiap kali Ein memintanya pergi, pria itu selalu beralasan katedral sangat sepi.
Tetapi setidaknya pergilah ke tempat lain!
“Ini enak,” komentar Xain. “Yang Mulia, Anda tidak mau?”
Tristan dan Xain seperti anak kecil yang baru saja disuguhi camilan saat belajar. Mereka memakan kue buatan Raeliana.
Ein berdecak dan menghampiri meja itu, mengambil keranjang Raeliana. “Kembalikan milikku. Kalian pergilah ke tempat latihan dan kau pendeta menyebalkan, kembali ke katedralmu!”
***
Sudah seminggu sejak Raeli datang ke istana kaisar dan tidak ada salah satu dari pria tokoh utama yang muncul untuk alasan bertamu ke toko rotinya. Bagus. Sepertinya marquess bernama Tristan itu mengerti makna dari senyuman Raeli secara keseluruhan.
Jangan ganggu aku lagi, sialan!
Tepatnya seperti itulah kalimat yang Raeli coba pekikan melalui senyuman formalnya. Untuk sekarang hidupnya lancar-lancar saja tanpa hambatan. Kalangan atas datang untuk membeli kue jamuan ke tokonya.
Sebentar lagi mungkin Raeli juga akan mendapatkan undangan-undangan jamuan teh, setelah upacara kedewasaannya. Ia akan mulai sibuk datang dari rumah ke rumah untuk melakukan perkumpulan para lady dan menggosipkan tiap pria tampan se-Easter.
Reali bersumpah tidak akan ikut campur dalam pembicaraan macam itu.
Lagi pula saat malam debutante, Rose akan muncul seperti yang tertulis di novel. Tentu saja gadis itu yang akan jadi perbincangan hangat.
Apa Raeli perlu melakukan sedikit bantuan juga supaya gadis itu pergi kepada pangeran dan para pengagumnya di istana? Sepertinya Roseline punya sederet pria luar biasa yang ingin menikahinya. Sayangnya, Raeli tidak akan mendapatkan hal itu.
Ia akan memanggang kue saja di toko, memenuhi jalanan dengan aroma roti yang manis.
“Nona, tidak lama lagi debutante akan diadakan. Apa yang akan Anda pakai?”
Raeli melihat Anne yang sedang mengacak-acak lemari pakaiannya. Ia benci melihat gaun sekali pakai itu.
“Anda butuh gaun baru. Butik mana yang akan—”
“Aku tidak akan beli gaun baru,” jawab Raeli.
“Ya? Saya tidak terlalu menyimak.”
“Kita pakai gaun yang sudah ada. Lagi pula aku tidak akan menari. Aku akan pulang setelah Tuan Putri muncul dan meresmikan para debutante dengan tarian pertamanya.”
“Ya?” Anne tersenyum dengan wajah bodohnya.
Raeli mendorong pintu lemari sampai tertutup dan bersandar di sana, menatap Anne dengan serius. “Aku hanya akan berada di sana sekitar satu jam.”
“HA!”
Spontan Raeli menutupi telinganya.
Raeli akui Anne pasti syok. Semua gadis di Easter jelas sangat menunggu tentang debutante ini. Tetapi Raeli sungguh tidak berselera untuk hadir. Ia akan hadir hanya karena ingin melihat tuan putri yang katanya di dalam novel seumuran dengan Raeliana. Alasan lainnya, mama akan marah besar dan tidak akan berhenti mengoceh tentang Raeli yang melewatkan debutante sampai ke debutante gadis berikutnya.
Ah, sial. Kenapa Raeliana tertulis di novel asli harus memiliki ulang tahun yang sama dengan tuan putri? Kenapa tidak Roseline itu saja?
Menyebalkan.
“Oh, tidak. Kepalaku akan meledak,” kata Anne sambil memegang kepalanya. “Nyonya akan marah jika Anda seperti ini.”
“Tenanglah. Kita akan dimarahi bersama-sama sampai setahun ke depan.”
“Nona, tolong. Kali ini lakukanlah lebih serius.”
***
Sudah berlalu 2 hari dan Anne masih saja mengoceh tentang melakukan debutante nanti dengan serius. Telinga Raeli rasanya berdarah. Sekarang saja seperti sedang menetes sampai membasahi lantai.
Anne selalu menyebutnya di rumah, saat perjalanan ke toko atau pulang. Bahkan Anne juga terus mengoceh ketika melayani Raeli mandi. Katanya, tidak ada gadis di Easter yang mengabaikan debutante seperti putri kelarga Servant. Seakan acara itu tidak penting.
Memang.
Alasan utama Raeli harus pergi adalah tubuh Raeliana itu harus melewati kedewasaan. Jadi, 1 jam Raeli rasa cukup. Lagi pula kenapa ia harus berlama-lama? Untuk melihat Pangeran Ein menari dengan Rose? Atau melihat Marquess Knightdale merayu Rose?
Tidak akan pernah.
“Anne, hentikan,” kata Raeli. “Aku tetap akan pergi. Apa yang salah dengan tidak membeli gaun?”
“Gaun itu penting, Nona. Pangeran—”
“Ya?” Reali mengalihkan tatapannya dari adonan pada Anne yang berdiri di sebelahnya. “Maaf, pangeran mana yang kau maksud?”
“Yang Mulia Pangeran Ein.”
“Ah.” Raeli mengangguk dan kembali pada adonannya. “Pangeran yang tersenyum padaku waktu itu? Yang senyumnya seolah bilang, ternyata di dunia ini masih ada gadis bodoh yang bisa tertabrak kuda. Pangeran yang itu?”
“Ada apa dengan pangeran yang itu?”
Raeli langsung berbalik mendengar pertanyaan itu. Bahkan pekerja lain yang saat itu ada di dapur juga ikut menghentikan pekerjaan.
Demi semua karang yang ada di lautan. Kenapa putra mahkota ada di dapur toko roti Raeliana?
“Diam di sana!” teriak Raeli sambil mengacungkan jarinya pada kaki Pangeran Ein saat melihat pria itu melangkah. “Aku akan menyiramimu dengan tepung jika kau masuk lebih dalam!”
Semua yang ada di dapur termasuk Anne tercengang mendengar ucapan Raeli. Bahkan pangeran Ein menyipitkan mata.
Raeliana mengelap tangannya yang penuh tepung ke celemeknya, melepaskan benda itu dan berjalan untuk mencuci tangan.
“Astaga, siapa yang menyuruhnya masuk ke dapur,” gerutu Reali.
“Pegawaimu yang berambut merah,” jawab pangeran Ein.
Gerakan mencuci tangan Reali terhenti. Berambut merah? Itu Rose. Kalau memang Rose, kenapa Pangeran Ein sampai masuk ke dapur? Seharusnya pria itu tetap di depan dan terkesima dengan rambut merah Rose. Apa ada yang salah?
Raeli cepat-cepat mencuci tangannya dan mengambil lap untuk mengeringkan tangan sebelum menghampiri Pangeran Ein dan tangan kanannya—Tristan—yang berdiri di pintu dapur. Tristan belum waktunya bertemu dengan Rose, tetapi kenapa harus ikut dan bertemu gadis itu di sini?
Astaga, ini membingungkan Raeli. Semua yang terjadi ini tidak sama dengan di novel milik Yuko.
“Berkat Easter untuk Anda, Yang Mulia Pangeran.” Raeli memegang sisi gaunnya dan membungkuk hormat. “Juga untuk Anda, Tuan Tristan.”
Senyum culas itu muncul lagi di wajah Pangeran Ein seperti hari itu. Juga masih perasaan yang sama, Raeli ingin memukulkan sesuatu pada wajah pria itu.
“Aku lebih suka kau bicara seperti sebelumnya.”
Raeli menegakan punggung selayaknya putri bangsawan. “Maafkan keteledoran saya karena tidak sopan, Yang Mulia. Jika Anda berkenan mari kita ke tempat yang lebih layak. Di depan misalnya?”
Culas di wajah Pangeran Ein makin melebar, bahkan sekarang Raeli bisa melihat Marquess Knightdale seakan menahan tawa.
“Baiklah, karena ini tempatmu. Aku tidak keberatan diperintah sekali saja.”
Raeli memberikan senyum lebar. Sepertinya lagi-lagi marquess mengerti arti senyum itu.
“Kami mengerti, Nona Raeliana,” balas Tristan dengan senyum lebar.
Pria itu benar-benar berbeda dari apa yang tertulis di novel.
“Mari, silakan,” kata Raeli sambil memberikan arahan untuk meninggalkan dapur. “Anne?”
“Ya, Nona?” jawab Anne sambil memberikan tatapan peringatan pada Raeli. Pasti karena perkataan tidak sopannya beberapa saat yang lalu.
Astaga, pelayan itu dan semua orang mendengar semua kekurangajaran Raeli. Semoga saja setelah ini Anne tidak mengadukannya pada Duke Servant atau duchess. Karena Raeli bisa dalam masalah. Ceramah seminggu penuh tentang sopan santun pada keluarga kaisar.
“Buatkan teh dan bergabunglah bersamaku. Kurasa ini akan jadi pembicaraan yang panjang. Benar begitu, Yang Mulia?” Raeli melirik Pangeran Ein.
“Begitulah.”
“Baik, Nona,” kata Anne.
Setelah itu Raeli melangkah lebih dulu ke depan dan mempersilakan Pangeran Ein duduk di meja yang sudah ia pilihkan. Ini tempatnya, bahkan kaisar tidak akan bisa memaksa untuk memilih tempat lain. Sementara Tristan berdiri di belakang Pangeran Ein.
Apa mereka datang hanya berdua saja? Bagus. Di luar tidak akan heboh karena putra mahkota datang ke toko roti, ‘kan?
Raeli melirik ke balik punggung Tristan. Dan ….
Doeng!
Beberapa orang sedang berdiri di kaca tokonya, mengintip ke dalam. Raeli yang baru saja ingin duduk jadi menunda dan memberikan senyuman yang berarti ‘para kuman ini mengganggu’. Ia harus segera membereskannya.
“Duduklah dengan nyaman, Yang Mulia. Saya akan segera kembali.”
Setelah mengatakan itu dengan langkah lebar Raeli menuju pintu toko dan berdiri di sana. Melihat beberapa pemilik toko berdiri mengintip di kaca tokonya. Mereka tidak benar-benar pemilik. Hanya pengurus. Karena sangat jarang pemilik toko turun langsung untuk mengurusi hal semacam ini. Hanya Raeliana yang bersedia.
“Maaf, Anda sekalian mencari roti untuk makan malam?” tanya Raeli dengan tatapan penuh penekanan.
Segera pergi dari toko kue milikku!
“Ah, kami hanya—”
“Yang Mulia Pangeran bilang akan mengunjungi toko kalian satu per satu suatu hari. Siapkanlah sesuatu yang menarik.”
“Sesuatu yang menarik?”
Raeli mengangguk dengan senyum lebar. “Jadi, untuk sekarang bisakah kalian kembali berjualan?”
“Oh, maafkan kami, Nona.”
“Tidak apa,” balas Raeli dengan wajah ramah dan kedua tangan tergenggam di dadanya, seperti sedang berdoa. “Hanya saja privasiku terganggu.”
“Baiklah. Kalau begitu, sekali lagi maafkan kami, Nona Raeliana.”
Orang-orang itu akhirnya berbalik meninggalkan toko. Raeli melambai dengan enggan. “Datang lagi, ya. Tapi usahakan kalian beli rotinya!”
Raeli kemudian kembali masuk dengan wajah masam. Mereka memang bukan bagian dari novel, orang-orang itu. Tetapi sekarang Raeli harus menghadapi dua tokoh utama itu sekaligus dan satu tokoh utama perempuan. Ia tidak butuh orang lain untuk memperkeruh.
“Aku tidak bilang akan mengunjungi toko mereka,” kata Pangeran Ein.
Raeli melihat dengan senyum buatan. “Oh, sungguh? Kalau begitu saya akan meminta maaf karena sudah berbohong.”
Raeli kemudian duduk dan melirik ke balik konter rotinya. Di sana Rose berdiri melihat ke arahnya dan Pangeran Ein serta Tristan dengan pandangan kagum.
Apa ini?
Raeli berdehem pelan. “Rose?”
Rose tampak terkejut. “Ah, ya, Nona?”
Pangeran Ein dan Tristan ikut melihat pada gadis itu. Baik. Inilah yang seharusnya terjadi, mereka terkesima dengan Rose dan jatuh cinta, kemudian merayu gadis itu.
“Hidangkan kue yang masih panas untuk Yang Mulia dan Tuan Tristan.”
“Baik, Nona.”
Raeli kembali melihat pada Pangeran Ein. Tanpa diduga ternyata kedua pria itu sedang menatapnya.
Ha?
Peran utamanya ada di balik konter, kenapa kalian memelototi aku!
Aku bukan peran utamanya!