Bab 9 Gersang
Bab 9 Gersang
“Kamu yakin Ra?” Denis menatap Athirah lekat. Jika sampai terjadi sesuatu maka namanya ikut terseret dalam masalah tersebut. Terlebih Denis yang diamanatkan untuk menjaga gadis itu, mereka berdua jauh dari jangkauan orang tua masing-masing. Bagaimanapun juga Denis tidak ingin melihat sepupunya itu terus menangis sepanjang malam. Mata sembab dengan hidung mampet menandakan jika Athirah tidak baik-baik saja. Kali ini Denis kembali mengalah atas keinginan Athirah.
“Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan melakukan ini. Semuanya tergantung pada Kak Denis, kalau kakak mengatakannya pada Tetta, yah kita ketahuan. Lagian, Kak Denis setuju atau tidak, aku akan tetap pergi.” Athirah dengan santai berjalan melewati Denis. Gadis itu sudah rapi dengan kemeja hitam berpadu dengan celana kain hitam lengkap dengan jilbab berwarna abu-abu. Sudah mirip pelayat saja. Denis menghela napas.
“Gak usah mengantar deh kalau kakak ragu, aku gak mau Kak Denis menyesal.” Athirah tersenyum. Denis menelan salivanya. Bukan perihal ragu atau menyesal, ia tidak ingin membahayakan Athirah terlebih ia tidak bisa mencegah gadis itu melakukan apa yang telah ditentang oleh keluarganya. Jika ketahuan mereka akan menghadapi masalah besar.
“Ya sudah ayo! Jika terjadi masalah, kakak janji akan melindungimu.” Denis meraih kunci mobilnya, merapikan penampilan sebelum menarik tas ransel yang ditenteng Athirah. Ia siap menjadi pawang demi cita-cita Athirah.
“Thanks, Kak.” Athirah tersenyum. Jika dulu Athirah mengandalkan Rahmat, kali ini ia akan mengandalkan Denis. Bagaimanapun caranya, Athirah harus mengikuti tes tersebut. Urusan orang tuanya dikesampingkan dulu. Ia tidak ingin menyerah sebelum bertempur. Menyedihkan katanya. Masalah gertakan Ayahnya, bisa diatur.
*
Athirah bernapas lega. Tes telah ia jalani dengan sepenuh hati dan sebaik yang ia bisa. Perihal hasil, Athirah menyerahkannya pada Tuhan. Berdoa, memohon yang terbaik untuk dirinya, keluarga dan masa depannya. Athirah selalu mendengar kalimat yang mengatakan ‘Tuhan akan memberi apa yang dibutuhkan oleh hambanya.’
Kali ini Athirah sudah lebih santai dari sebelum-sebelumnya. Juga belum ada tanda-tanda jika apa yang nekat ia lakukan diketahui oleh keluarganya. Denis sangat bisa diandalkan dalam hal ini. Hanya saja, apa yang telah dilakukan Denis tidak gratis, Athirah harus mentraktir Denis selama satu semester jika gadis itu lolos, dan kesepakatan itu terjadi setelah ujian usai. Athirah tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Ia terjepit keadaan. Aplaus untuk Denis.
Athirah menatap koper berisi pakaian dan perlengkapan berlibur. Belum ada yang ia rapikan, masih terhambur di atas koper berukuran sedang miliknya. Athirah masih sibuk memilah apa saja yang akan ia butuhkan, benda-benda penting dan sakral yang harus ia bawa dan tidak boleh terlewat satupun.
Drrtt drrttt
Athirah mengintip ponselnya, grup chat terus berbunyi. Rupanya teman-teman Athirah sudah tidak sabar untuk melakukan perjalanan yang akan mereka tempuh esok hari. Meski beberapa di antara mereka kesal dan kecewa sebab Athirah tiba-tiba memutar rute liburan mereka yang sebelumnya telah menyepakati Bali, tiba-tiba beralih ke Bulukumba oleh sebab tempat wisata baru yang menarik perhatian gadis itu.
“Masih saja meributkan hal yang tidak penting,” gerutu Athirah. Meraih ponselnya lalu mengetik beberapa kata sebelum kembali merapikan isi kopernya. Begitu pesannya telah dibaca oleh anggota grup yang berjumlah enam orang itu, tiba-tiba menjadi sunyi. Athirah menyeringai. “Begini kan enak, beres-beresnya juga gak terganggu,” lanjut Athirah berbicara sendiri.
Athirah menghabiskan banyak waktu untuk merapikan barang-barang ke koper, memastikan tidak ada barang penting dan ia butuhkan tertinggal. “Huaahhh akhirnya selesai juga.” Athirah tersenyum puas. Tidak masalah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mendapatkan hasil maksimal. “Sekarang waktunya untuk tidur.” Athirah melakukan peregangan, melanjutkan bersih-bersih sebelum meringkuk ke dalam selimut tebalnya.
*
“Ingat ya Ra, jangan ugal-ugalan. Ingatkan pada teman-teman kamu.” Athirah mengangguk. Mobil yang akan mereka gunakan adalah mobil kakak pertamanya. “Beres Bang, kan Abang kenal Okta dan Sadzam, mereka gak akan ugal-ugalan kok.” Fikar mengangguk. Ia memeluk Athirah sebentar, menyampaikan kultum mengenai adab-adab bertamu di daerah orang lain, juga bagaimana tetap bersikap sopan dan tidak sombong. Semuanya sudah dihapal mati oleh Athirah, meski kadang khilaf juga sesekali. “Abang pergi dulu yah, ada keperluan lain.” Athirah mengangguk, ia segera mencium punggung tangan kakaknya sebelum berpisah dengan kunci mobil dalam genggaman.
Brak
“Siap beraksi black? Mari kita berangkat.” Athirah mencoba berkomunikasi dengan benda mati tersebut sebelum berangkat menjemput teman-temannya yang memilih berkumpul di rumah Ima. Perjalanan sangat lancar, Athirah berangkat setelah salat subuh, keadaan jalan masih sangat sepi, memudahkan gadis itu menyetir dengan tenang.
Tidak butuh waktu lama, Athirah sudah tiba di rumah Ima. Tiga teman lainnya terlihat saling tertawa menikmati suguhan teh beserta kue coklat buatan ibu Ima. Kue yang selalu menjadi favorit Athirah ketika berkunjung. Begitu turun dari mobil, Athirah segera menghampiri teman-temannya.
“Kamu telat lima menit Ra.” Belum juga Athirah duduk, Ratih telah melakukan protes padanya. “Aku tidak menerima alasan macet. Ini masih subuh kalau kamu lupa.” Athirah nyaris tersedat liurnya sendiri. Ia bahkan belum melakukan pembelaan apapun dan juga tidak berminat melakukannya. Athirah tau jika Ratih masih kesal padanya. Gadis itu terlalu bersemangat untuk berangkat ke Bali, bahkan telah berbelanja berbagai jenis dan bentuk bikini demi menyempurnakan liburannya yang dirusak oleh Athirah.
“Masih subuh kali, gak usah ngerap.” Okta angkat suara. Sementara Athirah tidak ingin ambil pusing, ia segera duduk dan menikmati kue coklat yang ada di meja tanpa permisi dan tanpa dipersilakan. “Ayo berangkat,” ajak Ima muncul dengan koper besar yang ia tarik dengan susah payah.
“Kamu mau liburan atau pindah rumah?” tanya Aulia. Menatap koper Ima horor. “Heummm begini nih kalau punya teman laki-laki tidak memiliki rasa peka dan kemanusiaan.” Gerutu Ima, berusaha terlihat kuat untuk menggerakkan kopernya menuju mobil.
Setelah menghabiskan teh, kue dan sdikit drama, mereka segera berpamitan pada keluarga Ima. Ayah dan Ibunya sangat baik pada mereka. “Berangkat yah Tante, Om.” Satu persatu menyalami pasangan paruh baya itu sebelum meninggalkan rumah Ima dengan perasaan senang, bersiap menghabiskan liburan di Kota Bulukumba dengan destinasi wisata yang di dominasi oleh pantai itu.
“Kok bisa sih, Ra, kamu membatalkan liburan ke Bali?” Aulia terlalu penasaran, sebenarnya ia adalah pasukan yang tidak ingin pusing, mengikuti teman-temannya ketika keputusan terakhir telah diambil. Athirah yang sedang sibuk dengan cemilan di tangan dan mulutnya tidak menjawab apa-apa. Ratih sendiri masih terlihat kesal. Ia bahkan merajuk berhari-hari demi sebuah peruntungan. Ratih hapal betul jika Athirah telah memutuskan, dua laki-laki yang duduk paling depan, juga Aulia dan Ima pasti akan menurut. Tentu saja ia harus mengikuti suara paling banyak. Liburan sendirian juga tidak menyenangkan.
“Kita bisa ke Bali kapan-kapan,” jawab Athirah setelah menghabiskan cemilannya. Ratih melongo, apa katanya? Hati Ratih merasa disakiti. “Harusnya kamu ngomong gitu bukan ke Bali, tapi Bulukumba. Ayolah Ra, Bulukumba masih satu daerah dengan kita, hanya butuh lima jam perjalanan, kita sudah sampai. Lah, Bali. Mesti nyebrang pulau dulu.” Ratih belum puas melakukan aksi protes kali ini.
“Bulukumba itu butuh lima jam, sedangkan Bali? Hanya butuh sejam atau lebih. Jadi kita bisa ke Bali kapan-kapan,” ujar Athirah santai. Gadis itu memalingkan pandangannya, hamparan hijau padi cukup menetralisir sedikit isi kepalanya. Athirah memilih mencoba membuka kaca mobil, mengeluarkan sedikit kepalanya dan menikmati pemandangan hamparan hijau sawah. Athirah ingin memuaskan diri menghirup udara segar sebelum menembus macet dan tanah gersang di depan mata. Perbatasan wilayah sebentar lagi mereka lalui.
Pemandangan hijau yang membentang yang sepanjang jalan mereka lalui, kini berganti tanah kosong nan gersang. Rumput mengering menjadi penanda jika panas di daerah itu tidak main-main. Sapi dan kambing terlihat bergerombol, berlomba mencari makanan di tengah kering yang melanda.
“Aku heran kenapa Jeneponto selalu gersang.” Aulia terlihat berpikir. Tumben sekali gadis itu ingin memusingkan sesuatu, biasanya ia lebih banyak berdiam di bawah ketiak Athirah. “Zam, menepi dulu,” pinta Ima. Sadzam yang keheranan segera menepikan mobil, barangkali Ima akan muntah dan sebagainya.
***