Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Boneka Hidup

Bab 8 Boneka Hidup

Setelah insiden mengerikan yang terjadi di kampung, gadis itu benar-benar mengutuk pelaku provokator yang memfitnahnya secara keji. Athirah bersyukur Rusdi dan keluarga terselamatkan, jika saja Ayahnya tidak percaya padanya, sudah dipastikan Rusdi, keluarga beserta rumahnya akan berakhir mengenaskan.

Ketika Athirah tahu jika Rusdi memilih menyusul Bapaknya, Athirah merasa sangat bersalah. Beruntung Denis datang menemuinya, Athirah segera meminta pada sepupunya itu untuk menghubungi Rusdi. Jika tidak, Athirah akan terus dihantui oleh rasa bersalah.

“Kak, ayolah, aku harus minta maaf pada Rusdi. Aku bersalah dan tidak mengatakan apapun sebelum pergi,” sesal Athirah.

Benar ia kabur dari masalah, meninggalkan Rusdi yang harus terhakimi sendiri. Athirah benar-benar tidak bertanggung jawab. Jika saja waktu bisa di putar, Athirah akan menjadi anak baik, memilih tenang di pesta dan tidak menimbulkan kekacauan seperti ini. Sekarang hanya tersisa penyesalan, apa gunanya?

“Makanya belajar menyelesaikan masalah. Jangan main kabur-kaburan menyelamatkan diri sendiri,” balas Denis. Athirah mengerucutkan bibirnya, sungguh ia tidak menyangka dampaknya akan semengerikan ini.

“Mau gak nih?” desak Athirah. Gadis itu tidak akan merasa tenang selama belum mendapatkan maaf dari Rusdi. “Tunggu kali Ra, aku tidak kenal dekat dengan teman kamu itu, tahu sendiri Rusdi lebih banyak di ladang membantu ibunya dibanding bergaul dengan pemuda di desa.” Denis segera menghubungi beberapa kenalannya yang ia rasa cukup mengenal Rusdi.

Cukup lama Denis mencari kontak sebelum akhirnya terhubung dengan paman Rusdi, beruntungnya lagi, laki-laki itu sedang bersama pamannya. Saat ini, Rusdi sedang mengurus segala surat menyurat untuk dirinya yang hendak menyeberang ke negara tetangga.

Athirah tidak ingin membuang banyak waktu, ia segera menerima ponsel Denis dan berbicara dengan Rusdi. Athirah benar-benar tidak ingin berbasa basi, ia segera mengungkapkan penyesalannya lalu meminta maaf pada pemuda itu. Athirah tidak bisa membendung air matanya mendengar perkataan Rusdi yang begitu bijak.

Laki-laki itu mengatakan, jika seandainya Rusdi harus mengalami peristiwa nahas tersebut, ia tidak akan menyalahkan siapa-siapa, termasuk Athirah. Rusdi yang mendatangi Athira, mengajaknya keluar lalu, bagaimana ia harus menyalahkan gadis itu, tidak jantan sekali. Athira mengusap air matanya meski senyum terukir pada bibirnya mendengar ocehan Rusdi yang berusaha menghibur Athirah juga dirinya sendiri.

“Idih, cengeng banget. Jangan-jangan kamu suka Rusdi yah Ra?” todong Denis. Athira menatap Denis horor, mereka hanya bersahabat dan hanya laki-laki itu yang bisa mencairkan suasana ketika bersama Athirah. Tahu sendiri jika gadis itu bukan tipe gadis yang menyapa orang lain duluan.

“Nih. Terima kasih.” Athirah melempar ponsel Denis ke pangkuan laki-laki itu. “Lah, bukannya baik-baik, malah makin beringas.” Protes Denis syock. Ia baru saja membeli ponsel tersebut, bisa menjadi masalah jika ia harus kembali merengek pada Rahmat untuk membeli ponsel yang baru, hanya karena Athirah membanting ponselnya. Ini tidak mudah. Bukannya meminta maaf, Athirah memilih meninggalkan Denis tanpa meminta maaf. Sungguh terlalu.

**

Athirah sudah siap dengan seragam SMAnya, bersiap untuk ke sekolah. Hari kelulusannya di depan mata. Gadis itu tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin sebelum melangkah keluar kamar. Mamanya, Ainun sudah menunggu bersama sang Ayah yang tiba tadi malam hanya untuk menemani Athirah menerima amplop kelulusan.

“Ayo Ma.” Ajak Athirah. Ia sudah tidak sabar kembali ke sekolah dan kembali bertemu dengan teman-teman sejawatnya. Meski mereka masih biasa bertemu, rasanya tetap berbeda jika mengenakan pakaian putih abu-abu dan bertemu di sekolah. Athirah sangat bersemangat melupakan jika hubungannya dengan Ayah belum begitu baik perihal masalahnya di kampung bersama Rusdi waktu itu. Laki-laki itu masih mendiamkan Athirah. Sementara Athirah yang merasa tidak melakukan kesalahan, juga tidak ingin menyulut emosi sang Ayah dengan membahas kembali masalah tersebut.

Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat demi menghindari macet yang terjadi pada jam kantor pagi dan sore hari. Jika sudah macet, bisa dipastikan mereka akan kelaparan berada di mobil tanpa cemilan. Jika biasanya Athirah akan berangkat dengan motor, ia bisa menaklukan macet dengan meliuk di jalan, mencari celah di antara mobil-mobil mewah yang berjejer dan tiba dengan selamat di sekolah. Hanya butuh beberapa menit dengan motor. Sayang ia sedang bersama kedua orang tuanya, dan hendak menghadiri acara penting. Athirah tidak mungkin ugal-ugalan di jalan.

Meski perjalanan mereka beberapa kali tersendat di beberapa titik kemacetan, akhirnya Athirah bisa tiba tepat waktu yag direncanakan. Athirah berfikir ia yang akan tiba lebih awal, rupanya Athirah salah, halaman sekolah telah dipadati siswa yang berseragam dengannya. “Ma, nanti langsung ke aula saja, Athirah pengen ketemu teman dulu.” Jelas Athirah sebelum turun lebih dahulu.

Siswa-siswi sekolah terlihat saling bercengkerama, di beberapa sudut ada yang sedang bercanda, saling tertawa dan memeluk satu sama lain. Di sisi lain ada yang hanya berdiri dan saling menatap, sementara di tengah halaman mereka berkerumun saling menertawakan. Athirah tersenyum ketika melihat rombongan teman-temannya sedang duduk di tangga menuju aula. Langsung saja Athirah memanjangkan langkahnya mendekati teman-temannya yang sudah heboh ketika melihat penampakan Athirah. Ia yang paling jarang ikut berkumpul. Athirah yakin jika hari ini akan menjadi hari panjang yang akan selalu ia kenang.

*

Setelah menerima surat kelulusan, Athirah mendaftarkan diri pada PTN yang telah ia cita-citakan. Sejak awal ia tidak ingin kuliah dengan jalur undangan. Athirah ingin ikut tes saja. Gadis itu bahkan telah belajar gila-gilaan hingga menolak segala rayuan teman-temannya yang mengajak untuk keluar. Bahkan ketika Denis mengajaknya untuk nonton, Athirah menolak dengan keras.

Diam-diam Athirah mengambil jurusan seni. Meski sejak kecil ia bercita-cita untuk menjadi dokter, Athirah menyeleweng memilih jurusan lain. Keinginannya untuk mengambil jurusan seni muncul ketika Athirah pertama kali mengenyam bangku SMA, ia terpilih sebagai salah satu siswa yang menampilkan pentas seni sebagai penyambutan kelas X. Dari sana Athirah kemudian mengikuti ekskul seni secara diam-diam. Athirah tahu jika apa yang ia lakukan akan menimbulkan benturan dalam keluarganya. Riwayat seni belum pernah masuk ke dalam keluarga besarnya. Kebanyakan dari mereka menjadi dokter, guru dan politikus, sementara Athirah mencoba peruntungan lain.

Athirah harus kembali menerima amukan ayah dan kakaknya ketika mereka mengetahui apa yang Athirah pilih ketika tidak sengaja Kifli menemukan kartu tes Athirah di kamar gadis itu. “Apa yang ada di otak kamu sampai mengambil jurusan seperti ini. ini tidak akan berpengaruh besar dalam hidup kamu ke depan,” desis Kifli. Athirah yang sudah tertangkap basah akhirnya memilih diam dan menunduk. Sadar betul dengan kesalahan yang dilakukan, juga sudah siap dengan konsekuensi yang akan ia terima.

“Kalau Tetta tahu kamu seperti ini, Abang tidak bisa membela kamu.” Tambah Kifli mengusap wajahnya. “Apa yang kalian sembunyikan?” Athirah membeku di tempat. Kenapa menjadi serba kebetulan seperti ini? Karaeng Baso melenggang santai, menarik kertas yang masih berada dalam genggaman Kifli.

“Kamu ingin mengecewakan Tetta lagi?” tanya Karaeng Baso, suaranya terdengar dingin dan dalam. Athirah meremang. Pada Akhirnya ia harus kembali tunduk pada apa yang diinginkan oleh tuanya. “Tetta tidak mau dengar kamu ikut tes, kalau sampai itu terjadi, Tetta akan menikahkanmu dengan anak sahabat Tetta.” Tekannya.

“Sampai kapan Athirah harus terus mengikuti keinginan kalian?” cicit Athirah. Kali ini saja, ia ingin merasakan kebebasan. Memutuskan masa depannya kelak. “Ini semua demi kebaikan kamu. Tetta ingin kamu punya masa depan yang cerah. Tetta tidak mau tahu, kamu tidak boleh mengikuti tes ini. tunggulah tes selanjutnya, Tetta tidak ingin mendengar bantahan apapun.”

“Tetta, Athirah berhak menentukan masa depan Athirah seperti apa. Athirah ingin melakukan apa yang Athirah sukai, sekaliiii saja.” pinta Athirah dengan wajah memelas. Ainun yang melihat anaknya terus ditekan merasa iba. Sayang ia tidak punya kuasa apapun.

“Ingin melakukan apa yang kamu sukai lalu kembali mencoreng nama keluarga lagi, membuat malu Tetta?” Athirah meneguk salivanya. Ingin sekali meluapkan uneg-unegnya yang sejak lama ia pendam. “Cobalah mencontoh kedua kakak kamu, mereka selalu menurut dengan Tetta, dan lihat kehidupan mereka sekarang bagaimana. Berhenti keras kepala dan turuti keinginan orang tua.” Keputusan final Karaeng Baso sebelum meninggalkan Athirah yang masih mematung di ruang keluarga.

“Ra, apa yang dia katakan Tettamu benar. Coba sekali saja mendengarkannya.” Ujar sang Mama mengusap kepala Athirah, sebelum menyusul Ayahnya menuju kamar. Athirah menertawakan dirinya sendiri. Soba sekali saja katanya? Athirah bahkan kehilangan jati dirinya. Ia berada di bawah kendali orang tua dan keluarganya. Bak bonek yang kehidupannya telah disetel mengikuti semua keinginan keluarganya. Athirah ingin meledak saja rasanya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel