Bab 7 Menikah atau Terusir
Bab 7 Menikah atau Terusir
Rupanya kepergian Athirah tidak menyelesaikan masalah. Amukan warga tidak bisa dibendung lagi. mereka berbondong-bondong mendatangi rumah orang tua Athirah meminta agar mereka segera menikahkan Athirah dan Rusdi. Menurut mereka perbuatan kedua anak remaja itu sudah mencoreng nama baik kampung dan suku mereka.
“Kami tidak mau tahu Karaeng (salah satu panggilan orang yang bergelar bangsawan di suku Athirah), Andi Athirah harus dinikahkan dengan Rusdi.” Teriak seorang warga. Kepala RT setempat bahkan kewalahan menenangkan warganya.
“Kami tidak ingin ada yang mencoreng desa dan suku.” Sambung yang lain tidak kalah hebohnya. Mereka terus berteriak di depan rumah orang tua Athirah. “Jika tidak ingin menikahkan mereka, usir saja dari kampung ini. Jangan sampai menjadi contoh yang buruk bagi anak-anak yang lain.” Hardik seorang ibu yang hendak mencoba memprovokasi.
Keluarga Athirah tidak lantas menemui para warga. Ainun, Mama Athirah terus menenangkan Ayah Athirah agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Terlebih warga yang sedang berdemo di depan rumah mereka, beberapa diantaranya adalah pekerja di ladang.
“Jika tidak ada jawaban dari Karaeng, kami akan membakar rumah orang tua Rusdi.” Ancam seorang laki-laki gondrong dengan jenggot tebal menambah garang wajahnya. Mama Athirah semakin was-was. Mereka telah menemui Rusdi dan menginterogasi anak itu tentang apa yang terjadi diantara mereka. keluarga Athirah juga tahu jika keluarga Rusdi adalah keluarga baik-baik dan sangat menghormati Ayah Athirah, tidak mungkin laki-laki berbuat tidak-tidak kepada anak mereka.
“Bagaimana ini Tetta. Kasihan jika rumah Rusdi sampai dibakar warga, mereka tidak bersalah.” Ainun mulai khawatir, sementara suaminya masih terlihat santai menyeruput kopinya. “Sepertinya Athirah benar-benar menjadi permata di desa ini. Banyak sekali yang iri padanya.” Kekeh Paman Athirah. Karaeng Baso akhirnya memilih menemui warga. Ia tidak ingin jika masalah ini semakin besar dan menyebabkan pertumpahan darah. Sementara Karaeng Paruki, ia memilih menghabiskan kopinya sambil menikmati menikmati ubi goreng yang terhidang di meja.
*
“Ada apa ini?” tanya Karaeng Baso. Penampilannya yang berwibah dan cukup berpengaruh membuat warga menciut. Mereka saling mendorong untuk menyampaikan argumen mereka. “Kalau ada masalah mari kita selesaikan dengan baik.” Sambungnya dengan suara beratnya. Ainun sudah harap-harap cemas berdiri di samping suaminya. Ia takut jika sampai ada yang menyulut emosi suaminya.
“Kami ingin, Karaeng menikahkan Andi Athirah dan Rusdi.” Pungkas seorang laki-laki berpeci hitam. Karaeng Baso tertawa, sekali lagi ia mengisap cerutu yang sudah nyaris habis itu, menghembuskan asapnya lalu menginjak puntungnya hingga hancur.
“Kenapa kita harus ke rumah Karaeng Baso dulu? Harusnya kita ke rumah Rusdi dulu,” bisik seorang bapak-bapak dengan rambut penuh uban. Melihat cara Karaeng Baso menginjak puntung rokoknya membuat nyali beberapa warga semakin menciut. Terlebih setelah Karaeng Baso menyingkap sedikit sarungnya, memperlihatkan sarung badiknya yang terlihat mewah oleh ukiran rumit pengrajin dahulu.
“Kalau sampai ada yang membicarakan anakku lagi, silahkan berhadapan dengan saya. Kita berhadapan satu lawan satu.” Tantang Karaeng Baso. “Tetta!” Tegur Ainun. Ia tidak ingin ada pertumpahan darah hanya karena salah paham.
“Lalu bagaimana dengan gosip itu Karaeng, bukankah Karaeng sendiri yang sudah bilang, jika ada yang berani bermaksiat di desa ini, maka bakar saja.” seorang pemuda dengan sarung yang menggantung di pundaknya mencoba mengingatkan apa yang pernah Karaeng Baso paparkan.
Bukannya tersinggung, Karaeng Baso malah tertawa. Ainun semakin bingung dengan sikap suaminya. “Anak saya tidak bersalah. Jika terbukti bersalah, saya sendiri yang akan mengadilinya.” Desis Karaeng Baso tidak terima dengan tuduhan-tuduhan tersebut. Bagaimanapun juga Athirah adalah putri semata wayangnya.
“Kami tidak terima jika warga diperlakukan tidak adil.” Teriak yang lain. Karaeng Baso mengangkat telunjuknya, mengarah pada pemuda yang baru saja berteriak. “Sejak kapan saya dan keluarga memperlakukanmu tidak adil?” pemuda yang ditunjuk pun seketika gagap. Pak RT yang melihat situasi semakin rumit kembali meminta warganya untuk membubarkan diri.
“Saya rasa masalahnya sudah selesai. Andi Athirah dan Rusdi hanya berteduh. Ibu-ibu hanya salah paham. Mari kita pulang ke rumah masing-masing.” Hingga mereka membubarkan diri, masih terdengar protes beberapa warga yang tidak terima.
Mereka menuntut keadilan, terlebih pada seorang warga yang pernah terusir karena terbukti berbuat mesum di area air terjun dan terpergok oleh warga. Sayang, kekuatan Karaeng Baso terlalu sulit dilawan oleh orang-orang kecil seperti mereka. Juga bukti yang mereka tuduhkan terlalu lemah, tidak ada bukti dalam bentu visual, hanya gosip dari mulut ke mulut.
*
Rupanya warga tidak puas dengan kejadian kemarin. Malam berikutnya mereka mendatangi rumah Rusdi dan memaksa pemuda itu untuk mengaku atas apa yang telah warga tuduhkan sebelum-sebelumnya. mereka membawa obor dan bensin, siap membakar rumah keluarga Rusdi jika terus menyangkal.
“Karaeng Baso.” Seorang pegawai peternakan berteriak histeris di depan rumah besar itu. ia adalah paman Rusdi. Ainun yang mendengar ketukan tidak beraturan di pintu segera keluar dan menemui orang yang berteriak seperti kerasukan.
“Ada apa ini?” tanya Ainun bingung. “Itu...,” dengan napas memburu, paman Rusdi menunjuk ke arah rumah keponakannya. “Itu Karaeng...,” ucapannya kembali terpotong. Napasnya benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama.
“Ya di situ ada apa?” Ainun dengan sabarnya menunggu laki-laki itu untuk berbicara dengan jelas. Ainun menoleh mendengar langkah kaki seseorang mendekati mereka. “Ada apa?” tanya Karaeng Baso bergabung dengan istrinya.
“Itu Karaeng, warga ingin membakar rumah Rusdi.” Akhirnya kalimatnya bisa meluncur dengan sempurna. Ainun menutup mulutnya, ia segera meminta suaminya untuk menghentikan warga.
“Tolong kami Karaeng. Keponakan saya Rusdi tidak mungkin berbuat zalim, Karaeng Baso sendiri sudah tahu jika Andi Athirah dan Rusdi sudah berteman sejak kecil.” Pintanya memelas. Paman Rusdi sampai memohon di depan Karaeng Baso, meminta bantuan agar warga menghentikan aksi mereka.
“Tetta, jangan tinggal diam. Kasihan mereka.” Ainun berusaha membujuk suaminya yang belum juga ada pergerakan. Tidak tanggung-tanggung, Paman Rusdi sampai bersujud di depan kaki Karaeng Baso dan bersedia dipenggal kepalanya jika sampai keponakannya terbukti bersalah. Tanpa berpikir panjang, Ainun menyeret suaminya menuju rumah Rusdi.
Sementara di rumah Rusdi, ibunya sudah menangis tersedu-sedu, memohon agar warga memberinya belas kasihan. “Saya bukan orang seperti itu.” bela Rusdi. Ia benar-benar tidak terima dengan tuduhan warga yang terus memojokannya. “Saya menghormati Athirah dan Karaeng Baso. Keluarga saya bahkan bekerja padanya, saya tidak mungkin berbuat seperti itu.”
“Alah. Berhenti mencari alasan. Mengaku saja jika kalian memang punya hubungan.” Paksa seorang ibu dengan sanggul tinggi. Rusdi menggeleng. Bahkan jika rumahnya harus dibakar ia tidak akan pernah mengakui apa yang tidak pernah ia perbuat.
“Bilang saja jika kalian sama-sama saling suka. Apa lagi yang dilakukan seorang gadis dan seorang pemuda sepertimu jika tidak bermaksiat. Berdua-duaan di pendopo sementara hujan sedang deras, berhenti mengelak, atau kami usir dari kampung.
“Siapa yang mengusir siapa?” suara berat itu segera mengalihkan perhatian warga. Karaeng Baso berjalan mendekat dengan baju batik yang tidak terkancing menampakkan otot-otot perutnya, sementara sarung yang ia pakai tergulung sembrono, rambutnya basah dengan tetes air membasahi pakaiannya. Dengan gagah Karaeng Baso berjalan membelah kerumunan warga didampingi istrinya yang hanya mengenakan daster dan jilbab rumahan, berbeda sekali dengan penampilan sang Suami. Beberapa warga memilih mundur untuk mencari aman.
“Sudah saya katakan jika masih ada yang ingin menghakimi Putri saya, kalian bisa berhadapan langsung dengan saya. Satu lawan satu.” Geram Karaeng Baso. Muak dengan gosip yang terus bergulir itu.
“Jika Kalian masih mengangkat masalah ini, yang bekerja di perkebunan dan peternakan akan saya pecat. Silakan angkat kaki dari desa ini. Dan jika kalian masih ingin mengunjingkan masalah ini silakan maju ke depan lawan saya.” Karaeng Baso mencabut badiknya, memperlihatkan jika benda sakral itu siap menikam siapa saja yang berani melawannya. Ainun mundur
Malam itu, jika bukan karena keluarga Athirah, rumah Rusdi sudah rata dengan tanah, dilalap oleh sijago merah. Athirah yang mendengar masalah tersebut benar-benar merasa bersalah pada Rusdi. Sementara keluarga Rusdi dikucilkan oleh warga setelah kejadian tersebut. Rusdi sendiri memilih berangkat ke Malaysia menyusul Bapaknya ia tidak ingin terus menerus menjadi gunjingan warga padahal tidak bersalah sama sekali.
***