Bab 6 Gosip Membawa Petaka
Bab 6 Gosip Membawa Petaka
Athirah mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah. Remang. Sepertinya orang-orang masih sibuk di pesta. Athirah segera mempercepat langkahnya menaiki tangga, Rusdi sendiri sudah pulang setelah menurunkan Athirah. Bisa gawat jika kakak laki-lakinya menemukan Athirah dalam kondisi mengenaskan. Seperti anak kucing yang baru saja dimandikan.
Langkahnya terhenti ketika mendengar langkah kaki mendekat ke arah pintu. Athirah memilih diam di beranda rumah. Bisa kena sidang jika ia ketahuan pulang malam di tengah hujan seperti ini. Athirah membekap mulutnya ketika mendengar suara Ayahnya yang menggema, entah siapa yang sedang terkena amukannya. Athirah semakin takut untuk masuk.
Brakkk
Athirah terlonjat kaget mendengar suara meja yang dipukul. Nyalinya seketika menciut. Pemandangan seperti ini tidak lagi asing bagi Athirah. Siapa saja yang membuat pelanggaran akan mendapat ganjaran yang setimpal, tanpa peduli itu Athirah, kedua saudaranya atau pekerja perkebunan.
“Athirah. Sampai kapan kamu akan berada di luar?” Athirah melotot. Ia tidak menyangka jika persembunyiannya ketahuan. Dengan langkah pendek-pendek, Athirah memasuki rumah, ia tidak berani menatap Ayahnya. Sudah dipastikan jika pemandangan di depannya sangat-sangat tidak mengenakkan.
“Dari mana hujan-hujan seperti ini?” Athirah menunduk dalam. Ia tidak mungkin mengatakan jika ia keluar dan jalan-jalan bersama Rusdi. Brakk “Jawab Tetta.” Athirah memejamkan matanya mendengar gebrakan meja sekali lagi.
“Habis jalan-jalan Tetta,” cicit Athirah. Tangannya sibuk meremas ujung bajunya, tetes-tetes air mulai membasahi tempatnya berdiri. “Bagus sekali anak gadis keluyuran sampai gelap seperti ini. ANGKAT KEPALAMU!” Athirah perlahan mengangkat kepalanya, menemukan wajah ayahnya dengan rahang mengeras, matanya berkilat marah dengan kedua tangan terkepal. Siap menghantam apa saja yang bisa menyurutkan emosinya.
“Kalau Tetta tahu akan seperti ini, Tetta tidak akan memberimu izin untuk pulang. Tetta sangat malu dengan kelakuanmu.” Kening Athirah berkerut dalam. Kelakuannya? Ia tidak mengerti ke mana pembahasan ayahnya mengarah. Ia hanya berteduh di pendopo lalu pulang tanpa menginjak tujuan mereka. Athirah menjadi bingung sendiri.
“Ganti baju dan keringkan rambutmu. Kita akan ke pesta. Jangan kabur-kaburan lagi.” Athirah tidak ingin memperpanjang masalah. Ia segera berjalan cepat menuju kamarnya. Ia akan menjadi anak baik selama berada di rumah.
*
Selama berada di pesta, Athirah hanya duduk dan diam di pojok. Ia ingin kabur dan lari dari tempat ramai tersebut, sayang pandangan Ayahnya selalu awas ke tempat di mana ia duduk. Bosan memainkan ponselnya, Athirah akhirnya memilih memperhatikan segala dekorasi yang sangat-sangat memakan uang tersebut.
Panggung besar berisi kursi kedua mempelai dan empat kursi masing-masing untuk orang tua mempelai, dihias semewah mungkin. Lampu-lampu hias menggantung menerangi kedua mempelai, menyinarkan kemewahan dari baju yang mereka pakai. Hijau toska dengan dengan berbagai embel-embel yang melekat ditubuh pengantin. Kira-kira beratnya sekitar dua kg. Cukup menyiksa siapa saja yang memakainya.
Puas menatap panggung pengantin, Athirah memindai kursi-kursi tamu yang tidak pernah sepi. Gaun-gaun mewah dengan perhiasan emas berkilau di mana-mana. Athirah sempat berpikir jika pesta di sini hanyalah ajang memamerkan kekayaan. Lihat saja dekorasi yang ada, serba mewah, lalu dari tamu-tamu yang datang, berkilau emas.
Athirah dan keluarga pulang menjelang jam sebelas malam. Athirah tidak lagi peduli dengan wajahnya yang lepek, ia ingin tidur secepat mungkin, melepaskan segala penat yang ia lalui selama seharian ini.
**
Pagi-pagi sekali Athirah sudah sibuk membantu Mama dan dua kakak iparnya di dapur. Rumah masih sepi, sepertinya orang-orang yang biasa membantu di rumah mereka masih berada di rumah sebelah, tempat pesta berlangsung.
Sarapan berlangsung dengan hidmat, semua keluarga Athirah lengkap. Pesta memang selalu melengkapkan keluarga mereka. Masing-masing keluarga tidak boleh absen mengambil bagian. “Gimana ujian masuk PTN-nya?” tanya Fikar setelah keheningan di meja makan mendominasi.
“Aman kok.” Jawab Athirah setelah menelan makanannya. Fikar mengangguk, ia melanjutkan kembali acara makannya, dan kembali hening menyelimuti. Hanya ada suara piring dan sendok yang beradu. Beberapa kali Athirah melirik Ayahnya, barangkali emosinya sudah mereda. Athirah ingin minta izin untuk jalan-jalan ke ladang. Sayang nyalinya sedang ciut setelah insiden semalam.
Setelah sarapan, Athira kembali ke kamar, menyibukkan diri dengan buku dan ponsel. Ia tidak mungkin keluar hari ini. terlalu besar resiko yang harus ia hadapi jika harus pergi tanpa izin, pun jika minta izin, belum tentu orang tuanya akan memberi.
“ATHIRAH!” Athirah menelan salivanya dengan susah payah. Teriakan Ayahnya yang menggelegar menandakan jika terjadi masalah. Athirah meradang, masalah apa lagi yang akan ia dapat. Cepat-cepat gadis itu melompat dari kasur dan keluar dari kamar, jika tidak seseorang akan menyeretnya.
“Ada apa Tetta?” tanya Athirah takut-takut. Athirah yang terkenal keras kepala tetap tidak bisa berkutik di depan Ayahnya ketika sudah marah seperti ini. “DUDUK!” Athirah menggigit bibir, segera duduk di depan kedua orang tuanya. Mamanya bahkan sudah terisak, entah apa yang sedang ditangisinya.
“Benar kemarin kamu berua-duaan di pendopo bersama Rusdi? Apa yang kalian lakukan di tengah hujan deras seperti itu?” Athirah terkesiap. Ia mengangkat kepalanya, menatap Ayahnya yang tengah diliputi emosi. Dadanya terlihat naik turun menandakan emosi yang benar-benar tidak stabil. Laki-laki berperawakan tinggi dengan badan kekar itu menatap Athirah nyalang.
“Kami hanya berteduh,” bela Athirah. Ia tidak terima jika terpojok seperti ini. ia yakin jika orang-orang yang ia temui kemarin sudah menggosipkannya sepagi ini. Athirah tidak habis pikir dengan apa yang ada di otak orang-orang itu. Athirah adalah seorang putri dari keluarga yang terhormat, ia tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan yang bisa mencoreng nama baik keluarganya.
“Harus berapa kali Tetta katakan tidak baik anak gadis dan anak laki-laki tanpa ikatan berdua-duaan seperti itu. Jangan membuat Tetta menanggung malu seperti ini. Jika masih ingin di sini, jaga sikapmu.”
“Sudah Tetta, Saya yang memberi izin Athirah pergi bersama Rusdi.” Melihat anak gadisnya terus dimarahi seperti itu membuat Mama Athirah tidak mampu membendung air matanya. Perempuan itu terus mengusap bahu suaminya, berusaha meredakan emosi yang sedang bergejolak.
“Sekali lagi Tetta mendengar gosip-gosip seperti ini, Tetta akan menjodohkan kamu.” Tekan Ayah Athirah. Mendengar kata dijodohkan membuat Athirah melotot. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Terlepas dari tradisi keluarga yang menikah karena perjodohan, Athirah akan berdiri paling depan menentang hal itu jika terjadi padanya.
“Mulai hari ini, tinggal di rumah dan bantu orang-orang di dapur. Tetta tidak memberimu izin untuk keluar,” tambahnya. “Tapi Tetta, Athirah tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan. Kami hanya berteduh, Tetta bisa menanyakannya pada Rusdi. Athirah capek terus ditekan seperti ini. Athirah capek terus menerus digunjingkan oleh tetangga. Athirah ingin menjadi anak baik, anak yang dibanggakan oleh Tetta dan Mama.” Cicit Athirah berusaha menekan rasa sakit di dadanya. Terus menjadi pihak yang tertuduh benar-benar membuat Athirah tertekan.
“Ra, sudah.” Fikar yang duduk tidak jauh dari Athirah menegur adiknya dengan halus. Ia tidak ingin masalah ini menjadi lebih besar. Gadis itu memilih beranjak dan masuk di kamarnya. Ia butuh membuang air matanya yang sudah menggulung di pelupuk mata. terus menjadi pihak yang krisis kepercayaan membuat Athirah meradang.
*
Rupanya cobaan yang menimpa Athirah tidak sampai di sana. Gunjingan demi gunjingan terus mengganggu konsentrasi belajarnya. Meski dalam keluarganya tidak lagi mempermasalahkan hal tersebut, tetap saja gosip terus semakin meluas dan semakin bertambah. Sampai ada yang mengatakan jika Athirah dan Rusdi terpergok warga sedang bermesraan. Athirah benar-benar muak.
Karena sudah tidak tahan dengan gunjingan tetangga, akhirnya Athirah memilih kembali ke kota. Meski telah merencanakan liburan dan mengeksplorasi desa, gadis itu harus membatalkan semuanya. Ia memilih mencari aman dari pada harus berurusan dengan penyakit mental yang bisa saja menyerangnya jika terus menerus merasakan tekanan dari lingkungannya.
“Jangan suka keluyuran yah Ra. Ingat Tetta dan Mama, jangan jadi anak nakal.” Pesan sang Mama sebelum Athirah diantar oleh sopir mereka. Athirah mengangguk, mencium kedua pipi ibunya sebelum berpamitan. Kembali ke kota akan mengembalikan moodnya yang hancur.
***