Bab 5 Pandangan Tidak Bersahabat
Bab 5 Pandangan Tidak Bersahabat
Esoknya Athirah tidak mengikuti semua prosesi adat yang ada. Ia datang terlambat dan pulang lebih cepat. setelah melakukan sesi foto keluarga, Athirah segera pulang dan mengganti pakaiannya. Entahlah ia kepanasan di tengah cuaca dingin yang menusuk. Tidak begitu nyaman dengan make up tebal hasil kerja keras Kakak Iparnya.
“Loh, Andi Athirah sudah pulang?” Athirah mengangguk, segera menaiki tangga, ia ingin cepat-cepat tiba di kamar dan membersihkan segala per-make-up-an yang menempel di wajahnya. Ditambah dengan baju dan sarung ia gunakan, cukup rumit dan sedikit kesulitan untuk berjalan.
Begitu memasuki kamar, Athirah segerah melepaskan segala pernak pernik yang melekat dalam tubuhnya. Yang terpenting ia sudah memperlihatkan diri, dan tidak melewatkan sesi foto keluarga besar, selebihnya ia tidak lagi diperhitungkan di sana. Athirah tidak ingin duduk sendiri seperti orang bodoh tanpa teman yang bisa diajak berbicara. Lebih baik ia pulang dan tidur, sepertinya lebih menyenangkan.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Athirah mencoba mencari posisi nyaman untuk lelap. Cuaca terlalu mendukung untuk tidur siang. Baru saja kepalanya menyentuh bantal, sebuah suara memanggil namanya. Athirah cukup familiar dengan suara tersebut. dengan senyum merekah Athirah segera menarik jaket tebal dan keluar dari persembunyiannya.
Di ujung tangga, Rusdi dengan senyum khasnya berdiri menatap Athirah. “Rusdi.” Sambut Athirah, ia segera mengajak pemuda itu untuk naik ke rumah. Sepertinya mereka akan kembali terlibat dalam dialog panjang tak berujung. Selalu ada bahan percakapan di antara mereka. Entah itu mengenai petualangan Rusdi di desa atau cerita-cerita Athirah selama bersekolah di kota.
“Tadi, Saya mencari kamu di pesta. Kata Kak Denis kamu sudah pulang, ya sudah saya susul ke sini.” Jelas Rusdi setelah duduk di kursi kayu yang ada di beranda rumah Athirah. Athirah mengangguk, jika Rusdi datang ke pesta lebih cepat, sepertinya Athirah bisa bertahan lebih lama di sana. Ia juga butuh teman ngobrol, sementara orang-orang di sekitar Athirah sengaja menjaga jarak dengan dirinya, seakan Athirah adalah gadis paling berbahaya di muka bumi.
“Gak ada temen ngobrol Rus, jadi yah pulang.” Athirah beranjak dari duduknya, sepertinya mereka membutuhkan teh dan cemilan. “Mau ke mana Ra?” tahan Rusdi spontan. Athirah menghentikan langkahnya menatap tangannya yang ditahan oleh Rusdi. “Eh..., maaf maaf, saya tidak sengaja.” Gugupnya dengan raut wajah menyesal.
“Sepertinya kita butuh teh dan cemilan.” Terang Athirah, terkekeh melihat tingkah Rusdi yang menurutnya lucu. Rusdi segera menggeleng, ia ikut berdiri mensejajarkan dirinya dengan Athirah. Melihat pergerakan Rusdi, kening Athirah berkerut heran, laki-laki ini tidak berniat pamit kan? Baru juga Athirah bersemangat.
“Anu..., saya ingin mengajak kamu jalan-jalan. Kita keliling desa atau ke air terjun, bagaimana?” Ajak Rusdi, ia sedikit menunduk menatap jari kakinya. Ia tidak yakin jika ajakannya akan diindahkan oleh Athirah.
Rusdi kemudian memalingkan pandangannya pada motor tua yang ia kendarai ke rumah Athirah. Motor yang lebih banyak digunakan mengangkut makanan ternak dibanding mengangkut manusia itu terlihat tidak layak disebut motor, apalagi digunakan menjemput Athira, anak Sultan di kampung mereka. Rusdi yakin Athirah akan menolak ajakannya. Melihat motornya saja sudah tidak enak apalagi harus menggunakan untuk jalan-jalan. Rusdi meringis.
Setelah diam cukup lama, akhirnya Athirah menemukan titik terang, ia menangkap sosok Mamanya berjalan menuju rumah. senyumnya seketika mereka. “Tunggu sebentar.” Athirah segera berlari menyusuri tangga menemui Mamanya untuk minta izin. Rusdi harap cemas ketika melihat Mama Athirah melihatnya beberapa kali, terlihat berbicara dengan serius bahkan Athirah terlihat menggerak-gerakkan lengan Mamanya, pertanda jika gadis itu sedang merengek. Ia sudah menebak jika perempuan itu tidak akan memberi izin pada Athirah terlebih ketika Athirah menunjuk ke arah motor Rusdi. Terlalu memprihatinkan.
“Rusdi, ayo.” Teriak Athirah setengah kegirangan, tangannya melambai mengajak Rusdi untuk segera turun dari beranda rumah. Rusdi tersenyum, ia kembali bersemangat, melangkah cepat menuruni tangga lalu mendekat ke arah Athirah dan Mamanya, meminta izin pada perempuan itu lalu mengajak Athirah berangkat sebelum hari semakin sore.
“Jaga anak Tante yah, Rusdi.” Rusdi mengangguk sopan. Tanpa diingatkan pun Rusdi akan melakukannya. Ia tahu resiko apa yang akan menimpa dirinya jika terjadi apa-apa pada Athirah. Selain karena Athirah adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga mereka, Athirah juga merupakan anak bungsu kesayangan keluarga. Sedikit saja Rusdi membuat kesalahan ia akan mendapat petaka yang besar.
*
Rusdi mengajak Athirah berkeliling desa menggunakan motor bututnya. “Lanjut ke air terjun gak Ra?” Athirah mengangguk antusias, sudah lama ia tidak memanjakan mata dan telinganya oleh pemandangan hijau dan air terjun. Rindu dengan gemerincik air dan suasana sejuknya. Terlebih ketika kabut turun, serasa sedang berada di negara yang bersalju.
Melihat Athirah dan Rusdi berboncengan menyusuri jalan menuju perkebunan membuat beberapa ibu kembali menggunjingkannya. Sepertinya setiap pergerakan Athirah tidak luput dari pengawasan orang-orang di desa. Ia bahkan tidak melakukan sesuatu yang mencolok, hanya duduk tenang di belakang Rusdi dan bercerita sepanjang jalan. Hidup memang semenarik itu jika dikelilingi oleh orang-orang yang selalu memandang kita dari sisi berbeda.
“Enak sekali yah, anak gadis berkeliaran di ladang sementara hari mulai sore.” Komentar seorang ibu ketika Rusdi selesai memarkirkan motornya di bawah pendopo. Beberapa ibu sedang menikmati bekal makan siangnya. “Ya Bu, berdua-duaan lagi. memang yah pergaulan anak kota berbeda dengan anak-anak di desa.” Timpal ibu yang lain. “Hati-hati loh Rus diajak aneh-aneh.” Ingin sekali rasanya Athirah menangis mendengar semua gunjingan tersebut. Jika mengingat posisi orang tuanya yang begitu dihormati, mengapa ia tidak pernah lepas dari omongan orang-orang.
“Kita hanya jalan-jalan ke ladang kok bu.” Jawab Rusdi sebelum berlalu diikuti oleh Athirah yang memilih menulikan telinga dari segala gunjingan ibu-ibu tersebut.
*
Belum juga mereka sampai di air terjun, hujan deras tiba-tiba mengguyur. Beruntung ada banyak pendopo yang sengaja dibangun di ladang untuk digunakan ketika jaga malam perkebunan. Rusdi segera membantu Athirah untuk naik mengingat setiap kali pendopo kosong tangga-tangga yang digunakan akan dilepas untuk menghindari naiknya binatang ke pendopo. Baju yang dikenakan oleh Rusdi basah kuyup sementara baju yang dikenakan Athirah tidak begitu basah, ia menggunakan kaos tebal berlapis jaket parasut yang tahan air.
“Kamu basah Rus.” Athirah melepas jaketnya hendak meminjamkan pada Rusdi yang terlihat mengigil kedinginan. “Ini kamu pakai dulu.” Rusdi menolak. Ia memilih kedinginan dengan baju basah kuyup dibanding membiarkan Athirah yang kedinginan. Tidak jantan sekali rasanya.
Cukup lama mereka menunggu hujan redah namun tak juga ada tanda-tanda akan meredah. Athirah kemudian iseng mengeluarkan tangannya dan terkena rintik hujan. Kabut tebal mulai membungkus mengikis jarak penglihatan. Suasana tiba-tiba mencekam. Bagaimana jika hujan tidak redah hingga malam? Athirah meringis membayangkan hal tersebut.
“Hujan seperti ini sudah sering turun yah Rus?” tanya Athirah, ia mengalihkan pandangannya pada Rusdi. Wajahnya tiba-tiba memerah tidak menyangka jika Rusdi akan membuka bajunya dan memeras air yang belum juga mengering. Athirah segera mengalihkan perhatiannya, Rusdi sendiri tidak menyangka jika Athirah akan menoleh secara tiba-tiba, ia segera mengenakan kembali kaos basanya.
“Ya Ra, biasanya sih gerimis doang.” Athirah mengangguk, ia tidak tahu harus membawa percakapannya ke mana. Terlalu shock.
Ketika hujan mulai reda, Rusdi dan Athirah hendak pulang namun tidak sengaja bertemu dengan beberapa warga yang baru pulang dari ladang. “Loh, kenapa kalian berdua-duaan di tempat sepi seperti ini, mana hujannya sangat deras.” Ibu tersebut memicingkan matanya, meneliti penampilan Athirah dari kepala hingga kaki. Tidak ada yang aneh dengan gadis itu, justru pakaian Rusdi yang terlihat aneh, kusut di mana-mana.
“Kami ingin ke air terjun bu, tapi hujannya sangat deras, jadi kami berteduh sebentar.” Jawab Athirah mulai risih dipandang penuh selidik seperti itu. Seperti sepasang sejoli yang terpergok sedang mesum. Tanpa banyak bicara lagi, Athirah mengajak Rusdi untuk pulang, hari sudah mulai gelap ia tidak ingin mendapat amukan dari Ayahnya jika ketahuan keluyuran hingga malam.
***