Bab 10 Pria Asing Sok Akrab
Bab 10 Pria Asing Sok Akrab
Teman-teman Ima melongo. Bisa-bisanya gadis itu memilih turun dari mobil hanya karena penasaran mengapa Kota Jeneponto selalu gersang sementara daerah lain berlimpah air dan tanaman hijau. Begitu mereka melanjutkan perjalanan, tidak ada lagi suara. Mereka masih syok dengan kelakuan ajaib salah satu sahabatnya.
Athirah kembali menurunkan kaca mobil, pemandangan laut Kota Bantaeng menarik perhatiannya. “Zam, tidak mampir dulu nih?” tanya Athirah. Pemandangan laut yang biru dengan angin sepoi-sepoi menarik perhatiannya. Athirah menikmati suasana sejuk tersebut. “Nanggung Ra, kita singgahnya pulang nanti saja,” putus Sadzam. Tersisa mereka berdua yang tidak tertidur, menikmati hamparan biru laut dengan aroma rumput laut yang terhampar sepanjang jalan.
Athirah dengan nekat mengeluarkan kepalanya, mencoba menikmati suasana. Matanya terpejam, aroma ketenangan menyeruak dalam dada, sejenak ia lupa semua masalah yang tengah dipikulnya. Melihat pemandangan itu, Sadzam mencoba memelankan laju kendaraan, Athirah tersenyum. “Kepalanya jangan terlalu keluar Ra, bahaya.” Sadzam memperingati.
*
Perjalanan yang harusnya hanya ditempuh selama lima jam melambat dua jam. mereka tiba tepat setelah tujuh jam berkendara. Drama-drama yang terjadi di jalan cukup membuang waktu. “Bulukumba tanah kelahiranku,” Okta menarik napas dalam-dalam. Aroma laut menguar di rongga hidungnya.
“Selamat berlibur guyss...,” teriak Aulia bersemangat. “WOY..., koper WOY...,” Sadzam ikut berteriak dari arah parkiran ketika melihat teman-temannya sudah berjalan memasuki penginapan. Namun, tidak satupun yang menghiraukan teriakannya. “Selamat datang di Pantai Bira,” Sambut Okta bersama beberapa pegawai Hotel. Mereka akan menginap selama seminggu, menjelajah Kota Bulukumba dan segala keindahannya.
Setelah istirahat beberapa menit, Okta mengajak teman-temannya untuk makan siang, meski tidak lagi terhitung siang. Athirah kembali terpukau memandang bentang laut yang membiru di depan matanya. “Keren...,” pekik Aulian. Sementara Ratih enggan membuka mulut meski di wajahnya terpancar kekaguman yang sama.
Mereka disuguhi oleh pemandangan laut dari ketinggian restoran yang dibangun unik menyerupai perahu phinisi. Perahu yang menjadi iconik Kota Bulukumba. Dekorasi unik dengan perabot-prabot klasik menyambut kedatangan mereka. kursi-kursi panjang dipadu dengan meja kayu yang ditata sedemikian apik menghadap laut.
Deburan ombak dengan angin sepoi-sepoi menghanyutkan siapa saja yang berkunjung ke hotel tersebut. terlebih, mereka bisa menikmati sunset dan sunrise dengan indah. Benar-benar memukau. “Ini tempat yang pertama yah, tempat berikutnya masih ada Apparalang, Pantai...,”.
“Apparalang, aku penasaran dengan tempat itu. OMG, sudah lama sekali pengen ke sana. tapi tahu sendirikan Ayah, Ibuku tidak pernah memberi izin untuk bepergian jauh,” potong Ima. “Dengar-dengar sih, tempat itu sudah sangat terkenal,” tambah Aulia, “Aku pernah ke sana sekali, dan tempatnya yah, seperti kata orang-orang. Indah dan keren. Tebing-tebing batunya kokoh dan unik, airnya biru, pemandangannya juga gak kalah keren, jempol banyak pokoknya. Tempat wajib di kunjungi selain Pantai Bira.” Mereka pun mengangguk kompak sebelum menyantap makanan yang diantar oleh pramusaji. Seafood sangat cocok disantap di pinggir laut seperti ini.
*
Hari semakin sore, pengunjung di bibir pantai semakin bertambah, air yang surut semakin memperlihatkan kejernihan air dan pantai pasir putih yang membentang sejauh mata memandang. Athirah duduk memeluk lututnya, topi rajut dengan kaca mata hitam, membingkai matanya. Berkali-kali menghela napas mencari ketenangan. Ia tidak peduli jika pakaiannya harus basah atau kotor oleh pasir.
Yang terpenting ia bisa berdamai sejenak saja dengan semua masalahnya. Bagaimanapun juga, Athirah tetap berharap bisa lulus di fakultas seni dan orang tuanya bisa memberi restu. Bahkan Athirah telah mempersembahkan semua doa-doa terbaiknya, tersisa harapan yang harus ia tanamkan positif dalam kepalanya.
“Tidak baik melamun sendiri di pinggir pantai.” Athirah tersentak kaget ketika tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya. Ia membuka kacamata, mencoba memicing dan mengingat. Tidak! Dia tidak mengenal laki-laki tersebut.
“Kenalkan, aku Haikal,” Senyum di bibirnya begitu manis, meski wajahnya sedikit gelap oleh siluet matahari yang mulai turun ke peraduan, Athirah tetap bisa menangkap aura tampan laki-laki itu. Ia bingung harus bersikap bagaimana. Tidak terbiasa dengan orang asing. Tatapannya berganti dari tangan ke wajah laki-laki itu.
“Kalau kamu sedang berlibur, berarti tujuan kita sama. Barangkali bisa berlibur bersama,” Haikal mengedipkan satu matanya, sementara tangan masih menggantung di udara. “Sekali lagi, kenalkan. Aku Haikal, putra daerah.” Athirah semakin bingung. Tak disangka oleh Athirah, Haikal mengeluarkan saputangan, mengelap tangannya sebelum menarik tangan Athirah untuk bersalaman. Gadis itu terbengong
“Anggap saja kita sudah berteman, aku akan menemanimu di sini. Oh ia satu lagi, jangan sungkan meminta bantuan, barang kali kamu perlu beberapa foto bersama senja, aku siap jadi fotografernya,” tawaran Haikal membuat Athirah tersadar, satu momen indah yang ingin ia nikmati sendiri nyaris terlewat oleh bualan laki-laki itu. Cepat-cepat Athirah menoleh, beruntung, di ujung laut matahari sedang emas-emasnya. Athirah tersenyum. Andai ia bisa memegang segelas kopi sambil menikmati sunrise yang sedang berkilau menghipnotis.
“Cantikmu bertambah jika tersenyum,” puji Haikal. Athirah sadar jika ia tidak sendiri dan sedang bersama orang asing. Spontan saja ia berdiri, hendak menjauh dari jangkau laki-laki itu yang bisa saja memiliki niat jahat untuk menculiknya. “Aku tidak punya urusan dengan kamu,” sinis Athirah, tangannya tengah tercekal di bagian kanan.
“Hey.., hey.., aku bukan orang jahat, apa lagi seorang pencuri seperti yang kamu pikirkan dalam kepala cantikmu,” Haikal menarik Athirah untuk duduk kembali, Athirah menolak dengan keras. Enak saja. “Begini, aku akan menceritakan sebuah kisah, perjuangan seorang pemuda yang cintanya terhalang oleh adat istiadat, namanya Zainuddin....” Mendengar ocehan Haikal yang semakin menjadi, Athirah semakin gelisah. Ingin lari dan menjauh dari Haikal.
“Aku harus pergi, teman-temanku bisa khawatir jika terlalu lama menghilang,” Tidak ingin mengulur waktu lagi, Athirah menyentak cekalan Haikal, lalu berlari dengan kencang meninggalkan Haikal yang sedang tertawa puas. “Gadis ajaib. Jadi begini rasanya di tolak, ckck,” Haikal tertawa semakin kencang, memandang ke mana arah Athirah berlari. “Padahal ceritaku belum usai, nama pemeran utama perempuannya pun belum kukatakan. Sayang sekali ceritanya menggantung. Semoga saja kamu tidak penasaran malam nanti.” Haikal berdiri, menepuk-nepuk celanannya sebelum berjalan berlawanan arah dengan Athirah.
Sore itu menjadi senja pertama yang menyebalkan bagi Athirah. Waktu semedinya mengalami gangguan laki-laki gila yang sayangnya memiliki aura tampan yang tidak bisa ditepis gadis itu. Sial!
*
Apparalang dan segala keindahannya tersaji di depan mata. Tebing-tebing batu berdiri koko meski berkali-kali terhantam ombak. Tampak tabah dan tetap menawan untuk dijadikan tempat untuk bersua foto. Kata beberapa pengujung, tempat ini sering kali dijadikan lokasi untuk foto prawedding.
“Aku tidak tahu setabah apa yang ada di sana, meski ombak terus mengusiknya, tetap sabar dan berdiam diri, menyiapkan diri untuk kembali tersapu ombak,” perkataan Aulia sukses membuat teman-temannya berhenti melangkah. “Lia, kamu tidak kesurupan kan? Tidak demam kan?” Ima segera mengguncang badan Aulia, menempelkan punggung tangannya ke kening Aulia.
“Apaan sih. Aku itu sedang belajar menjadi seorang pujangga. Mana tahu bisa seperti Jalaluddin Rumi,” tukas Aulia sambil menepis tangan Ima yang masih saja menempel di jidatnya. “Buahaha, jangan ngigau siang-siang Lia, takut kesambet,” ejek Okta. Aulia memutar bola matanya malas, ia segera berjalan meninggalkan teman-temannya yang tanpa rasa berdosa dan bersalah, sibuk menertawakannya.
Brukk
“Au..., jalan jangan melamun dong.” sewot Aulia. Kekesalannya bertambah. Sepertinya hari ini ia cukup bernasib sial. Moodnya hancur.
“Haikal!” Okta segera berjalan menghampiri Aulia dan laki-laki yang dipanggilnya Haikal itu. Sadzam dan yang lain mengekor bak anak ayam. “Hey, kita bertemu lagi,” sapa Haikal pada Athirah yang memilih membuang muka.
“Kalian saling kenal?” tunjuk Okta pada Haikal dan Athirah. Haikal mengangguk, gelagatnya sudah seperti orang yang sangat akrab dengan Athirah saja. “Hanya dia yang mengenalku, aku belum mengenalnya dekat.”
“Sikap buayamu masih sama. Nah kenalkan, ini Sadzam, yang kamu tabrak namanya Aulia, trus ini Ima, satu lagi Ratih,” Okta memperkenalkan teman-temannya satu persatu, kecuali Athirah yang memilih berdiri di sisi tebing. Gadis itu terlihat tidak menunjukkan ketertarikan apapun, berbeda dengan Ima dan Ratih yang telah bersalaman dengan Haikal. Okta membiarkan gadis itu menikmati suasana yang ia inginkan, sementara mereka memilih duduk di kursi kayu yang menjadi salah satu spot foto andalan pengunjung.
Siang itu cuaca cerah, sedang di wajahnya awan gelap sedang membumbung tinggi.
***