Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Tentang Zainuddin dan Cinta Hayati

Bab 11 Tentang Zainuddin dan Cinta Hayati

“Katanya sebelum pulang, Haikal mengajak kita makan malam di rumahnya,” Okta mendeklarasikan undangan Haikal yang sebenarnya sudah diterima oleh teman-temannya masing-masing. “Uih, mantap,” Sadzam mengangkat jempolnya. Ia yang paling bersemangat di antara yang lain.

“Athirah ke mana?” tanya Okta. Laki-laki itu baru saja tiba, ia keluar untuk membeli cemilan persiapan nanti malam di pinggir pantai sebagai malam perpisahan. Nyatanya, waktu seminggu tidak cukup untuk mereka menjelajah wisata di Bulukumba. Waktu benar-benar terasa kurang. Bahkan seminggu yang mereka anggap lama jika bersekolah, tiba-tiba menjadi sangat cepat berlalu.

“Ke mana lagi kalau bukan ke pantai,” jawab Sadzam, menarik kresek yang dibawa Okta. Laki-laki itu segera memeriksa belanjaan, memastikan semua barang yang bereka butuhkan lengkap. Termasuk daging, dan segala embel-embel barbekyu. “Anak itu selalu suka senja,” Okta menggeleng prihatin. Seminggu mereka di sana, seminggu pula, Athirah menyaksikan senja sendirian.

“Dari pada ngomongin Ra, lebih baik urus perlengkapan nanti malam. Oh ya, Ta, perlengkapan bereskan?” tanya Ima. Sejak tadi ia duduk menjadi penonton. “Bereslah, Haikal yang mengurus semuanya,” Ima mengangguk, segera dibawanya kresek-kresek tersebut ke dalam kamar, beruntung kamar mereka disediakan lemari pendingin mini. Cukup untuk menampung bahan-bahan yang mudah rusak jika disimpan di luar pendingin.

*

Matahari mulai tergelincir menuju peraduan, beristirahat dari segala sandiwara dunia yang tidak juga ada hentinya. “Lalu, apakah mereka akhirnya bersatu?” Athirah menatap Haikal lekat, penuh harap menunggu jawaban. Pemuda itu selalu bersembunyi di bawah semburat senja yang memukau. Entah sejak kapan mereka menjadi dekat, yang Athirah tahu, ia mulai menyukai dongeng laki-laki itu.

Haikal tersenyum, tatapannya jauh menembus laut, seakan menyaksikan peristiwa tragis yang pasangan itu. “Mereka tidak berjodoh. Kandas ditelan lautan,” kedua alis Athirah saling bertautan. Rupanya bukan hanya Aulia yang suka berbicara kalimat yang rumit dan sulit ia mengerti. Laki-laki ini pun sama. Otak gadis itu harus bekerja ekstra menerjemahkan kalimat-kalimat Haikal.

“Hayati dijodohkan dan perjuangan Zainuddin berakhir,” Haikal menoleh, penasaran dengan ekpresi yang sedang menghias raut wajah gadis itu. Terlihat murung dan berusaha menutupi rasa sedihnya. “Tapi mereka dipertemukan lagi setelah Hayati menikah,” Senyum Haikal mengembang ketika tatapan mereka bertemu, binar cerah di wajah Athirah kembali terpancar.

“Hayati dan Zainuddin masih saling mencintai,” Athirah kembali bersemangat. Ia membenci ending sedih sebuah cerita. “Lalu, apakah mereka menikah?” Athirah benar-benar penasaran. Selama ini ia sibuk membaca buku materi pelajaran, juga tahu dongeng dan sejenisnya dari buku bahasa Indonesia.

“Kamu bisa membaca atau menonton filmnya langsung,” Athirah menggeleng. Ia memiliki hobi baru, mendengar dongeng Haikal. “Aku lebih suka mendengar cerita darimu,” tolak Athirah. Haikal terkekeh, ia tidak ingin Athirah mendengar ending tragis pasangan itu dari lisannya. Biarkan Athirah mencarinya sendiri.

“Kalau begitu, kita harus bertemu lagi,” Haikal berdiri, menepuk celananya yang dipenuhi pasir. “Sampai bertemu kembali,” tanpa berpamitan, Haikal berjalan meninggalkan Athirah. Perlahan punggung laki-laki itu semakin menjau, tertelan oleh jarak yang entah diciptakan oleh siapa.

“Akhirnya, Zainuddin dan Hayati menikah lalu hidup bahagia,” Athirah mencoba menyimpulkan cerita itu sendiri. menciptakan ending yang bahagia. Senja sore itu sepertinya tidak hanya memisahkan Zainuddin dan Hayati, tetapi ikut memisahkan perkenalan mereka yang baru seumur jagung.

“TERIMA KASIH,” teriak Athirah ke arah menghilangnya Haikal. Biarkan orang-orang mengatainya tidak waras. Athirah tidak peduli. Yang terpenting hatinya lega dan ia harus kembali kepenginapan atau teman-temannya akan mengamuk.

*

Acara makan malam berlangsung khidmat. Di rumah Haikal telah dipersiapkan menu-menu tradisional Kota Bulukumba. Makanan terhidang rapi, ada pula berbagai jenis makanan laut, favorit Athirah tentu saja udang dan saudara-saudaranya.

Sepanjang acara makan bersama diselingi oleh cerita-cerita kocak dari Okta, Sadzam dan juga Haikal. Sesekali Ima, Aulia dan Ratih menimpali. Athirah sendiri, ia masih memikirkan ending dari cerita Haikal yang beberapa hari terakhir diceritakan oleh laki-laki itu.

“Melamun terus. Aku g=tidak mau ya Ra kamu sampai kesambet. Pasti jinnya, jin galau,” oceh Ima. Athirah meringis, menepuk pundaknya, tepukan Ima tidak main-main. Sepertinya gadis itu menggunakan seluruh kekuatannya untuk memukul Athirah.

Setelah makan malam di rumah Haikal, mereka melanjutkan dengan acara yang telah mereka persiapkan, barbekyu. Suasana pantai cukup ramai di malam minggu seperti ini. Berbagai kalangan memadati gazebo-gazebo yang telah disiapkan di bibir pantai. Tenda-tenda terpasang berjajar, pasangan muda-mudi sibuk menata hati mereka. Terlihat sibuk dan bahagia dangan urusan masing-masing.

“Jadi Haikal, maksudku Kak Haikal sudah kuliah di Jawa?” pekik Ratih. Haikal mengangguk sambil terkekeh, apakah wajahnya seimut itu sampai dianggap masih anak SMA seperti mereka? Sebuah kesyukuran untuk Haikal dan wajahnya yang awet muda.

“Ya ampun, tidak menyangka. Kapan-kapan kalau kita main ke Jawa, bolehlah Kakak antar jalan-jalan,” celetuk Ima. “Boleh banget dong,” jawab Haikal santai. Matanya terus saja melirik Athirah yang sedang tertawa bersama Aulia, mereka bertugas di bagian panggang memanggang.

“Sekarang semester berapa Kak?” tanya Ratih lagi. Gadis itu benar-benar menunjukkan ketertarikan pada Haikal. “Semester lima sih kalau tidak salah.” Haikal kembali terkekeh. Ia cukup piawai dalam melawak. Sayang, yang menarik perhatian Haikal bukan gadis yang terus mencoba menarik perhatiannya, melainkan gadis yang pertama kali menolaknya untuk kenalan.

Malam semakin larut, api unggun semakin berkobar besar, patahan-patahan kayu yang terbakar api beradu dengan tiupan angin pantai yang semakin kencang. Tidak ada lagi yang mendekati air, sibuk dengan rombongan masing-masing, duduk melingkari api unggun dan bercerita.

Semakin larut, semakin tercipta suasana yang meminta untuk tidak berhenti sampai di sini. Bahkan dalam lingkaran mereka bergabung beberapa teman Okta, melarutkan dalam cerita-cerita panjang yang tak berujung. Melupakan jika esok mereka harus kembali berkendara sekian jam. Pulang.

*

Dengan terpaksa, Athirah yang bertugas mengemudi. Black akan berada dalam kendalinya hingga beberapa jam ke depan. Tidak menyangka jika Okta dan Sadzam akan kebablasan hingga lupa waktu dan lupa tidur. Beruntung Athirah dan Aulia pamit duluan untuk beristirahat. Jika tidak, mereka harus menyewa sopir bayaran. Menyebalkan.

Sepanjang jalan hanya Athirah yang masih sadar, teman-temannya yang lain sudah berada di dunia lain. Sibuk dengan mimpi masing-masing. bahkan ketika Athirah menepi di pantai Marina Bantaeng, teman-temannya tetap lelap dengan nyenyak. Athirah jadi kesal sendiri. Padahal ia berniat untuk menyusuri pantai tersebut begitu mereka pulang ke Makassar. Sayang, bayangan es kelapa muda yang dinikmati bersama di pinggir pantai dengan angin sepoi-sepoi, pupus sudah.

Athirah belum juga bisa move on dari cerita Zainudin dan Hayati. Dalam perjalanan pun, ia masih menduga berbagai ending, dari yang paling bahagia hingga yang berakhir sedih dan tragis. Kalimat Haikal masih melekat di kepalanya, perihal Hayati yang ditelan lautan. Mungkinkah wanita itu memilih menceburkan diri ke lautan oleh restu yang terhalang? Boleh jadi benar boleh jadi salah.

“Sial!” umpat Athirah memukul stir mobil hingga berbunyi keras. Teman-temannya yang sedang pulas seketika terbangun dengan wajah panik bercampur kaget. “Ra, kita baik-baik sajakan?” tanya Okta. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya, sementara Athirah yang diliputi rasa kesal memilih diam tanpa ingin repot-repot menjawab pertanyaan Okta.

“Aku gantiin deh,” tawar Sadzam, laki-laki itu juga telah siuman. Sementara temannya yang lain memilih melanjutkan tidur begitu melihat keadaan baik-baik saja. “Menepi Ra,” titah Sadzam. Athirah tidak menggubris, ia tetap menyetir dengan tenang meski otaknya benar-benar tidak bersahabat. Dilema antara menonton dan tahu ending cerita itu atau menyimpulkan ending sendiri yang lebih manusiawi.

“Ra. Kalau ada masalah bilang. Jangan diam seperti patung. Kalau nabrak bagaimana?” ucapan Sadzam membuat kekesalan Athirah bertambah. Ia melirik spion sebelum mengerem mobilnya yang melaju dalam kecepatan yang bisa dibilang cukup berani di jalan raya pada siang hari seperti ini. Athirah memang gila.

“ASTAGFIRULLAH...,” teriak teman-teman Athirah ketika mobil itu berhenti mendadak dan mengalami guncangan yang cukup keras. Dengan wajah tanpa sesal, Athirah menertawakan teman-temannya yang terlihat shock. Termasuk Sadzam, menyesal telah mengatakan hal tersebut. Beruntung pengendara di belakang mereka berada cukup jauh, jika tidak, kisah mereka berakhir di sini.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel