Bab 12 Hanya Sebatas Senja
Bab 12 Hanya Sebatas Senja
Sejak pagi Athirah sudah duduk di depan laptopnya dengan raut wajah cemas. Bagaimanapun juga ia sangat berharap bisa lulus dengan jurusan pilihannya. Athirah akan memperjuangkan sampai titik akhir. Sesekali ia melirik jarum jam, menghitung menit dan detik waktu yang terus berputar. Di layar laptopnya belum juga ada tanda-tanda pengumuman keluar.
Begitu alarm di ponselnya berbunyi, Athirah segera mengetik situs web yang akan mengumumkan hasil kerja kerasnya. Harap-harap cemas Athirah mulai mengetik nomor-nomor yang diminta untuk bisa log-in email. Athirah mengigit bibir begitu layar laptopnya mulai memuat. Ada banyak harapan yang menggantung di benaknya. Ini perihal masa depan Athirah yang dicita-citakannya sejak SMA.
“Gagal,” Pengumuman seleksi tertulis akhirnya keluar. Ia mendesah pasrah dengan kedua pundak merosot. Semangatnya menguar begitu saja. Kekecewaannya cukup besar. Harapan yang sudah menggantung setinggi langit, merosot tanpa mampu ia tahan. Kecewa.
“Mengambil keputusan sendiri memang berat Ra, apalagi tanpa restu orang tua. Sangat-sangat susah. Kecuali takdir sedang berpihak padamu,” nasehat Denis. Laki-laki itu sudah duduk berjam-jam menemani Athirah menunggu hasil pengumumannya keluar. “Makan di luar yuk,” ajaknya. Ia segera beranjak dan meraih kunci mobilnya, meninggalkan Athirah yang belum juga ada pergerakan. Berkali-kali mengulang log-in untuk memastikan jika yang ia lihat benar-benar nyata.
Athirah berdecak kesal mendengar suara klakson mobil Denis yang terus berbunyi. Sepupunya itu memang unik. Kadang kala menjelma menjadi laki-laki yang sangat dewasa dengan nasehat-nasehatnya, lalu kembali menyebalkan seperti sekarang. Ia akan terus merecoki Athirah sampai gadis itu keluar, atau sampai tetangganya menegur karena ribut. Cukup. Athirah tidak ingin diomeli tetangganya lagi.
“Makan di luar juga percuma. Tidak akan ada yang enak sekalipun itu makanan mahal di restoran berbintang,” keluh Athirah. Ia segera menyambar jaketnya lalu menyusul Denis. “Bisa tidak sih kak, tidak usah bar-bar seperti ini,” omel Athirah begitu memasuki mobil Denis. Laki-laki itu bukannya minta maaf atau merasa bersalah, ia malah terkekeh seperti iblis.
*
“Macetnya awet yah Bun,” celetuk Denis setelah mereka tertahan di jalan selama berjam-jam. Athirah tidak ingin memberi komentar apapun meski Denis terus mengajaknya berbicara. Sepanjang jalan, pikirannya melayang pada hasil tesnya yang mengecewakan. Mungkinkah hasil tersebut ada campur tangan keluarganya. Athirah merasa kejanggalan tersebut. Bukankah uang bisa berbicara.
Athirah memijat pangkal hidungnya. Jika Denis terus merecokinya perihal ikhlas dan sabar, Athirah belum bisa mengamalkannya. Kepalanya hanya bertambah pusing dengan mood yang hancur berantakan. “Kakak gak curiga, Tetta selama ini diam aja padahal Ra sudah ikut tes itu?” kecurigaan Athirah terlalu beralasan. Ia yakin jika saudara dan orang tuanya sudah tahu apa yang telah dikerjakan gadis itu. Bukankah sejak ia tinggal di kota, ia tidak lagi memiliki privasi. Athirah melupakan satu hal itu.
“Curiga terus kamu Ra, kalau itu tidak terjadi bisa berubah fitnah loh itu,” Denis dengan santai menjawab kecurigaan Athirah. Mata gadis itu memicing, menatap Denis penuh curiga. Denis tidak mengkhianatinya bukan?
“Kalau kamu menuduhku berkhianat berarti kamu sudah berdosa dua kali,” mobil Denis sudah berhenti sempurna. Restoran mewah tersaji di depan mereka. “Kok Kakak tahu Ra curiga. Jangan-jangan benar yah?” Denis tertawa. Wajah imut Athirah terlalu menggemaskan jika mengambil peran seperti detektif. “Aduuuuh,” Athirah memukul tangan Denis yang menarik pipinya.
“Daripada sibuk curiga, sibuk berpikir yang tidak-tidak, ayo kita makan, kamu gak lapar sejak pagi sampai sore melototin laptop doang. Lagian nih Ra, masih ada jalur yang bisa kamu tempuh, yakin deh Tetta tidak akan membiarkan anak bungsunya menderita,” Athirah menatap Denis horor. Athirah merasa dibodohi. Gadis itu menatap kepergian Denis, sementara ia sendiri sama sekali tidak berminat untuk beranjak meski di depan adalah restoran favoritnya.
“Aku merasa dibodohi,” gerutu Athirah. Ia segera mengeluarkan ponselnya, menelepon Mamanya adalah keputusan yang tepat, selain Athirah bisa mendapat pencerahan, ia juga bisa menenangkan perasaannya.
Tok Tok Tok
Athirah yang sedang sibuk berbicara dengan Mamanya segera menoleh, Denis ada di sana, sepertinya laki-laki itu sudah tidak sabar menunggu Athirah yang memilih mengurung diri di dalam mobil. Denis segera membuka pintu Athirah, menyeret gadis itu memasuki restoran. “Ayolah Ra, kamu sudah segede ini, masa iya ngambeknya tambah parah,” Denis mendudukan Athirah di kursi yang telah disiapkan laki-laki itu sebelumnya. keduanya seketika menjadi pusat perhatian, layaknya sepasang kekasih yang sedang terlibat perkelahian. “Nah begini kan, enak.” Denis tertawa puas melihat wajah Athirah yang ditekuk masam.
**
Brak
“Jadi kamu tidak lulus Ra?” tanya Okta. Sepertinya laki-laki itu terlalu bersemangat hingga meja restoran menjadi korban. Laki-laki jangkung itu bahkan mengerahkan segala tenaga dan ilmunya untuk Athirah. Berbeda dengan Okta yang lulus di jurusan seni melalui jalur undangan, Athirah harus kembali gagal.
“Ya ... bagaimana lagi, Tuhan sedang tidak memihak padaku,” keluh Athirah. Okta mengangguk mengerti. Ia kembali duduk dengan tenang, laki-laki yang over semangat itu kadang membuat Athirah heran. Tidak sekalipun Okta menampakkan beban hidupnya, padahal laki-laki itu kehidupannya bahkan lebih memprihatinkan. Menjadi korban perceraian orang tuanya.
“Masih ada jalur mandiri Ra, tenang aja,” Okta menepuk pundak Athirah, memberi kekuatan pada gadis itu. “BTW, sejak kapan kamu dekat dengan Kak Haikal?” Athirah mengerutkan keningnya. Menurutnya tidak sedekat itu, mereka hanya sebatas senja dan malam. “Nah orangnya datang tuh.” Okta menunjuk arah kedatangan Haikal dengan mulutnya. Sepertinya bagian ini tidak direncanakan. Athirah hanya meminta Okta untuk menemaninya makan di restoran, hanya berdua.
“Kok diajak si Ta,” Athirah menyikut Okta. “Hay, gadis tanpa nama,” sapa Haikal. Athirah memutar bola matanya malas. Pertemuan seperti ini tidak pernah terencana dalam benaknya. Lagipula, ngapain juga Okta mengajak sepupunya itu, bukankah dia seharusnya sedang menjaga pantai di Tanjung Bira?
“Sepertinya Hayati sedang tidak dalam mood yang baik,” Haikal terkekeh, ia mengambil duduk tepat di depan Athirah sedang Okta berada di sebelah kanan laki-laki itu. “Jangan terlalu sering cemberut, kasihan yang lihat, tidak bisa menikmati senyum kamu. Senyum itu ibadah loh,” Athirah mendengus, rupanya Haikal seorang lelaki penggombal ulung.
“Ta, sepertinya aku harus pulang,” Athirah melirik jam tangannya. “Aku ada janji dengan kak Denis,” bohong Athirah. Nyatanya ia hanya tidak ingin berlama-lama duduk satu meja dengan Haikal. Entahlah, ada sesuatu yang tidak ia suka dalam dirinya setiap kali bersitatap dengan laki-laki itu. Athirah ingin pulang.
“Lah, Ra. Bukannya tadi kamu bilang setelah ini tidak ada acara lagi,” Athirah mengumpat. Okta sialan. Bisa-bisanya ia tidak mengerti dengan kode Athirah. “Tidak apa-apa kalau ada acara lagi, sebentar lagi juga saya cabut,” santai Haikal. “Oh ya, pesawatnya berangkat jam berapa?” Okta beralih pada Haikal. Sementara Athirah duduk kembali, ia penasaran dengan percakapan kedua laki-laki itu. bukankah Haikal adalah penjaga pantai bira? Lalu, ke mana laki-laki itu akan pergi?
“Loh, katanya mau pulang Ra?” Athirah mendumel kesal, harus berapa kali ia mengumpati Okta yang benar-benar tidak mengerti situasi. “Aku pulang,” Athirah tidak lagi menoleh, terlalu kesal dengan Okta.
Sepanjang jalan, Athirah masih memikirkan perkataan Okta, “Kamu masih bisa mendaftar sekali lagi Ra,” Athirah mendesah pelan, masalahnya tidak semudah itu. Rumit jika berada di posisi Athirah. Tentu saja, hanya murkah orang tua yang akan ia dapatkan. Athirah yang awalnya berniat untuk pulang, memilih berbelok ke arah kampus sepupunya, Denis. Ia akan berjalan-jalan sebentar di taman, barangkali isi kepalanya bisa sedikit disegarkan.
Athirah tidak langsung turun dari mobilnya, ia memilih membenamkan kepalanya di setir mobil, sesulit itukah menerima kenyataan. ‘Ra, Tuhan sedang merencanakan yang lebih indah dari ini,’ pergolakan batin terus melanda kepala gadis itu. setengah ingin menerima dan ingin berjuang lagi. Athirah ingin menangis rasanya.
Tok tok
Athirah mengangkat kepalanya, menatap ke arah kaca mobil, ada Haikal di sana. Athirah segera menurunkan kaca mobilnya. Haikal, laki-laki itu mengulurkan gulungan kertas padanya, tanpa sepatah kata sebelum meninggalkan Athirah dengan ekpresi heran bercampur kaget.
***