Bab 13 Tak Bisa Dibantah
Bab 13 Tak Bisa Dibantah
Athirah kembali harus menelan pil pahit sebuah kenyataan. Ketika ia hendak mendaftar kembali di PTN, Athirah harus menghadap kedua orang tuanya. Biaya kuliah kali ini tidak main-main, tabungannya tidak akan bisa menopang untuk tiga semeter ke depan. Terlebih jalur yang akan ia tempuh adalah jalur terakhir masuk PTN, di mana uang bermain dalam jalur tersebut. Jalur mandiri, adalah jalur yang mau tidak mau harus gadis itu tempuh atau ia harus menunggu tes tahun depan.
Berbekal motivasi dan kata-kata penyemangat dari Okta, Athirah memberanikan diri menghadap kedua orang tuanya. Jika Okta yang kedua orang tuanya sudah bercerai saja, bisa mendapat dukungan keduanya, mengapa Athirah tidak bisa, sedang keduanya masih utuh. Itu yang selalu menjadi motivasi untuk Athirah.
Sore itu, kedua orang tua Athirah datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Biasanya mereka akan menelpon Athirah dan menanyakan buah atau sayur apa yang ingin dimakan Athirah, kali ini tidak ada pemberitahuan sama sekali, pun mobil orang tuanya kosong dari buah dan sayur seperti biasa.
“Kok tidak menelepon dulu Ma?” tanya Athirah setelah menyuguhkan kopi untuk ayahnya dan teh untuk sang ibu. Kue bolu coklat terhidang di meja, Athirah baru saja membelinya ketika keluar tadi pagi untuk olah raga di taman kota. Athirah kemudian ikut duduk dengan secangkir madu hangat.
“Ini, Kifli mengabari ke Tetta kalau ada undangan penting yang harus dihadiri besok pagi, berangkatnya buru-buru, Mama sudah tidak sempat membawah sayur dan buah,” jelas Mama Athirah. Sebenarnya tidak ada masalah bagi Athirah, ia bisa mendatangi toko dan membeli beberapa buah segar yang tiga hari sekali di perbaharui.
“Tidak apa-apa Ma, yang penting tiba dengan selamat,” balas Athirah. Ia belum berani menatap Ayahnya, ada perasaan ragu dan bimbang di hatinya. Athirah tidak tahu harus memulai dari mana percakapan yang bisa membuat mereka akur.
“Bagaimana dengan urusan kampusmu? Kata Denis beberapa hari lagi jalur mandiri akan dibuka,” Deg. Athirah tidak berkutik. Ia belum mempersiapkan kalimat indah yang bisa meluluhkan hati Ayahnya. “Pilihlah yang bisa membuatmu nyaman dan kamu sukai,” Ainun mengusap kepala anaknya dengan sayang. Perlakuan lembut Mamanya membuat Athirah selalu luluh. Entah bagaimana Mamanya bisa mendapat jodoh sekeras Ayahnya. Bukankah seharusnya sang Mama juga mendapat jodoh yang memiliki sifat lembut seperti itu, entahlah konsep jodoh selalu membingungkan.
“Tetta harap kamu tidak salah pilih jurusan lagi. jangan membuat malu keluarga dengan jurusan aneh yang kamu pilih,” lagi-lagi Athirah hanya bisa meneguk salivanya tanpa tahu harus mengeluarkan kalimat apa. Terlalu larut untuk berdebat. “Sebaiknya Tetta istirahat dulu, kita bisa membahas masalah ini besok saja, biarkan Athirah berpikir dulu.” Ainun segera menuntun suaminya menuju kamar setelah cangkir mereka kosong. Athirah mendesah lega. Selanjutnya ia butuh konsep yang matang, jika perlu Athirah akan mempresentasikan segala prestasi seninya di sekolah dulu.
“Kamu pasti bisa Ra,” bisik Athirah sebelum beranjak untuk tidur. Semoga esok hari bahagia berpihak kepadanya. Athirah berserah pada Tuhan. Apapun itu, Athirah yakin baik untuknya. Athirah hanya perlu berjuang sebelum memasrahkan diri menerima takdir Tuhan.
*
“APA!” Athirah memejamkan mata mendengar suara Ayah, menggelegar bak petir di siang bolong. Athirah sudah memikirkan segala konsekuensi yang akan ia terima jika tetap keukuh pada pendiriannya. “Biarkan Athirah memilih sekali saja, Tetta,” pinta Athirah berusaha menahan tangisnya.
“Tidak! Harus berapa kali Tetta katakan jika kamu hanya punya tiga pilihan. Kedokteran, Sospol, dan Hukum. Di luar jurusan itu, Tetta angkat tangan dengan biaya kuliahmu!” Untuk kesekian kalinya Athirah memelas mengajukan pilihannya. Namun, sang Ayah lagi dan lagi menolak mentah-mentah tanpa ingin tahu seberapa bahagia putrinya akan menjalani segala tuntutan yang harus ia jalani. Ia bahkan mengeluarkan kartu pamungkasnya, tidak akan membiayai pendidikan Athirah jika tidak mengikuti kemauan sang Ayah. Athirah bisa apa?
Ada tiga pilihan jurusan yang harus Athirah pilih dan seni tidak masuk dalam pilihan tersebut. Kedokteran, Sospol dan Hukum. Athirah harus memilih salah satu dari tiga pilihan tersebut. Jika tidak, Athirah harus siap putus sekolah dan keputusan terseramnya, ia bisa saja dinikahkan di usia belia. Athirah tidak ingin hal itu terjadi. Di kepalanya sudah tertanam jenjang pendidikan yang harus ia raih sebelum memikirkan pernikahan. Baginya, menikah tanpa bekal ilmu sulit membina rumah tangga sendiri.
“Tetta selalu seperti itu, egois,” tutur Athirah dengan suara serak. Ainun tidak tahu harus memihak pada siapa, ia terus memegang tangan suaminya agar tetap tenang. “Tetta pikir kamu sekolah tinggi agar bisa mendapat didikan lebih baik, ini yang kamu pelajari dari sekolah,” Athirah menggeleng, semua sikapnya tidak ada sangkut pautnya dengan sekolah. Ia hanya capek hidup dengan penekanan, bak boneka, akan bergerak jika tuannya angkat tangan menggerakkan.
“Athirah selalu mengikuti keinginan Tetta, bahkan sekolah impian Athirah harus lepas demi sekolah di tempat yang menurut Tetta cocok untuk Athirah. Nyatanya, Athirah harus menjadi orang lain selama tiga tahun,”
“Pilih salah satu dari tiga jurusan itu, jika tidak..., siap-siap Tetta jodohkan dengan anak teman Tetta,” setelah mengucapkan keputusan tersebut, laki-laki itu segera meninggalkan rumah, menyisakan Ainun dengan tatapan menghiba. Ingin sekali perempuan itu membela puterinya, hanya saja jika ia melakukan itu perang dunia ketiga bisa saja pecah. Ainun tidak ingin memperkeruh suasana, lebih baik ia diam dan membiarkan salah satu dari mereka mengalah.
“Ma, Mama bisa membantu Athirah kan?” pinta Athirah dengan wajah memelas, rabun di matanya mulai meluruh. Ainun menarik puterinya, merengkuhnya hangat. “Sekali saja, Athirah ingin seperti teman-teman Athirah, Ma,” gadis itu sesegukan dalam pelukan Mamanya. Pilu hati Ainun mendengar tangisan puterinya. “Maafkan Mama,” tutur Ainun, tangannya terus mengelus punggung Athirah.
“Mama yakin, Tettamu sedang mempersiapkan masa depanmu dengan baik. Cobalah memilih salah satu dari jurusan itu, jika tidak nyaman, Athirah boleh berhenti,” Berhenti? Athirah tidak akan menjadi pecundang. Sekali basah, tidak akan pulang jika belum basah dan kering kembali.
“Tapi Ma, Athirah ingin jurusan seni, kenapa susah sekali meyakinkan Tetta?” Ainun melepas pelukannya, memegang kedua pundak Athirah dengan erat. “Dengarkan Mama, Tetta tidak akan mengusulkan sesuatu jika tidak baik untuk kamu, untuk kita semua, sekarang Mama sarankan Athirah salat istikharah, minta petunjuk kepada Allah, ingat Ra, kita tidak boleh gegabah dalam memutuskan sesuatu. Serahkan semuanya pada Allah.” Sungai mengalir deras di kedua pipi gadis itu. Entah sudah berapa lama ia tidak menangis seperti ini.
Athirah menyerah atas air matanya. Ia kembali dalam pelukan Ainun, mencoba mencari ketenangan dan rasa aman. Lelah menangis, akhirnya Athirah memilih untuk tidur. Hari esok akan panjang dengan pilihan juga keputusan terbaik dari Athirah. Jika boleh ia akan menawar sekali lagi. Biarkan ia egois sekali saja.
“Sudah memilih?” Ainun yang sedang memandang wajah sembab putrinya menoleh, tangannya yang sedang sibuk mengelus rambut Athirah berhenti bergerak. Ainun menggeleng, kembali menatap Athirah dengan perasaan berkecamuk. Masalah Athirah lebih rumit dari masalah kedua kakaknya dulu. Suaminya selalu keras, ia bahkan tidak membedakan antara putra dan putrinya. Perlakuannya dipukul sapurata.
“Jangan terlalu dimanjakan.” Ainun menatap suaminya sendu. “Tetta yang terlalu keras padanya, bagaimanapun juga, Athirah anak perempuan kita satu-satunya. Harusnya Tetta mendengar keinginannya sedikit saja.” meski Ainun diajarkan untuk tidak melawan suaminya, ujung kesabarannya tercubit. Athirah anak perempuan, mentalnya berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya.
“Jika tidak seperti ini, Athirah akan terbiasa melawan dan memaksa kehendaknya sendiri, biarkan saja seperti itu, nanti akan baik sendiri.” Ainun menggeleng mendengar alasan suaminya. Benar suaminya memiliki watak yang keras dan tidak ingin orang lain melawannya. Dibesarkan dalam lingkungan yang keras membentuknya menjadi laki-laki yang terus menekan putra dan putrinya, mendidiknya layaknya ia di masa kecil.
“Coba sekali lagi menuruti keinginan Tettamu yah, Sayang?” Ainun kembali menatap wajah Athirah, menjatuhkan kecupan di kening putrinya, sebelum meninggalkan kamar itu. Berapa kali negosiasi dilakukan, laki-laki itu tidak akan mengalah atas pilihannya.
***