Bab 3 Malam Sakral
Bab 3 Malam Sakral
Berada sendirian di pojok adalah hal yang paling Athirah sukai ketika menghadiri acara keluarga seperti ini. Terbiasa hidup di kota sejak menginjak bangku SMP membuat hubungannya dan keluarga besar merenggang. Di sudut lain, nampak beberapa gadis seumuran sedang duduk bergurau. Athirah sendiri sibuk dengan ponsel di tangan. Khas anak kota, mau bagaimana lagi, ia tidak mengenal banyak orang di sini.
Selama ini, Athirah selalu cuek dengan acara-acara keluarga yang digelar. Seperti yang kalian ketahui, gadis itu jarang pulang ke rumah. Sibuk menikmati dunia sendiri. Jika rindu mendera, Ayah dan Ibu yang akan datang menemuinya di kota.
Bosan. Sejak tiba di rumah pengantin, Denis tidak juga menampakkan diri. Sesekali Athirah melirik para ibu yang sedang mempersiapkan acara sakral yang akan digelar malam ini. Manre Ade’ (makan adat) dan malam Mappaccing (malam penyucian) wajib dilakukan sebelum digelar akad nikah. Nampan-nampan berisi berbagai jenis lauk dan makanan telah tersusun dengan rapi di sudut ruangan. Menunggu pemerintah dan pemuka adat untuk duduk di tempat yang telah disediakan maka nampan tersebut akan diletakkan di depan masing-masing.
“Ini Athirah yah?” Athirah mengangkat kepala dari menatap ponsel di tangan. Matanya memicing berusaha mengingat perempuan yang duduk di sampingnya. Pakaiannya glamour, khas para sultan yang sering ia temui di pesta-pesta seperti ini. Pakaian adat bugis dengan kalung, gelang dan cincin emas yang sengaja dipertontonkan. Sudah menjadi pemandangan biasa dalam keluarga mereka.
“Pasti kamu tidak kenal tante, kan?” tanyanya dengan aksen bugis yang kental. Athirah mengangguk, sejak kecil ia jarang bergaul, mengikuti acara keluarga pun sangat jarang, hingga akhirnya memutuskan untuk sekolah di kota saja. Semakin rengganglah silaturahim antara mereka.
“Saya tante kamu, istri dari Etta Paruki, saudara Ettamu,” jelasnya membanggakan diri. Senyum yang tersungging sangat jelas, jika ia ingin memperkenalkan dirinya sebagai bagian dari keluarga besar Athirah yang terpandang.
“Istri kedua?” tanya Athirah. Seingat gadis itu, istri dari pamannya sudah meninggal ketika Athirah memasuki jenjang SMA. Wanita itu luntur senyumnya, Ia mengangguk dengan wajah sedikit sebal. Mungkin tidak terima jika posisinya memang sebagai istri kedua, padahal tidak ada yang salah dalam hal ini. Bukankah jodoh dan maut telah digariskan Tuhan?
“Tante tinggal dulu yah, mau bantu ibu-ibu yang lain, tidak enak berlama-lama duduk di sini, sementara yang lain sedang sibuk.” Ada nada menyindir dari kata-katanya. Athirah tersenyum kikuk, meski demikian.
Gadis itu kembali larut dalam ponselnya, membalas beberapa pesan yang masuk ke akun media sosial. Beberapa teman menyalahkan kepulangan Athirah karena pulang tanpa mengajak mereka. Mereka selalu merengek untuk berkunjung ke desa itu. Katanya sejuk dan segar, berbeda dengan kota. Polusi di mana-mana.
“Athirah, bantu Mama yuk!” Ajak sang Mama. Athirah segera bangkit. Membantu Mamanya sama saja dengan bergabung bersama Ibu-Ibu lain, ada sedikit ragu dan khawatir. Menghela napas sebelum berdiri dan mengekor Mama menuju ruangan yang lain.
“Ma, bagaimana jika Aku pulang saja?” tanya Athirah mulai risih dengan tatapan yang terus menghujam ke arahnya. Mamanya hanya tersenyum menepuk pundak anak gadisnya itu. Wanita itu tidak pernah memaksa apapun terhadap Athirah. Sangat jelas terlihat jika bahu gadis itu merosot, ia tahu jika sang Mama tidak melarangnya untuk pulang, hanya saja, Athirah tidak ingin membuat suasana semakin rumit dan mengecewakan Mamanya.
“Hey gadis manis, Kau tidak ingin memeriahkan malam pengantinku?” tanya Rahmat. Ia yang akan menjadi raja selama pesta berlangsung tiga hari berturut-turut. Athirah memutar bola matanya dengan malas. Biang kerok kepulangannya sudah datang. Rahmat dengan sifatnya seperti biasa merangkul Athirah yang hendak mengekor Mamanya ke dalam.
Dirangkul seperti itu, Athirah hanya bisa mendesah pasrah. Rahmat memaksa untuk duduk menemaninya, sebelum acara adat dimulai. Ia adalah sepupu yang paling akrab dengan Athirah, mereka sering meet up bersama di kota. Rahmat adalah mahasiswa S2 di kota yang sama dengan Athirah. Ia terlihat tampan dengan baju bodo (baju adat Bugis) berwarna hijau menawan. Warna yang menyimbolkan kedudukan keluarga yang dihormati. Warna sakral bagi keluarga bangsawan.
**
Keramaian semakin menjadi ketika para Pemerintah Desa mulai berdatangan. Rumah yang awalnya terasa luas berubah sesak. Tidak hanya Pemerintah Desa, pemuka agama, juga dari kaum pemuda dan tokoh masyarakat turut serta memeriahkan makan adat yang akan segera dilangsungkan. Baik di dalam rumah, maupun di bawah tenda resepsi ramai oleh orang-orang yang terus berdatangan entah dari daerah mana saja.
Athirah segera pamit pada Rahmat, kali ini laki-laki itu tidak lagi menahan Athirah, acara akan segera di mulai. Nampan-nampan berisi berbagai jenis makanan mulai diletakkan di depan masing-masing pemerintah. Isinya berbagai jenis lauk-pauk. Di susul dengan mangkuk besar berisi nasi berlapis piring yang lebih besar berpasangan dengan gelas-gelas khusus berlapis nampan yang lebih kecil serta sapu tangan seragam. Semua tersusun secara rapi di depan tujuh orang pemuka agama dan Petinggi Desa.
Selanjutnya disusul dengan nampan lain, isinya tidak jauh berbeda, hanya saja peletakannya sudah tersebar di depan orang-orang yang telah berjejer rapi. Sementara yang berada di luar ruangan dipersiapkan prasmanan, telah disediakan meja berisi nasi beserta lauk pauk yang bebas untuk mereka ambil. Begitu Kepala Desa mulai makan, yang lain pun ikut menyusul. Semuanya tidak luput dari kaca mata Athirah. Adat yang masih dipertahankan secara kental dan turun temurun.
Acara berlangsung meriah, setelah makan adat dilakukan, selanjutnya acara khataman Alquran yang dirangkaikan oleh pembacaan barasanji, acara ini dilakukan oleh sang mempelai dituntun oleh salah seorang pemuka agama. Acara terakhir adalah acara Mappacing atau penyucian.
Acara yang selalu disakralkan oleh orang Bugis, dan menjadi rangkaian wajib dalam setiap pernikahan. Beberapa cawan berisi bedak, minyak wangi dan entah apa lagi yang ada dalam enam cawan kecil yang mengelilingi cawan yang lebih besar tersebut, tidak hanya itu, ada mangkuk besar berisi beras dan mangkuk berisi daun sirih dan air telah ditata dengan rapi. Sarung-sarung tenun mengkilap dan berlapis-lapis dimana lapisan terakhir diletakkan daun yang telah dirangkai melingkar, entah daun apa namanya.
Sang mempelai akan meletakkan tangannya di atas daun tersebut, lalu satu persatu pemuka adat maju bersama istri mereka, mengikuti ritual mappacing. Ini yang paling ribet dari pengamatan Athirah. Mereka harus menyentuh semua cawan yang telah disediakan. Sepertinya sisir dan cermin luput dari penglihatannya tadi. Athirah tidak berhenti memperhatikan kerumitan dari acara adat tersebut.
“Athirah, ayo maju juga.” Gadis itu sedikit terdorong kedepan, entah siapa yang berani memintanya untuk maju. Athirah menggeleng dengan keras menahan badannya agar tidak oleng dan menimpa tamu lain.
“Aku tidak bisa Om,” tolaknya sopan. Bukan bercanda, Athirah benar-benar tidak tahu cara melakukannya. Rahmat menolah dan tersenyum padanya, Athirah hanya bisa menggeleng menolak setiap dorongan yang datang.
“Nanti akan Om arahkan, ayo maju biar cepat nyusul,” kata salah satu omnya. Athirah kembali menggeleng. Menikah cepat bukan yang ia harapkan. Ia ingin menyelesaikan segala rangkaian studinya dulu sebelum memikirkan pernikahan. Semuanya sudah direncanakan dengan baik oleh gadis itu.
“Benar Athirah, lihat sepupumu yang lain, sudah pada menikah semua, kamu kan sudah lulus juga, sudah bisa menikah. Kamu tidak iri melihat mereka sudah bersama suami dan anak-anak mereka?” Kata salah seorang perempuan bertubuh langsing bak gitar Spanyol. Athirah yakin dia anggota keluarga baru dalam keluarga mereka.
“Benar sekali, anak-anak yang lain langsung menikah setelah lulus SMA, terutama perempuan, tidak baik perempuan menikah diusia yang terlalu tua. Lagi pula kodrat perempuan sudah ditentukan, meski sekolah tinggi ujung-ujungnya berakhir di dapur juga.” Sambung wanita lain. Athirah tidak setuju dengan pendapat tersebut. Bukankah menjadi seorang ibu butuh pendidikan juga? Ibu adalah madrasah pertama dalam keluarga. Mereka juga membutuhkan ilmu yang memadai untuk mendidik anak-anaknya kelak.
“Benar itu Bu, anak Saya dia baru berumur 20 tahun, sudah punya anak satu, gadis-gadis lain di desa kitakan seperti itu yah, tamat SMA langsung menikah. Bagaimana Athirah, di kota punya pacar kan? Jangan lupa kenalkan ke keluarga, Ya kan Ibu-Ibu,” Athirah memilih diam. Ini yang paling tidak disukainya dalam setiap acara keluarga. Membanding-bandingkan. Gadis itu hanya bisa menghela napas sambil mengelus dada.
“Ma, Ra bantu yah,” ujar Athirah cepat melihat Mamanya sibuk mengangkat nampan berisi makanan. ingin sekali rasanya gadis itu pulang dan tidur, ia sudah tidak tahan berlama-lama di sini. Terlalu menyebalkan.
Setelah membantu Ibu, Athirah segera keluar menuju teras, menikmati angin malam yang terlampau dingin untuk orang-orang yang baru tiba di desa tersebut.