Bab 2 Dua Kubu Berbeda
Bab 2 Dua Kubu Berbeda
Pagi menyingsing, Athirah merapatkan jaket tebal yang sedari tadi memeluknya dari rasa dingin yang menusuk hingga tulang. Athirah sudah terbiasa bangun subuh, berkat didikan orang tuanya, Athirah tumbuh menjadi gadis yang taat dan agamis. Tetapi pagi kali ini berbeda, ia disapa oleh dingin yang menyeruak. Berbeda ketika berada di kota, paginya akan disambut oleh udara hangat kota. Penuh polusi dan tidak sehat sama sekali.
Setelah membantu Mama di dapur menyiapkan sarapan, Athirah segera makan dan kembali ke kamar untuk bergelud dengan selimutnya. Sesekali mengintip dari jendela kegiatan para pekerja yang sedang bersiap-siap untuk ke ladang.
Tidak jarang dari mereka yang memilih tidur di kediaman Athirah, kamar-kamar khusus untuk para pekerja yang ingin menginap disiapkan seperti kamar-kamar lain. Keluarga Athirah sangat menghargai orang-orang yang bekerja padanya, mungkin inilah yang menyebabkan rumah Athirah tidak pernah sepi.
“Ra. Ngeteh yuk.” Ajak Kakak Iparnya. Athirah dengan malas bangun dan berjalan ke teras, melihat keramaian di luar, ia terpaksa mengurungkan niat untuk duduk di sana. Bangku-bangku yang tersedia sudah penuh. Bahkan ada yang lesehan di lantai. Beruntung lantainya terbuat dari kayu sehingga mereka tidak kedinginan. Kopi dan cemilan menyertai pagi mereka, obrolan-obrolan ringan turut menghangatkan pagi yang dingin.
“Kok masuk lagi? Katanya mau duduk di luar. Ini Kakak sudah bawa tehnya loh Ra.” Athirah menggaruk tengkuknya. Ia malu jika harus bergabung dengan orang-orang yang ada di luar. Selain karena tidak akrab, Athirah juga tidak begitu nyaman dengan asap rokok. “Di luar banyak orang Kak.” Kakak iparnya tetap melangkah dengan mantap, seakan pemandangan tersebut sudah biasa untuknya.
“Ra! Sini deh.” Teriakan dari kakak iparnya membuat Athirah terpaksa memutar arah. “Tenang Ra, hanya sebentar.” Athirah menyemangati dirinya sendiri. Begitu mencapai teras, Athirah menatap Kakak Iparnya takjub. Ia nampak akrab dengan orang-orang yang ada di sana, bergabung tanpa rasa canggung. Sesekali ikut tertawa mendengar guyonan bapak-bapak dan para pemuda desa.
“Eh, rupanya Andi Athirah juga pulang, sudah lama sekali tidak berkunjung ke kampung.” Pungkas seorang bapak-bapak bertopi rajut. Athirah menyunggingkan senyumnya. “Biasa Pak. Hidup di kotakan enak, bedan dengan Desa. Jalanan masih seadanya, sinyal kurang bagus, mana tidak ada mall di sini. Kalau di kota semuanya sudah canggih. Bahkan sekarang, katanya sudah bisa memesan makanan lewat online. Tinggal duduk manis memencet hp kita sudah bisa makan.” Timpal seorang laki-laki yang umurnya kira-kira tidak jauh berbeda dari Athirah.
Athirah tidak bisa menampik hal tersebut, hanya saja, ia tidak semanja itu dengan terus menerus memakan makanan yang dipesan melalui aplikasi online. Athirah lebih suka memasak sendiri. “Oalah, pantas saja orang-orang betah di kota yah. Mereka tidak merasakan penderitaan sebagai petani sih. Pergi pagi pulang sore. Mana harus siap dengan hujan dan kemarau. Nasib kita tidak sebaik mereka.” keluh seorang bapak-bapak dengan rambut yang mulai beruban.
“Enakan tinggal di desa pak, kita masih bisa menghirup udara sejuk seperti ini, ngopi sama-sama, bisa ke kebun dan gotong royong. Lah, di kota, sama tetangga saja tidak kenal. Bagaimana Andi Athirah, benar toh apa yang saya katakan?” Athirah hanya tersenyum sebagai jawaban pembenaran dari laki-laki itu.
Sepertinya ada dua kubu dalam percakapan pagi ini. Ada yang pro terhadap kehidupan kota yang katanya serba enak dan ada yang mempertahankan hijau desa. Athirah tidak memusingkan hal tersebut ia sibuk menyeruput tehnya dengan cepat. Ia merasa hidup di kota tidak seindah bayangan bapak yang duduk di antara mereka. Pelik dan pilu.
**
“Hey gadis manja.” Athirah menoleh dan memutar bola matanya dengan malas. Di sana, di ujung tangga sedang berdiri laki-laki yang ingin sekali ia tenggelamkan ke dasar laut, Denis. Sepupunya yang terus memasang wajah kemenangan karena berhasil melihat Athirah menginjakkan kaki di desa. Padahal Athirah sudah pernah berjanji akan pulang jika studynya berhasil. Menjengkelkan sekali.
“Pagi-pagi tuh, senyum Ra. Gak manyun-manyun kayak gini.” Athirah tidak ingin meladeni laki-laki ini. ia sibuk dengan ponselnya, membaca beberapa soal ujian masuk PTN yang akan ia jalani sebentar lagi. “Jalan yuk. Biar gak bosan.” Ajakan Denis benar-benar tidak menarik kali ini. Athirah tidak ingin repot-repot membuka mulut untuk menjawab tawaran Denis. Laki-laki itu kembali tertawa. Ia sangat tahu jika saat ini Athirah benar-benar kesal padanya. Sedang dalam mode ogah-ogahan.
“Ra, ngambeknya udahan dong. Masa gara-gara pulang Kampung doang, kamu sampai mogok bicara. Gak asik banget.” Keluh Denis. Denis adalah salah-satu sepupu Athirah yang sangat bisa diandalkan selama mereka tinggal di kota, selain Rahmat tentu saja. kalau kedua saudaranya, mereka terlalu sibuk dengan keluarga masing-masing. dan sialnya lagi, Rahmat akan menikah, itu berarti Athirah kehilangan satu personil yang bisa ia repotkan kapan saja.
Denis ikut mendudukan dirinya di samping Athirah. Gadis itu benar-benar marah. Dengan iseng, Denis mengintip layar ponsel Athirah, mengulurkan tangannya untuk mengganggu konsetrasi sepupunya, sayang Athirah tahu pergerakan Denis. Ditariknya tangan tersebut lalu digigit tanpa belas kasih oleh Athirah.
“Argghhh..., Ra. Kamu mau bunuh aku. Ya ampun sakit banget lagi.” Denis menatap tangannya dengan nanar. Bekas gigi Athirah menyisakan bekas kemerahan di sana. “Makanya jangan usil.” ujar Athirah tanpa rasa bersalah. Gadis itu benar-benar ingin menyiksa Denis, meluapkan emosinya yang nyaris meledakkan kepalanya sendiri. Athirah terus menjadi bahan pembicaraan di grup chat keluarganya sebelum ia mengambil keputusan untuk pulang. benar-benar mimpi buruk.
Denis masih setia dengan akting kesakitannya. Athirah lupa jika laki-laki itu adalah anggota sanggar seni teater di kampusnya. Plak. “Udah dong. Lebai banget.” Mata Denis melotot, ia tidak menyangka jika Athirah kembali menghadiahkan geplakan ke tangannya. Athirah tertawa puas melihat wajah Denis yang congek. Tanpa banyak bicara lagi, Athirah beranjak dari kursi dan masuk ke kamarnya mengurung diri. Rupanya bendera perang dari pihak gadis itu masih berdiri kokoh.
**
Athirah benar-benar tidak dalam mood yang baik. Keputusan untuk pulang sepertinya sangat-sangat salah. Bukannya mendapat ketenangan, ia malah semakin terbebani. Siang tadi, ia tidak sengaja mendengar percakapan ibu-ibu di dapur mengenai dirinya yang pemalas dan manja.
Jika boleh, ingin sekali Athirah unjuk kebolehan di depan ibu-ibu tersebut. sungguh, Athirah tidak pernah meminta untuk lahir dalam keluarga ini. Kenapa hanya ia yang terus mendapat cibiran. Bahkan orang-orang sampai membandingkan Athirah dengan kedua kakaknya. Sebuah tekanan batin yang cukup besar.
Athirah tidak ingin lebih banyak membebani kepalanya dengan orang-orang yang terus menggosipkannya. Ia sedang mempersiapkan kepalanya menerima materi ujian yang akan digelar beberapa bulan lagi. Sekarang, semua menjadi kacau.
“Ra. Siap-siap yah, kita berangkat ke rumah Om kamu sebentar lagi.” Athirah melirik jam dinding ketika mendengar suara Mamanya. “Mama kapan pulangnya?” Athirah melompat dari kasur dan menemui sang Mama. Bukankah Mamanya sudah berangkat dari tadi?
“Ini, mau jemput kamu. Kalau Mama gak jemput, Mama yakin kamu ngarang-ngarang alasan lagi biar tidak datang. Sana cepat mandi.” Athirah mengerucutkan bibirnya. “Oh ya, katanya kamu gigit Denis?” Athirah mendengus. Sepertinya Denis benar-benar mengibarkan bendera perang padanya.
“Ma, berangkatnya malam aja yah. Kan acaranya nanti malam. Nanti nyusul deh, seriusan.” Athirah memasang wajah memelas. Ia tidak ingin ribut di pesta hanya karena akting Denis yang berlebihan. Sudah dipastikan jika Athirah akn kembali menjadi pusat perhatian.
“Tidak Ra. Mama akan menunggu kamu. Sana cepat mandi.” Kedua pundak Athirah merosot, bujuk rayunya pada sang Mama gagal total. Dengan langkah lesu Athirah memasuki kamarnya. Sebuah ide terbesit di kepalanya. Biarkan ia mandi lebih lama dari biasanya. Athirah menyeringai.
**
Mandi lama yang dicita-citakan Athirah, hanyalah angan-angan semata. Baru saja ia menginjak keramik kamar mandi, dingin sudah menerpah seluruh tubuhnya. Mandi kilat adalah jurus jitu yang bisa ia lakukan. Meski di luar panas, tetap saja, mandi dalam kamar tertutup seperti ini menciptakan sensasi dingin yang luar biasa. Terlebih di sini tidak ada pilihan temperatur air. Athirah harus bersabar mengguyur tubuhnya dengan air pegunungan asli yang dinginnya sangat-sangat menguji nyali.
“Ra. Mama menunggu kamu.” Athirah menghela napas. Kali ini ia tidak bisa lolos seperti pagi tadi. Ia segera mengenakan pakaian yang paling nyaman dan tebal. Biar bisa bertahan hingga malam hari.
Athirah terkekeh ketika melihat Mamanya sudah berganti pakaian, sedang menunggunya di ruang tamu. “Yuk, Ma.” Athirah segera memeluk lengan Mamanya, berjalan bersisian menuruni tangga sebelum menapak ke tanah.
Athirah seketika gugup ketika langkah mereka semakin mendekati kerumunan. Sebuah terowongan memanjang dengan tenda biru menyambut kedatangan mereka. langkah Athirah semakin berat seiring dengan jarak mereka yang semakin terkikis. Athirah menghela napas banyak-banyak. menenangkan dirinya untuk terlihat baik-baik saja. “Cukup menutup telinga dan menjaga matamu Ra.”
***