Bab 1 Pulang
Bab 1 Pulang
Seorang gadis berparas ayu dengan mata sipit berhias bulu mata lentik, sedang menatap nanar pantulan diri lewat kaca yang ada di depannya. Kulitnya yang putih pucat menonjolkan pipi merona dengan sepasang lesung pipi menjadi pelengkap di sisi kanan dan kiri hidungnya yang mancung. Beberapa kali menghela napas, dengan bahu merosot bersandar ke kursi. Belum ikhlas menerima keputusannya sendiri.
Setelah dibujuk selama berhari-hari, akhirnya gadis itu turut serta pulang ke kampung halamannya. Ia tidak membenci kampung halamannya. Tidak! Ia hanya tidak menyukai jika hidup tenangnya terusik oleh pedasnya omongan tetangga yang belum memiliki rem alami maupun buatan.
Wajahnya kini ditekuk masam. Menghela napas berkali-kali, merutuki keputusannya yang terburu-buru. Ia terjebak ocehan Denis dan tidak tega oleh bujukan Rahmat. “Semangat Ra. Abaikan saja omongan tetangga. Kamu pasti bisa.” Athirah mencoba berdialog dengan dirinya sendiri. Pandangannya lurus, matanya menatap lekat pantulan di dalam cermin, berusaha memotivasi diri sendiri.
Tas ransel kecil berisi beberapa benda sakral untuk merawat diri sudah aman dalam jinjingan. Ia tidak perlu repot membawa baju dan perlengkapan lain, toh ia akan pulang ke rumah orang tuanya. Ada banyak pakaian di sana.
“Siap Ra?” tanya Kifli, Kakak keduanya yang juga tinggal di kota yang sama dengan Athirah. Bedanya sang kakak telah berkeluarga, punya seorang istri yang cantik menawan keturunan bangsawan yang sejajar dengan keluarga besar mereka. Sayang di usia pernikahan mereka yang ketiga, belum juga ada tanda-tanda Athirah akan memiliki keponakan. Bagaimana mungkin? Kedua manusia dewasa itu lebih sibuk mengejar karirnya masing-masing.
“Ya.” Jawab Athirah lesu. Di depan rumah mereka telah terparkir mobil Pajero berwarna hitam mengkilap. Kakak iparnya, Tenri, telah menunggu di mobil. “Senyum dong Ra. Itu muka masam amat,” ejek Tenri. Athirah mendengus, mereka sudah biasa saling mengejek seperti itu. Mereka cukup akrab sebagai Kakak dan Adik Ipar. Mematahkan argumen orang lain jika Adik dan Kakak ipar sulit akur.
“Lagi gak mau debat nih kak,” keluh Athirah naik ke mobil dan membanting pintu belakang. Kifli menggeleng prihatin melihat pintu mobilnya yang mengenaskan. “Kasihan loh Dek, pintu mobil Abang gak salah apa-apa sama kamu.” Protes Kifli yang telah siap di balik kemudi. Athira tidak ingin ambil pusing. Setelah memasang safetybelt dengan sempurna, ia memilih mengatur letak kursinya, bersiap untuk tidur. Airphone sudah mengamankan telinganya untuk menghindari pencemaran. Kedua orang dewasa yang duduk di bangku depan sangat suka berdebat ketika mereka melakukan perjalanan bersama. Cukup mengganggu untuk Athira.
**
Enam jam perjalanan menuju kampung halaman cukup meremukkan tulang-tulang Athirah. Ia bahkan memutuskan tetap di mobil ketika kedua kakaknya mengisi perut di salah satu restoran coto kuda khas daerah tersebut.
“Selamat datang Ra.” Denis menyambutnya dengan senyum penuh kemenangan. Ekspresi sepupunya itu benar-benar membuat Athirah muak. Denis ikut ambil bagian merecoki Rahmat untuk terus membujuk Athirah pulang. “Senyum dong Ra. Cemberut bisa menyebabkan penuaan dini.” Bisik Denis dengan ekspresi tanpa dosa. Ingin sekali rasanya Athirah mencakar wajah menyebalkan itu.
“Hiiiihhhhh.” Athirah memperlihatkan gigi putihnya pada Denis, tersenyum seperti kuda sebelum meninggalkan Denis dan keluarganya di halaman. Athirah ingin melanjutkan tidur. Malam sebelumnya ia kekurangan tidur oleh acara perpisahan kelas. Mereka berpesta hingga pagi di pantai.
“Ra, makan dulu yuk sebelum lanjut tidur,” sapa Mama yang menyusul Athirah ke dalam kamar gadis itu. Kamar yang sebanarnya selalu ia rindukan. Rindu suasana pagi ketika ia membuka jendela dan menghirup udara yang sejuk, berbeda dengan udara kota yang penuh dengan udara tercemar.
“Ngantuk Ma.” Athirah menggulung dirinya dengan selimut, berguling di kasur layaknya kepompong. Empuknya masih sama, gadis itu semakin hanyut dalam kehangatan. Dua tahun terakhir ia tidak pernah pulang, toh orang tuanya lebih banyak di kota mengurus bisnis mereka yang sedang dirintis. Jadi Athirah tidak perlu repot untuk pulang dan melepas rindu.
Jika di desa, orang tuanya adalah orang terpandang, juragan yang memiliki perkebunan luas, berbagai jenis ternak dan menjadi bangsawan yang dihormati. Pengaruhnya besar dalam perputaran ekonomi di desa. Di kota, bisnis mereka mulai berkembang pada usaha kuliner dan perdagangan daging dan hasil perkebunan dari desa. Mereka membangun sebuah toko besar yang khusus menjual hasil perkebunan dari desa, terkhusus hasil perkebunan dan peternakan yang dikelola sendiri. Bisnis itu kini dikembangkan oleh Zulkifli dan Zulfikar. Sedang orang tuanya kembali ke desa memegang kendali perkebunan dan peternakan yang akan dikirim ke kota.
“Mama tahu, makan dulu. Biar nanti bisa tidur nyenyak, Mama tidak mengganggu lagi.” bujuk perempuan paruh baya itu. Athirah menggeliat, masih mengguling badannya ke kiri dan ke kanan. “Tetta (sebutan untuk seorang Ayah bagi sebagian keturunan bangsawan pada suku Athira) ke mana Ma? Kok gak kelihatan dari tadi?” Athirah memaksa untuk bangun. Meski kepalanya sedikit berdenyut, sulit sekali menolak bujukan sang Mama.
“Tetta ada acara di kampung sebelah. Tetta-mu tidak tahu kamu akan pulang.” Athirah terkekeh. Sekali lagi jika bukan Rahmat yang membujuknya secara gila-gilaan, Athirah tidak akan mau pulang meski rindu. Meski Ayahnya sudah pernah membujuk, ia memilih menyerah, Athirah terlalu keras kepala jika menyangkut urusan pulang ke kampung.
Tok tok tok!
“Bu, sudah siap makanannya.” Seorang gadis yang umurnya tidak jauh dari Athirah memunculkan kepalanya ke pintu, logat bugisnya masih sangat kental. Gadis itu memberi tahu jika makanan telah siap. “Mandi dulu deh Ma.” Athirah segera menyambar handuk di lemari lalu memasuki kamar mandi dengan cepat.
**
Athirah melangkah mantap menuju ruang makan. Rumah panggung dengan desain interior perpaduan modern dan klasik itu selalu disukai Athirah. Entahlah, disaat orang-orang berlomba-lomba membangun rumah permanen, keluarganya tetap mempertahankan rumah panggung yang luasnya tidak main-main itu.
Ada banyak kamar di rumah itu, ruang tamunya bahkan ada dua dengan gaya klasik yang masih dipertahankan, kursi kayu dan bambu menghias dengan elegan. Sedangkan ruang makannya diisi oleh meja panjang dengan deretan kursi kayu yang terbuat dari kayu jati, bergaya klasik modern, seperti di film-film kerajaan jaman dahulu. Sangat pas untuk menampung keluarga besar Athira jika sedang berkumpul.
“Eh, ada Andi Athirah juga.” Seorang pemudi berkulit sawo matang menyapanya dengan ramah. Athirah ikut tersenyum, membungkukkan sedikit badannya sebagai penghormatan untuk orang-orang yang lebih tua darinya. Meski mereka berbeda dari segi kasta keluarga, Athirah selalu diajarkan untuk menghormati siapa saja tanpa memandang status keluarga mereka.
“Lama tidak pulang. Andi Athirah tambah cantik saja,” puji yang lain mereka masih sibuk menata piring dan makanan di meja. Umurnya kira-kira sama dengan Mama Athirah. Perempuan itu sudah bekerja di rumah mereka sejak lama. “Bagaimana Andi Athirah, sudah punya pacar belum?” tanya perempuan itu. Athirah hanya tersenyum, melanjutkan langkahnya menuju meja makan, tidak ingin ambil pusing dengan pertanyaan tersebut meski sebenarnya ia juga cukup terganggu.
Athirah mengambil duduk di posisinya seperti biasa. Berhadapan dengan kakak laki-lakinya, Fikri. Dua orang perempuan terlihat sibuk mempersiapkan makan siang mereka. Menuang air minum dan meletakkan beberapa jenis makanan khas daerah. Athirah sangat suka bagian ini. Masakan rumahan selalu mampu memacu nafsu makannya. Sayuran segar dan lauk pauk kesukaan Athirah sudah terhidang dengan sempurna.
“Athirah, biasakan makan dengan sopan.” Athirah mengangkat wajahnya, menatap Kifli dengan dahi berkerut. ia baru saja menikmati makanannya. “Turunkan kakimu!” gadis itu menghela napas, menurunkan kaki kanannya yang sengaja di tekuk. sudah seperti putri-putri kerajaan Disney saja. penuh peraturan. Menyebalkan.
Tradisi keluarga yang masih sangat kental menjadi penjara bagi Athirah. ia terbatas dalam hal kebebasan mengeksplor kemampuannya sendiri. Sedikit saja ia membuat kesalahan, namanya akan langsung tersorot. Seperti selebritis yang tidak luput dari kejaran wartawan. Bahkan di era secanggih sekarang, keluarga mereka masih menjunjung nilai nilai adat dan tradisi yang ada.
Setelah makan siang, Athirah melupakan hasratnya untuk tidur siang. Ia memutuskan untuk menikmati siang di teras rumah. Mama dan Kakak Iparnya akan berangkat ke pesta, Athirah sendiri menolak untuk ikut. Nanti saja, katanya.
Athirah sibuk memainkan ponselnya, membalas beberapa chat dari teman-teman sekolahnya yang sibuk menanyakan keberadaan Athira. Hari ini mereka memiliki janji untuk menonton di bioskop dan Athirah mengingkarinya untuk pertama kali. Athirah meringis membalas chat teman-temannya yang sibuk mengomel dan mengumpati Athirah yang menghilang secara misterius. Tidak biasanya gadis itu ingkar seperti ini dan tidak memberitahu mereka terlebih dahulu.
“Andi Athirah...,” Athirah mendongak mendengar namanya disebut. Penglihatannya segera bergerilya ke kiri dan ke nanan. “Hey, di sini, di bawah.” Athirah segera menengok ke arah tangga. Di sana ada seorang pemuda yang cukup Athirah kenal. Dia adalah salah satu laki-laki yang menjadi penanggung jawab perkebunan dan peternakan.
“Kenapa Kak?” tanya Athirah penasaran. Laki-laki tersebut adalah laki-laki yang selama ini mengantar dan menjemput Athirah ke sekolah ketika SD, mereka cukup mengenal satu sama lain. “Mau ikut ke perkebunan tidak? Sekarang lagi panen sayuran.” Ajaknya bersemangat. Biasanya Athira akan bersemangat jika diajak ke perkebunan, apalagi sedang panen seperti ini.
“Besok masih bisa ngga Kak?” tanya Athirah. Hari ini ia ingin menghabiskan waktunya di rumah. sepertinya menyenangkan menonton orang-orang yang berlalu lalang di depan rumah sambil mengobati penat perjalanan jauhnya. “Besok libur, kan ada pesta.” Athirah mengangguk mengerti. “Nanti aja deh. Masih capek, hehe...,” Laki-laki itu mengangguk paham. Ia segera berpamitan dan meninggalkan Athirah sendiri. Membiarkan gadis itu kembali larut dengan ponsel pintarnya.
***