Bab 3. Kau Berada di Bawah Kendaliku
Berkali-kali Jovie meremas rambutnya dan mengumpat pelan saat dia mengingat kembali interaksinya bersama dengan Jace. Baik itu dari sikap bodohnya yang telah salah masuk kamar, dan juga tentang sikap Jace yang sangat menyebalkan setelah mereka keluar dari ruangan Corey tadi.
“Dasar pria hidung belang sialan! Berani-beraninya dia mengajukan syarat gila yang tidak masuk akal sehat,” gerutu Jovie kesal.
Mendekati waktu jam makan malam, semakin membuat Jovie bertambah gelisah tak menentu. Berulang kali dia ingin mengajukan protes pada Corey perihal Jace, tapi dia sadar dirinya tidak memiliki hak untuk itu. Terlebih lagi, bagaimana jika Jace melaporkan pada Corey tentang perbuatannya semalam? Masalah bisa semakin gawat. Pun sialnya, kenyataan membuat Jovie semakin frustrasi, Jace Sherwood adalah pria yang berinvestasi dengan nominal sangat besar pada hotel—di mana Jovie bekerja. Hal tersebut membuat Corey akan mati-matian membela Jace.
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Seorang resepsionis hotel masuk sambil membawa satu kotak besar berwarna hitam, cukup besar sampai hampir menenggelamkan wajah resepsionis itu dari sudut pandang Jovie saat ini.
“Kotak apa itu?” tanya Jovie dengan kening mengerut heran.
“Ada seorang kurir yang mengantar ini baru saja, Nona. Katanya dikirim khusus dari relasi untuk Anda dan harus dipastikan bahwa Anda telah menerima dan membukanya,” jawab sang resepsionis sopan.
Jovie menyipitkan matanya saat melihat kotak besar itu yang diletakkan di atas meja kopi di depan sofa—tepat di depan meja kerjanya. Otaknya berpikir siapa yang memberikan hadiah padanya?
“Terima kasih sudah membawanya ke sini. Kau boleh kembali ke lobby.” Jovie berdiri dan tersenyum pada resepsionis.
“Baik, Nona. Saya permisi.” Sang resepsionis itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Jovie.
Ketukan dari high heels-nya terdengar ragu saat mendekati kotak hitam itu. Baru kali ini dia menerima paket misterius. Bukannya senang, saat ini dia menjadi sedikit takut untuk membukanya. Detik selanjutnya, Jovie mulai membuka kotak itu, tetapi seketika mata Jovie melebar terkejut melihat isi dari kotak itu.
Sebuah gaun pesta dengan warna hitam yang terlihat sangat elegan, dan sepasang high heels berwarna senada yang terlihat mengilap dengan ujung runcing dan memiliki aksen kotak besar bertabur permata putih yang tampak sangat cantik. Semuanya berasal dari merk mahal dan terkenal.
“Siapa orang gila yang mengirim ini semua?” Tangan Jovie meraih kartu ucapan yang terselip di sela-sela kertas pembungkus di dalam kotak.
Can’t wait untuk makan malam nanti. Pakai gaun dan sepatu ini, kau pasti akan sangat cantik. Ah, satu lagi … jangan lupa untuk tersenyum. kau pasti semakin cantik saat tersenyum.
-Jace-
“Dasar gila!” umpat Jovie sambil membuang kartu ucapan itu ke tempat sampah.
Jovie merasa sangat marah karena dia berpikir bahwa Jace telah menganggapnya murah dan gampangan. Bagaimana bisa seorang relasi mengirim barang mewah seperti ini untuk makan malam yang hanya memiliki kepentingan sebatas urusan bisnis? Bahkan jika itu bukan urusan bisnis, dia tidak akan pernah mau datang untuk makan malam bersama pria aneh hidung belang itu.
Pikirannya yang tidak-tidak tentang malam panas Jace dan wanita yang semalam dia lihat juga semakin memiliki titik cerah. Dia semakin yakin bahwa wanita semalam bukanlah pasangan resmi dari Jace.
Jovie kembali bergidik ngeri saat membayangkannya. Kotak yang masih terbuka itu segera dia tutup rapat, dan dilempar begitu saja ke kolong mejanya. Dia akan tetap memakai baju kerjanya. Harga dirinya sangat tinggi dan tidak mau kalah dengan menuruti permintaan aneh dari Jace meskipun pria itu adalah relasi VIP hotel ini.
Saat Jovie masuk ke dalam Resto Lounge, dia langsung bisa melihat Jace yang menatap tajam ke arahnya. Jelas sekali bahwa pria itu terlihat kecewa karena Jovie datang dengan penampilan yang tidak sesuai harapannya. Melihat hal itu, perasaan Jovie menjadi lebih baik. Setidaknya dia telah menang satu poin dari Jace.
“Kenapa pakaian yang aku berikan tidak kau pakai?” tanya Jace langsung begitu Jovie duduk di hadapannya.
Jovie menatap tidak suka pada Jace. “Buat apa? Aku bukan wanitamu yang bisa kau suruh-suruh.” Sebisa mungkin Jovie menjaga nada bicaranya tetap datar.
Mendengar itu, membuat Jace menyipitkan matanya sambil menyeringai nakal. “Ah, jadi kau mau menjadi wanitaku?”
Refleks, Jovie membulatkan kedua matanya dan hampir saja melontarkan kata umpatan pada pria tidak tahu diri di depannya itu. Namun lagi-lagi dia harus berusaha untuk menjaga sikapnya agar terlihat lebih berkelas dari Jace.
Setelah menghela napas dalam-dalam, Jovie tersenyum tipis sambil bertanya, “Sudah berapa wanita yang kau beri tawaran untuk menjadi wanitamu? Puluhan? Ratusan? Atau, kau bahkan sampai tidak bisa menghitung jumlahnya?”
Dalam hati, Jovie merasa bangga bisa membalas ucapan Jace dengan nada datar dan sindiran halus yang dia kemas sebagai pertanyaan. Namun rupanya Jace bukan menerima pertanyaan itu sebagai sindiran. Pria tampan itu bahkan berpura-pura menghitung dengan wajah serius, membuat Jovie merasa semakin kesal dengan tingkah lakunya.
“Baru dirimu,” ucap Jace sambil menatap lembut pada Jovie. “Kau pasti tidak percaya, tapi selama ini mereka yang memintaku untuk menemani malam-malam mereka. Bahkan ada beberapa dari mereka yang sampai memohon-mohon padaku. Tapi, baru kau wanita yang pertama kali menolakku.”
Jovie tidak bisa menahan tertawanya. Sebuah jawaban yang memang sudah berada di dalam bayangannya, tapi rupanya dia tetap saja merasa geli saat mendengarnya secara langsung.
“Kau benar-benar memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi, ya?” sindir Jovie secara halus.
Jace kembali menyeringai. Tatapannya semakin terlihat seduktif jika dilihat mata wanita lain, tapi tidak saat berada di bawah pandangan Jovie. “Semua hal yang kupunya sangat mendukung untuk memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi, benar? Kaya raya dan ketampanan yang mutlak. Sudah jelas semua wanita menjadi tergila-gila padaku.”
Jovie memutar bola matanya malas. “Kau benar-benar pria paling percaya diri yang pernah aku kenal di muka bumi ini.”
Jace tersenyum penuh arti, mengamati lekat paras cantik Jovie. Sejak awal pertemuan dia sudah memiliki ketertarikan dengan paras cantik wanita itu. Tanpa diduga, Jace mendekat ke arah Jovie, menundukkan wajahnya, bersejajar ke wajah wanita cantik itu.
“Kau cantik, Nona Montgomery,” bisik Jace di depan wajah Jovie.
Jovie menjadi salah tingkah mendapatkan pujian dari Jace. Dia bangkit berdiri bermaksud mundur menjauh, tapi sialnya heels-nya tersangkut di karpet. Refleks, tubuh Jovie terhuyung ke belakang nyaris terjatuh—dan dengan sigap Jace menangkap tubuh Jovie dengan erat.
“Aaaa—” pekik Jovie terkejut.
Jace tersenyum penuh arti. “Tenanglah. Aku berhasil menangkapmu, Nona Montgomery. Kau aman bersamaku.”
Jovie menelan salivanya susah payah dan langsung mendorong dada bidang Jace. “Kurang ajar! Beraninya kau memelukku! A-apa kau tidak diajarkan sopan santun?!”
Kening Jace mengerut dalam. “Jika aku tidak memeluk pinggangmu, maka kau akan terjatuh. Kau ingin terjatuh di lantai dan menjadi bahan tawaan banyak orang?” balasnya meledek.
Jovie salah tingkah. Apa yang dikatakan Jace benar. Jika pria tampan itu tidak menangkapnya, sudah pasti dia akan menjadi bahan tawaan banyak orang karena terjatuh di lantai. Shit! Jovie membenci dirinya yang bodoh dan ceroboh.
Jovie memutuskan untuk duduk, menarik kursi sedikit jauh dari Jace. “Kita langsung saja pada intinya, apa tujuanmu mengajakku makan malam?”
Jace mengambil vodka yang diantar oleh sang pelayan seraya menyandarkan punggungnya di kursi. “Karena aku ingin mengajakmu makan malam.”
Mata Jovie mendelik. “Tuan Sherwood, aku tidak memiliki banyak waktu untuk main-main. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Jika kau—”
“Aku akan menghubungi Corey.” Jace mengambil ponselnya, mencari nomor Corey, dan menghubungi temannya itu.
“Corey, aku bersama dengan Jovie. Aku ingin membahas tentang Luxio Hotel. Kau tidak marah, kan?” tanya Jace santai kala panggilan terhubung. Tak lupa pria itu menekan tombol loudspeaker agar Jovie mendengar.
“It’s okay. Kau bisa bertanya apa pun pada Jovie. Dia adalah orang kepercayaanku,” jawab Corey tenang dari seberang sana.
“Thanks, Corey. See you!”
“See you!”
Panggilan tertutup. Jace meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak raut wajah Jovie berubah mendengar percakapan antara bos besarnya di kantor bersama dengan Jace Sherwood. Tunggu! Apakah dirinya benar-benar tertimpa sial?
“Nona Montgomery, kau mendengar apa yang dikatakan bosmu, kan? Aku berhak berbicara denganmu. Jangan lupa aku adalah investor di Luxio Hotel. Aku memiliki kendali,” jawab Jace angkuh seraya menggerak-gerakkan gelas di tangannya.
Napas Jovie memburu seraya mengepalkan tangannya dengan kuat. Umpatan dan makian lolos di dalam hatinya. Dia memang mengakui kesalahannya salah masuk kamar, tapi kenapa malah dirinya harus terkena sial bertubi-tubi seperti ini. Hal gila adalah Jace Sherwood menggunakan kekuasaannya untuk mendesaknya.
***