Bab 9 Hai Calon Istriku
Bab 9 Hai Calon Istriku
“Aku perhatikan, sejak aku dari belakang, kamu terlihat pucat. Seperti ..., melihat hantu saja. Apa resleting celanaku terbuka?” goda Asmoro.
“Hush! Mas! Ada-ada saja kamu,” kata Adenium. Sejenak, angin malam menerpa wajahnya.
Dan Asmoro tergelak. Namun, raut mukanya sedikit kecewa. Perjalanan itu terasa secepat kilat.
Tahu-tahu, halte bus sudah sampai saja. Dia gundah.
“Biarkan aku mengantarmu sampai rumah,” pinta Asmoro. “kamu percaya aku kan, aku tak mungkin membawamu ke hotel atau losmen!”
Adenium mengedikkan bahu. Matanya memandang Asmoro dengan aneh. Dengan segera, dia turun dari motor Asmoro.
“Mas, kamu kenapa? Kok, setelah dari Bogor, obrolanmu menyerempet-nyerempet begitu?”
Air muka Asmoro seketika kikuk. Dia tersenyum garing.
“Benarkah? Apakah demikian? Iya, soalnya di Bogor dingin,” kata Asmoro tergelak.
“Tuh, mulai lagi!” kata Adenium. Sudah sedari pertemuan mereka tadi, dia mendeteksi Asmoro berubah.
Apa tiga minggu membuat kata-kata Asmoro yang biasanya kalem dan tenang menjadi sedikit liar? Adenium tak mengerti.
“Habisnya, kamu sih. Sudah dibilang percaya sama aku. Kita sudah hampir dua tahun saling mengenal. Apa pernah, aku menyentuhmu barang sedikit?”
Adenium memandang lekat lelaki kesayangannya ini. Lalu, senyumnya mengembang dan menggeleng tegas. “Tidak pernah!”
“Nah, tuh. Jadi, apa iya aku tidak boleh mengantarmu?”
Adenium tertawa. Dia menemukan sisi kekanakan Asmoro, yang kadang keluar manakala mengambek.
“Masalahnya, kosmu sekarang berbeda arah, Mas, dengan kontrakanku. Aku takut, nanti hujan dan kamu masuk angin. Padahal, kamu harus bekerja besok,” jelas Adenium.
“Ya, sekarang aku mengontrak rumah bersama beberapa temanku. Kamu tahu itu. Lebih irit,” Asmoro tak mau kalah.
“Iya, iyaaa, aku paham, Mas. Kamu mengirit buat modal nikah kita, kan?” pancing Adenium.
Asmoro terdiam. Dia hela napasnya.
“Dua tahun, apa itu tidak cukup meyakinkanmu, Mas?” kata Adenium lagi.
Dan Asmoro semakin terpojok. Lekat dia tatap wajah sempurna bak purnama itu.
Bahkan, ketika perasaannya sebagai lelaki melihat Manihot menyenggol Adenium, dia marah bukan kepalang. Seolah kedua insan yang saling menyenggol ini punya sebuah hubungan.
Dan ketika kecemburuan itu semakin meledak-ledak. Manakala dia ketakutan Adenium yang ranum ini keburu diambil orang, sebelum ia petik bunganya, dia masih meragu.
Haruskah ia katakan, jika keluarga Adenium yang ekonomi sulit menjadi penyebabnya? Tidak! Bagaimanapun dia lelaki, tidak boleh matre. Dia hanya butuh sedikit waktu, demikian sugesti Asmoro.
“Kasih aku waktu ya,” kata Asmoro lirih.
Dia memberanikan diri mengusap puncak kepala Adenium. Walau dia tahu, Adenium dengan segera akan menghindar selayak gadis suci.
Gila aja! Di kota besar ini, masih ada perempuan seperti Adenium.
Adenium terlihat tersenyum getir. “Iya, Mas. Aku akan menunggu. Tak apa, aku maklum, kok.”
Jger! Gelegar petir menyambar. Kilaunya berpendar pada langit malam. Padahal, saat itu belumlah sepenuh gelap. Langit masih abu-abu, terang dengan lampu.
“Mau hujan, Mas! Sana! Pergilah, nanti kamu kehujanan!” pinta Adenium.
“Kamu serius? Tidak mau aku antar! Ayolah!”
“Aku ...,”
Blip! Pesan ponsel Asmoro. Dengan sigap lelaki itu membuka.
Jantung Adenium berdesau. Matanya yang setajam elang melihat bulatan foto profil pengirim pesan. Perempuan berambut keriting coklat. Bule kah?
“Siapa, Mas?” tanya Adenium.
Asmoro memandang ragu. Dan Adenium menuntut jawab.
“Claire, bosku yang kamu ketemu tadi. Urusan pekerjaan dan tanda tangan laporan perjalanan,” kata Asmoro jujur.
“Apa kamu mau ke tempatnya?” Adenium mulai terlihat cemas. Harusnya, apa dia sebaiknya menerima tawaran Asmoro mengantarnya?
“Cemburu, ya?” pancing Asmoro.
Adenium bersemu merah. Dalam pendar lampu halte, wajah cantik itu terlihat begitu memikat.
“Aku hanya tanya, Mas,” kata Adenium.
“Seperti tidak punya hari esok saja, Dek. Tidaklah! Itu kan urusan kantor, ya diselesaikan di sana,” Kata-kata Asmoro membuat Adenium bernapas lega.
“Syukurlah!” kata Adenium.
“Tapi, bisa jadi. Aku akan mempertimbangkannya untuk pergi ke apartemen Claire. Cuaca sedang dingin begini,” ledek Asmoro.
Dan Adenium terdiam. Tangannya mengepal.
“Hei, aku hanya bercanda, Dek,” kata Asmoro. Lelaki beralis tebal yang tampan itu senang, karena Adenium termakan candaan. Siapa suruh menolak kekasihmu mengantar, batin Asmoro.
Triin! Klakson kendaraan mulai menyapa motor Asmoro!
“Woi! Kalau mau sayang-sayangan di kafe, bukan di halte!” judes seorang perempuan, seraya melajukan kendaraannya.
Asmoro tak ambil pusing. Dia tarik resleting jaketnya. “Aku pergi duluan, ya! Kabari aku, jika sudah sampai di rumah, Dek!”
Adenium mengangguk. Dia lambaikan tangan pada Asmoro.
Jger! Gelegar petir kembali menyeruak.
Dan Adenium menoleh ke samping. Sadarlah ia, bahwa di sebelahnya ada lelaki dengan rambut hijau yang dipotong mohak, dan dengan pomade, rambutnya jadi berdiri menantang langit.
Lelaki itu menatap Adenium dengan senyum smirk. Adenium bergidik.
“Hai,” sapa lelaki itu.
Adenium hanya diam. Dia menundukkan kepala, seraya berdoa agar bus datang tepat waktu.
“Balik ke mana?” tanya lelaki itu.
Namun, Adenium hanya diam saja. Dia tak menjawab.
“Situ punya kuping kan, Mbak? Oh, tidak tahu namanya kuping? Telinga, Mbak, telinga, tahu kan?”
Lelaki itu meringsek maju mendekati Adenium, yang duduk sudah sangat mepet di kursi. Syut! Dia mencolek Adenium.
“Eh, yang sopan dong, Mas!” kata Adenium tersinggung.
Lelaki itu terkekeh. Terlihatlah beberapa giginya yang hitam.
“Kamu pasti habis diturunkan pelanggan kamu di halte, iya kan? Aku lihat tadi!” kata lelaki berambut hijau menantang langit ini.
Deg! Sadarlah Adenium, bahwa lelaki ini mengira dirinya adalah kupu-kupu malam, dan Asmoro adalah pelanggannya.
“Mas! Aku bukan perempuan begituan. Anda salah!” Adenium meringsek ke dalam tas. Mengambil semprotan cabe. Barangkali alat ini bisa berguna saat ini.
“Ah, jangan begitu, Mbak! Berapa sih, tarifnya, kalau boleh tahu!” kata lelaki itu.
Dan lelaki itu menjawil sekali lagi. Adenium benar-benar terhina.
“Di belakang halte ini ada toko kosong. Bagaimana jika kita ke sana?”
“Woi! Mas! Yang sopan ya!” Darah Adenium menggelegak.
Lelaki itu bersiap mendaratkan bibirnya ke wajah Adenium. Dan Srot! Sebuah semprotan cabe mengenai kedua mata lelaki itu.
“Aww! Anjing kau! Dikasih lembut nggak bisa, mau minta mati ya?” teriak lelaki ini marah.
Dia mengusap-usap matanya dengan kaosnya, sehingga rangka sedikit berotot perut milik lelaki ini terlihat. Adenium panik ketakutan.
Lelaki ini berusaha merengkuhnya. Dan Adenium berlari menuruni tangga halte.
“Woi! Sundal! Jangan lari kamu!” teriak lelaki itu. Setengah sempoyongan, dia mengejar Adenium.
Adenium tak menggubris, dia lari tunggang langgang. Secepat yang ia bisa.
“Woi! Berhenti Kampret!”
Dan rupanya, lelaki itu cukup kencang larinya. Dia mulai mendekati Adenium. Jalanan terlihat lengang.
“Kena kau!” kata lelaki ini, seraya menarik tangan Adenium.
Adenium berteriak sekencangnya. “Lepaskan aku, bajingan!”
Bug! Sebuah tinjuan menghantam wajah lelaki ini. Sementara dengan sigap Adenium menyemprotkan kembali semprotan air cabe ke wajah lelaki berambut hijau ini.
Tak lama, lelaki ini limbung, setelah sebuah bogem lagi mengenai wajahnya. Dan Adenium memberanikan diri melihat penolongnya, yang sepertinya punya tubuh yang jangkung.
Dan ... betapa terkejutnya Adenium, manakala tahu yang menolongnya. Seorang lelaki dengan parfum yang begitu wangi semerbak.
“Hai calon istriku,” kata Manihot tersenyum sumringah.