Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Putuskan Saja Dia

Bab 10 Putuskan Saja Dia

Adenium berteriak sekencangnya. “Lepaskan aku, bajingan!”

Bug! Sebuah tinjuan menghantam wajah lelaki ini. Sementara dengan sigap Adenium menyemprotkan kembali semprotan air cabe ke wajah lelaki berambut hijau ini.

Tak lama, lelaki ini limbung, setelah sebuah bogem lagi mengenai wajahnya. Dan Adenium memberanikan diri melihat penolongnya, yang sepertinya punya tubuh yang jangkung.

Dan ... betapa terkejutnya Adenium, manakala tahu yang menolongnya. Seorang lelaki dengan parfum yang begitu wangi semerbak.

“Hai calon istriku,” kata Manihot tersenyum sumringah.

“Pak ..., Pak Manihot,” kata Adenium terkaget-kaget.

“Iya, Bapak yang kamu kira galak! Ayo masuk! Aku akan mengantarmu!” kata Manihot tanpa basa-basi.

Karuan saja, Adenium kaget bukan kepalang. Dia baru saja mendapatkan hal mengerikan. Nyaris saja dilecehkan oleh lelaki bergigi kuning kehitaman, yang mengejarnya dari halte hingga ke jalan.

Kini, seperti tambahan mimpi buruk. Ternyata, yang menolongnya adalah lelaki bongkok, yang mengancam akan memecatnya tadi pagi. Satu lagi, lelaki itu menyatakan cinta di hari pertama mereka saling menyapa.

Gila! Ya, Adenium merasa sangat gila. Bagaimana mungkin, lelaki yang kepergoknya sedang berciuman dengan anak pemilik SKY Company, tahu-tahu melamarnya ini, bisa dikategorikan sebagai lelaki baik-baik.

Gila! Sableng! Tak Waras! Entah pleonasme apalagi yang bisa menghantarkan perasaannya, yang hanya bisa dipendam. Mana mungkin Adenium berani memaki CEO ini.

“Tak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih. Hati-hati di jalan, ya, Pak,” Adenium mengangguk pelan, lalu memalingkan muka.

Dia masih bingung, mau pergi ke mana. Namun, tujuannya satu : MENJAUHI Manihot sejauh-jauhnya. Bila perlu, dia pergi ke planet Jupiter sana.

“Hati-hati? Kata-kata itu lebih tepat untukmu,” ejek Manihot. “berhenti!”

Adenium menuruti titah lelaki ini. Dia masih takut, jika tidak menurut, maka dia akan dipecat. Padahal, mereka sudah tidak dalam suasana kerja lagi.

“Berbalik!” perintah Manihot lagi.

Dan lelaki ini tersenyum puas, karena Adenium menurutinya. Bagus, calon istriku, kamu harus begitu! Kata Manihot dalam hati.

“Pak, saya mau pulang!” kata Adenium.

“Saya tahu!” kata Manihot. “jadi, pulanglah denganku. Kamu duduk di belakang. Pukul saja, kalau aku hendak membawamu kabur,”

“Tidak, Pak. Terima kasih,” kata Adenium.

Manihot menarik napas. Menatap perempuan yang sangat cantik ini. Tidak begitu tinggi, hanya seketiaknya saja. Mungkin, karena dia yang terlalu tinggi.

“Pulanglah denganku,” pinta Manihot. Kali ini, suaranya lebih lembut.

Manihot menatap penuh harap. Ayo! Aku mau melihat calon mertuaku seperti apa, kata Manihot.

Dia juga tidak mengerti, kenapa dia jatuh cinta pada perempuan, yang baru pertama kali disapanya tadi siang ini. Ah, dia lupa!

Jika dirinya sudah mengamati Adenium dari kejauhan, diam-diam. Sejak perempuan ini dikirim oleh perusahaan outsourcing sebagai cleaning service di perusahaan yang dipimpinnya.

“Saya tidak bisa, Pak!”

“Kenapa? Naik mobil mewahku gratis, kok,” kelakar Manihot setengah sombong.

Dan Adenium tak kuasa tertawa terbahak-bahak. Mati-matian, ia berusah setop tawanya. Namun, tak bisa.

Manihot pun tertawa. Dia senang, Adenium sedikit terhibur.

“Maafkan saya, Pak. Saya tidak menyangka, bapak sesombong itu,” kata Adenium jujur.

“Memang. Aku sombong dan tampan. Dan juga bongkok,” kata Manihot getir. Entah kenapa, dia berusaha jujur pula pada Adenium.

Adenium memberanikan diri menatap luruh lelaki ini. Ah, ternyata Pak Manihot tidak seseram itu. Entah kenapa, batin Adenium tiba-tiba mengguman.

“Jadi, bagaimana? Ayo berangkat pulang denganku!” tawar Manihot lagi.

Adenium menggeleng-geleng. Dia beranikan diri. “Tidak, Pak. Terima kasih! Permisi!”

Adenium hendak berbalik badan. Namun, sebuah deheman menggugurkan langkahnya.

“Kamu tidak takut, kalau tiba-tiba lelaki yang mengejarmu tadi bangkit dari pingsannya? Terus ... dia mengejarmu, selayak srigala. Aum!” Manihot meniru suara srigala.

Adenium kembali tertawa. Namun, wajahnya memias. Dia menunjuk-nunjuk telunjuknya ke arah Manihot.

“Ada apa? Kamu mau aku anter, jadinya begitu?” Manihot terkekeh.

“Tidak! Aww! Pak, awas! Lelaki itu di belakang Bapak,” teriak Adenium histeris.

Manihot sigap. Tanpa menoleh ke belakang terlebih dahulu, dia segera kibaskan sebuah tendangan ala taekwondo. Dan tendangan itu tepat mengenai dadanya lelaki itu.

Manihot sedikit gemetar, begitu tahu lelaki ini sejatinya sudah memegang pisau. Jika Adenium tidak mengingatkan, mungkin sudah ada hal parah yang terjadi padanya.

Manihot menoleh ke Adenium. Dan perempuan itu masih berteriak.

“Awas, Pak!”

Rupanya, lelaki yang hendak menggoda Adenium tadi tidak putus asa. Dia masih mencoba menyerang Manihot, meski tubuhnya baru bangkit dan masih terhuyung.

Jebret! Spontan saja, Manihot melayangkan sebuah pukulan di ulu hati. Tidak terlalu keras. Namun, cukup untuk membuat lelaki ini tergeletak.

Manihot segera mendekati Adenium, yang tampak shock. Dia terpaksa menggamit tangan Adenium, lalu menariknya. Adenium spontan menghentakkan tangannya.

Manihot tersenyum. Perempuan ini ... benar-benar wanita baik-baik dan tampaknya sangat menjaga kehormatannya.

“Sekali ini, turutilah kata-kataku. Pulanglah bersamaku. Aku akan mengantarmu dengan baik dan hati-hati. Trust me, please.”

Manihot mulai mengeluarkan levelnya. Dia berkata-kata penuh pesona, dan sedikit English.

Adenium terpukau. Bagaimana lelaki ini bisa setenang ini. Dan tak kuasa, ia akhirnya mengangguk.

“Baiklah, Pak,” kata Adenium lirih.

Dan sesuai janji, Manihot mengantar Adenium dengan baik. Adenium duduk di tengah, sementara Manihot menyetir.

Dia putar lagu folk kesukaannya, yang Adenium tidak mengerti. Manihot tertawa.

“Perlu kuputar lagu lain? Kamu sukanya apa? Dangdut, Rock? Judika, JKT 48, atau malah Sabyan dan Opick? Atau ... suka lagunya Western? Maroon five, Adele ...,”

“Lagu yang bapak putar saja, saya suka mendengar suara uniknya,” kata Adenium.

“Oh, ini lagu-lagu folk. Banyak nuansa etnik di sini. Kamu tahu lagunya?” tanya Manihot.

Adenium mengeleng. Tanpa perlu melihat, Manihot tahu itu.

“Lha, kamu nggak tahu lagunya. Kok, bilang suka?” Manihot protes.

Adenium menghela napas. Dan dia mengatur kata-kata.

“Jawab saja! Tidak perlu berpikir, kita tidak sedang di kantor. Aku sedang tidak menjadi atasanmu,” kata Manihot terkekeh.

Tetap saja, itu terasa menakutkan bagi Manihot. Dan Adenium akhirnya menjawab diplomatis.

“Apapun lagu yang bapak suka, saya suka. Saya kan hanya menumpang di sini,” tutur Adenium. Dia pandangi kerlap-kerlip bangunan Jakarta yang sangat indah.

Pada malam, bagi Adenium terasa seperti dunia dongeng. Meski sudah dua tahun di Jakarta, bersama keluarganya, tetap saja begitu. Dan Adenium masih merasa bahwa dirinya memang hanyala penduduk datangan, yang masih sangat kampungan.

“Apapun yang saya suka, kamu juga suka. Begitu?” Manihot memplesetkan kata-kata Adenium.

“Maksud saya ... LAGU, Pak. Bukan semua hal yang bapak suka,” Adenium rupanya masih awas. Dia tahu, Manihot hendak menjebaknya.

Manihot tertawa. Dia begitu nyaman di hadapan Adenium.

Apa kamu tidak tertarik padaku, Adenium? Apa karena bongkokku? Tapi, semua orang mengatakan aku sudah sempurna, meskipun bongkok. Dan akan terasa sangat sempurna, jika tubuhku bisa tegak seperti normal.

“Aku anggap, kamu suka semua yang aku suka. TITIK!” Manihot mengintimidasi.

“Eh, tidak begitu Pak ...,”

“Buatkan aku baju yang sama, seperti punya kekasihmu yang beralis tebal itu!” kata Manihot tegas.

Adenium ternganga. Bagaimana lelaki ini tahu, jika dia membuat buatan ibunya, yang kemudian dipakai Asmoro saat mereka bertemu Manihot di kafe susu?

Rasanya, dia tidak pernah bercerita pada siapapun, termasuk Manihot. Adenium sangat shock.

“Hei, come on! Jangan bengong! Bisa kan, buatkan saya baju itu,” tukas Manihot.

“Anu, tapi, Pak ... itu ...,”

“Satu lagi, putuskan saja kekasihmu. Dia bukan lelaki baik-baik!” tandas Manihot, membuat Adenium terkejut seterkejutnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel