Bab 11 CEO yang Menjadi Hamba Cleaning Service
Bab 11 CEO yang Menjadi Hamba Cleaning Service
“Siapa lelaki bongkok, tapi sangat tampan itu?” Bu Alma – Ibunya Adenium bertanya. Jari-jari tangannya masih cekatan membuat pola baju.
Tiba-tiba saja, Manihot begitu datang mengantarkan pulang Adenium, langsung menodong Bu Alma untuk membuatkan baju yang sama dengan Asmoro. Karuan saja, ini membuat Adenium kaget.
“Aku tidak yakin, kamu akan menyampaikan ke Ibumu, kalau aku menginginkan baju yang sama dengan Asmoro – kekasih brengsekmu itu,” bisik Manihot tadi. “jadi, aku akan sampaikan sendiri padanya.”
Adenium hanya bisa terdiam. Dia tak bisa berbuat banyak, manakala secara sopan, Manihot meminta Bu Alma membuatkan pesanan baju yang mirip dengan Asmoro.
Dan selain itu, ulah Manihot membuat Adenium terhenyak. Bahkan, sampai detik terakhir perjumpaan mereka, Manihot tetap mengatakan Asmoro itu brengsek. Sok-sokan mengenal kekasihnya ini.
“Dia ya ... teman kerja Adenium kan, Bu. Kan, sudah diberitahu anaknya tadi,” kata Pak Gito.
Bu Alma tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. Air matanya sampai jatuh, saking lucunya.
“Ya ampun, Pak. Kita memang orang ndeso, orang rantau. Tapi, ya jangan katrok-katrok amat,”
Pak Gito memonyongkan bibirnya pada Bu Alma. “Walah, malah dikatain Ndeso. Memangnya, apa yang Bapak katakan itu salah, ya, Bu?”
Pak Gito bertanya heran. Dia sibuk memasukkan air sirup dengan sedikit potongan buah, ke dalam selongsong bungkus plastik.
Slurp! Cekatan sekali tangannya. Memasukkan sirup, lalu mengambil potongan karet dan mengikatnya. Tahu-tahu, sudah jadi beberapa bungkus bakal es mambo dalam satu menit saja.
“Pak, anak kita kan hanya cleaning service di kantor, sementara temannya tadi, lihat! Dia bahkan membawa mobil mewah juga. Apa dia juga cleaning service?”
Pak Gito menghentikan aktivitasnya. Sadarlah ia, jika apa yang dikatakan istrinya masuk akal.
“Apa mungkin dia cleaning service, yang bapaknya punya tujuh rumah dan tujuh mobil?” kata Pak Gito polos.
Namun, matanya sudah menyasar Adenium, yang bahkan tidak tertawa dengan kata-kata lelucon dirinya. Anaknya itu hanya diam, bengong.
“Mikirin apa, sih, kok bapaknya cerita, malah dicuekkin?” tanya Pak Gito pada Adenium. “ini lho, Bapak sama Ibu bingung, siapa sebenarnya Nak Manihot itu. Katanya, teman kerja kamu. Tapi, Ibu terlihat tidak yakin,”
Adenium mengambil sejumput senyum. Mengisi bidang wajahnya yang sedari tadi agak linglung.
Ya, dia masih memikirkan perkataan Manihot yang mengatakan bahwa Asmoro brengsek. Sesungguhnya, dia kesal dengan sikap sok tahu Manihot.
“Dia teman kerjamu, kan?” tanya Pak Gito.
Setelah membuat es mambo dengan essens pandan, kini dia beralih membuat dengan es mambo jeruk. Pak Gito sengaja membeli sirup berkualitas baik, meski dia diejek oleh sesama pedagang, karena biaya produksi es mambonya jadi mahal.
“Saya dan keluarga juga makan, masak saya kasih jual es yang membuat orang sakit,” Demikian kilah lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga ini.
Dia berdehem sebentar. Masker yang dia pakai sewaktu membuat es mambo sedikit bergeser dan membuatnya tidak nyaman.
“Kok, tidak dijawab?” kata Pak Gito. “tebakan Bapak salah apa?”
“Tidak, Pak! Dia memang teman kerja Adenium,” kata Adenium lirih.
“Wooo, berarti hebat sekali dia. Cleaning service, tapi punya mobil mewah. Apa dia keturunan orang kaya tujuh turunan?” tanya Pak Gito lugu. Sibuk dia menuangkan larutan jeruk pembuat es mambo.
“Pak, apa mungkin demikian?” Bu Alma ikut-ikutan bicara. “dia selingkuhanmu, ya, Adenium?”
Bapak menghentikan kegiatannya. Manik matanya menyorot tak suka.
“Apa benar itu, Nak?” dehemnya, seraya membetulkan maskernya kembali.
Dengan sigap, Bu Alma mengambil sebuah masker baru, lalu menyerahkannya pada Pak Gito. “Ambillah, Pak. Masker lama sudah tak nyaman, sepertinya.”
Pak Gito mengambil. Sementara sorot matanya tetap terarah pada Adenium. Dia menuntut jawab.
“Bukan, Pak. Ibu ini, ada-ada saja,” kata Adenium terkekeh. “Adenium setia, kok, pada Mas Asmoro,”
Bu Alma juga mengernyitkan dahi. “Iya, Bapak kok sebegitunya? Ibu tadi hanya bercanda,”
“Baguslah, kalau itu selingkuhan, Adenium,” seloroh Pak Gito. “lagipula, apa yang bisa diharapkan dari seorang lelaki, yang tak kunjung melamar Adenium. Sudah dua tahun, lho,”
“Hush! Pak! Kok bicara begitu?” Adenium tampak keberatan, demikian dengan ibunya.
“Bapak hanya bercanda, Nak,” kata Pak Gito. “berarti satu-satu sama Ibu,”
Bu Alma tertawa. Dia sedikit lega. Meskipun, apa yang dikatakan Pak Gito barusan sempat ia tanyakan pada Bu Alma beberapa bulan lalu.
“Sudah ketawanya, jangan keras-keras. Nanti Alamanda dan Nusa bangun,” sergah Pak Gito. “Baik, kalau itu bukan selingkuhanmu. Lalu, tebakan Bapak ditertawakan Ibu, artinya dia bukan cleaning service. Siapa Manihot bermobil mewah, yang mau mengantarmu itu?”
“Dia ... CEO SKY Company, tempat Adenium dikirim oleh perusahaan outsourcing untuk jadi cleaning service.”
Pak Gito dan Bu Alma melongo. “Ci – i – Ou? Itu bukannya jabatan seperti bos besar perusahaan?” kata Pak Gito.
“Kamu serius itu CEO?” tanya Bu Alma. “Astaga! Mimpi apa aku menjahitkan baju CEO. Harus kuselesaikan malam ini, kalau begitu,”
“Bu, Ingat ginjalmu,” kata Pak Gito.
Bu Alma menggeleng. “Tenang, Pak. Ini akan baik-baik saja. Lagipula, pola bajunya sama dengan punya Nak Asmoro. Ternyata, postur mereka sama,”
Adenium tersenyum smirk. Dia mendekati Ibunya.
Dia ingin mengerjai Manihot. Hitung-hitung, karena lelaki ini sudah membuatnya senam jantung selama bekerja. Dan Adenium pun membisikkan sesuatu.
***
“Beti!” Manihot terburu-buru mengejar stafnya yang berkacamata dan berambut ombre coklat sebahu itu.
“Oh, Pak Manihot, ya ... laporan stock opname dari bagian sarana sudah saya sampaikan di meja sekretaris bapak.”
“Bukan itu, Beti. Apa kau melihat A ...,” Manihot membatalkan kata terakhirnya.
Jika tidak, Beti mungkin akan sangat terkejut. Bagaimana mungkin, Manihot bisa menyebut nama seorang cleaning service dengan lancar jaya? Itu aneh.
Lagipula, Beti belum tentu mengenal Adenium. Cleaning service baru dari lantai empat dan lima, yang sejak detik pertama sudah memikat hatinya.
“A apa, Pak? Adigun, Adelia, Amanda, Atmo?” Beti membeliakkan matanya.
“Bukan!” kata Manihot.
Sehari tak melihat Adenium, dia tiba-tiba merasa resah. Ke mana saja kamu, Adenium? Kamu sengaja menyiksaku?
Atau ..., Manihot merenggut rambutnya secara serampangan. Dia seperti seorang putus asa.
“Pak, apa bapak oke? Kok, rasanya aneh, ya?” Beti bertanya. Dia belum pernah melihat Pak Manihot sepanik ini.
“I’m fine? Apa kamu tidak pernah melihat lelaki frustasi?”
“Kenapa Bapak frustasi?” tanya Beti.
“Nenek Kepo! Berhenti bertanya demikian. Sudahlah, aku harus beritahu,” Manihot akhirnya menyerah. “Apa kamu melihat cleaning service, yang tempo lalu aku marahin karena menguping?”
Beti berpikir keras. “Ooh, cleaning service yang cantik itu. Jujur, sih, Pak, aku benci mengatakan bahwa dia terlalu cantik untuk sekedar cleaning service. Aku, sebagai wanita, merasa iri,”
“Oh, come on, Beti, aku tak butuh curahan hati wanita julid. Tell me, do you see her?” kata Manihot terburu.
Beti menggeleng pelan. “Saya pikir, dia sudah dipecat, Bapak!”
Dan fix, Manihot semakin panik. Mungkinkah, tingkahnya yang berlebihan sampai mengajak Adenium menikah, membuat perempuan itu ketakutan? Lalu ... dia mengundurkan diri.
“Ah, Adenium, kamu berlebihan. Harusnya, kamu bisa terima itu sebagai cobaan kerja.”
Beti yang cerdas merasa prihatin, lalu tersenyum. Ternyata, Manihot tadi berpura-pura tak mengenal nama Adenium. Mungkinkah ini seperti drama Korea, CEO jatuh cinta pada cleaning service.
“Baik, Beti. Kamu boleh pergi,” kata Maniho, lalu berbalik badan gontai.
“Pak Manihot,” terdengar Beti memanggil. Namun, lelaki itu sudah kehilangan semangat.
Plak! Beti menepuk lemah belakang Manihot.
“Maaf, Pak. Sepertinya, aku tahu, di mana cleaning service bernama Adenium,” kata Beti.
“Di mana?” Wajah Manihot tak mampu menahan ceria.
Fix, atasanku jatuh cinta pada cleaning service. Batin Beti.