Bab 12 Introgasi Seorang Pencemburu
Bab 12 Introgasi Seorang Pencemburu
“Pak Manihot,” terdengar Beti memanggil. Namun, lelaki itu sudah kehilangan semangat.
Plak! Beti menepuk lemah belakang Manihot.
“Maaf, Pak. Sepertinya, aku tahu, di mana cleaning service bernama Adenium,” kata Beti.
“Di mana?” Wajah Manihot tak mampu menahan ceria.
Fix, atasanku jatuh cinta pada cleaning service. Batin Beti.
“Hei, kamu mengerjain aku?” tanya Manihot.
“Mana mungkin saya berani, Pak?” kata Beti.
“Lantas, dia di mana?”
Beti menunjuk ke samping kiri. Seorang perempuan berpakaian OB hendak masuk ke ruang Femila.
“Tuh, Pak! Sepertinya Mbak Adenium yang cantik itu hendak masuk ke ruang Bu Femila.”
“Lho, ini bukan wilayah kerjanya. Lantai berapa ini? Kenapa dia di sana?” Manihot mengernyit.
Membiarkan Beti terlongo. Bos Aneh, gumannya dalam hati. Hakikatnya, Manihot juga demikian. Mau apa dia bertanya pada Beti di lantai ini, sementara dia tahu wilayah ini bukan area OB itu.
***
Adenium, masih sibuk mengelap-elap beberapa guci antik penghias ruang kerja Femila. Jika disebutkan satu kata, maka kata GLOWING agaknya bisa menjadi perwakilan untuk suasana di sana.
“Apa kamu melihatku berciuman dengan Manihot tempo lalu?” tanya Femila lancang, seraya menggesek-gesek kukunya dengan alat pedicure – manicure.
“Ti ... tidak, Bu,” kata Adenium gugup.
“Halah! Sok belagak suci. Bilang saja, kamu lihat. Iya, kan?” cecar Femila.
“Ma ... maaf, Bu. Saya tidak tahu, jika Ibu dan Pak Manihot sedang ber ...,”
“Aku sengaja!” Kata-kata Femila mengagetkan. Sejenak, dia ketuk-ketuk alat stainless pedicure-nya.
Perempuan cantik, anak Sky Raharjo ini berdiri. Ketuk-ketuk highheels yang bertalu-talu terasa menakutkan Adenium.
Dan perempuan ini berhenti. Tepat di depan Adenium.
“Kamu tahu kenapa?” tanya Femila.
Adenium menghentikan aktivitasnya. Dia sembunyikan lap kotor di balik pinggangnya.
Adenium menatap sebentar. Lalu menunduk. Tatapan Femila sama berwibawa dan menakutkannya seperti Manihot. Mungkin, begitulah tatapan orang-orang terpandang.
“Kamu sukanya diam-diam saja, ya? Aku perhatikan, sewaktu sama Manihot, kamu juga begitu. Ditanya, diam. Ditanya lagi, malah makin bungkam. Punya mulut atau ... kamu merasa Ratunya Manihot?”
Kata-kata Femila menakutkan. Adenium semakin terdiam. Dia tidak mengerti, kenapa Femila mengatakannya Ratunya Manihot. Apa maksudnya?
“Aku sengaja menyuruh kamu melihat kejadian itu, supaya kamu tahu. He is mine. DIA MILIKKU!” ultimatum Femila.
Femila nyalang menatap Adenium. Dia sedikit kesal, karena Adenium masih bungkam.
“Apa kamu keberatan?” tanya Femila.
Adenium menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa pula dia harus keberatan?
“Sure? Kamu yakin? Sepertinya kamu cemburu,” kata Femila.
Brak! Kedua tangan Femila menepuk bahu Adenium tiba-tiba. Membuat perempuan ini terkejut bukan kepalang.
“Tingginya cukup tinggi untuk perempuan Indonesia. Cantik, kuning langsat, dengan parfum murahan. Ah, sudahlah, kalau parfum bisa kita bilang itu trik,” Femila mengoceh, yang semakin tak dimengerti oleh Adenium.
“Anak siapa kamu? Bapakmu punya perusahaan apa?” tanya Femila sinis. “Aku masih dengan keputusanku dulu, bahwa kamu anak orang kaya yang menyamar. Kamu mantannya Manihot, kan?”
“Bu ... bukan, Bu,” kata Adenium gugup.
“Ibu? Woa, kereeen, kamu memanggilku Ibu, seolah aku sudah berkerut-kerut keningnya, dan kamu masih cantik – sok kemudaan. Iya, kan? Brengsek!” maki Femila kesal.
“Kamu jujur saja, sih, Kamboja Jepang alias Adenium. Namamu yang unik, wajahmu yang cantik, sulit dipercaya kamu orang biasa. Apa perusahaan Bapakmu lebih kaya dari ayahku?”
Adenium tersedu. Dia melelehkan air mata.
“Jangan menangis! Cengeng!” kata Femila.
“Orang tua saya, bapak saya ... hanyalah pedagang es mambo, Mbak Femila. Saya hanya cleaning service, yang cari makan di sini!” kata Adenium.
Kreek! Pintu dibuka. Dan wangi parfum Perancis semerbak dengan keharuman hommi menyeruak.
Lelaki berblazer blue navy itu tersenyum pada Femila. Mengangguk sebentar, lalu menyeret tangan Adenium.
Femila melongo tak percaya. Manihot begitu lancang di depannya.
“Apa-apaan kamu, Manihot!” sergah Femila.
“Maaf, Bu. Dia bukan OB di ruang Ibu. Jadi, dia mau saya bawa keluar,” kata Manihot.
“Gila kamu! Ayahku tidak membayarmu sebagai CEO hanya untuk mengurusi hal remeh-remeh begini. Sekedar Cleaning Service, kamu sebegitunya mengurusi. Mencurigakan,” Femila berkacak pinggang, dengan tatapan sinis pada Manihot.
“So, kamu bisa mengadukan perbuatanku ini pada Pak Sky Raharjo – ayahmu. Mungkin, dia akan memecatku,” kata Manihot enteng.
Femila tersenyum. Keberanian Manihot, yang tak gentar sekalipun dia anak owner, membuat Femila terpukau. Dia terobsesi mendapatkan ini.
“Baik, aku salah! Silahkan kamu bawa bawa OB ini,” kata Femila.
Dan sepanjang dia hadir di muka bumi ini, baru kali ini dia berbuat konyol : mengizinkan CEO lancang mengambil seorang OB di ruangnya.
“Tapi, bisa kamu jelaskan, Pak Manihot, siapa sebenarnya dia?” tanya Femila.
Manihot tersenyum. Tajam dia tatap Femila. “Dia? Seperti yang kamu lihat, dia adalah OB atau cleaning service. Namun, haruskah aku bilang jika dia adalah calon istriku juga?”
Jger! Tak hanya Adenium, Femila yang mendengarnya seperti tertampar.
Tangannya mengepal. Netranya seperti hendak menenggalamkan Manihot ke dalam Samudera Atlantik. “Ca ... calon istri?”
***
Seorang perempuan berseragam OB menekuk mukanya. Dan Manihot hanya cuek saja.
Bahkan, sudah lima belas menit perempuan itu dibiarkannya saja berdiri. Sementara dirinya asyik memeriksa beberapa laporan.
“Jika tidak ada yang perlu saya bersihkan di sini, saya sebaiknya pergi, Pak,” kata Adenium hormat.
“Kamu sudah membawakan aku kopi tubruk dari pantry, lalu kulihat kamu membawa tote bag. Apa itu pesanan bajuku pada Mama, eh salah, pada ibumu?” Manihot tak sedikit pun melirik pada Adenium.
Dia malah mencoret beberapa laporan dengan sebuah stabilo berwarna hijau neon. “Sudah kubilang cost-nya diturunin, masih saja tidak bisa,” gerutunya pada diri sendiri.
“Iya, Pak,” Adenium menyerahkan benda dimaksud. “kalau begitu, saya permisi,”
“Apa kamu marah, karena aku mengatakan pada Femila, bahwa kamu calon istriku?” tanya Manihot, seolah tak menyambung.
“Iya, saya marah dan kesal, Pak,” Adenium mencoba jujur.
“Kalau begitu, kenapa tidak mengoceh sedari tadi? Sudah lima belas menit, aku hanya berdiam. Maksud hati, aku hendak menunggumu mengatakan kemarahan padaku,” kata Adenium.
Adenium terperangah. Beberapa hari ini, dia bisa bertegur sapa dengan orang-orang dengan jabatan terpandang. Ternyata, kata-kata mereka sulit dimengerti Adenium.
“Bapak tadi bukannya asyik melihat laporan. Tidak mungkin saya memarahi bapak saat itu,”
“Oke! Sekarang saya tidak melakukan apa-apa, kamu boleh marah padaku sekarang!” tantang Manihot, membuat Adenium terlongo.
“Saya bukan siapa-siapa, Pak. Sudahlah, maaf, saya permisi. Tapi, saya mohon jangan lagi mengatakan hal yang tidak-tidak. Saya bukan calon istri bapak, dan saya sudah punya kekasih.”
“Apa baju ini boleh kulihat sekarang? Agaknya, ini bagus,” tukas Manihot, seolah tak menggubris kata Adenium.
Adenium terdiam. Namun, dia maklum, jika omongan dari perempuan berkelas rendah seperti dirinya mungkin hanya seperti kentut saja bagi Manihot.
“Iya, Pak,” kata Adenium lirih. Namun, senyumnya sedikit mengembang. Setidaknya, dengan cara ini dia bisa membalas Manihot yang lancang.
Manihot secara tergesa melihat baju, yang ia pesan pada Bu Alma. Sebuah baju yang mirip bajunya Voltase Asmoro.
Srek! Senyum Manihot berkembang. Melihat baju long sleeve berwarna biru denim itu.
Namun, betapa terkejutnya ia, saat melihat saku baju itu berwarna pink neon.
“Pink? Sakunya pink?” kata Manihot tak percaya. Dan sepersekian detik, ia bisa menangkap bahwa pelakunya adalah Adenium.
Ya, Manihot sangat yakin, bahwa Adenium yang memprovokasi ibunya untuk membuat kemeja bersaku pink.
Oho! Calon istriku, kamu mau main-main denganku, ya? Ow! TIDAK BISA! Batin Manihot.