Bab 13 CEO Bersaku Pink
Bab 13 CEO Bersaku Pink
“CEO Gila!” kata Adenium, seraya bersandar di sebuang tulang dinding pantri.
Perempuan itu mengacak-acak rambutnya. Sementara Inem – perempuan yang ia gantikan saat sakit, membersihkan lantai lobi hanya melongo keheranan.
“Adenium, aku bawa singkong goreng enak, lho. Aku bawa banyak, sebagai ucapan terima kasih. Kok, nggak dimakan? Kamu malah senewen di sudut begitu,” protes Inem.
“Singkong itu berarti bahasa latinnya Manihot uttilisima, iya kan?” kata Adenium.
Dan keheranan Inem menjadi berganda alias double. Memperlihatkan satu gigi ompong di tengah dengan jelas.
“Mana aku tahu, Biologi pas sekolah menggenaskan. Hanya dapat lima atau enam. Itu juga pas SMP, pas SMA aku ambilnya SMK jurusan fashion, tapi tidak tamat. Dan sekarang, malah jadi OB,”
Adenium sedikit tersenyum. Maklum, Inem menceritakan itu dengan penuh penghayatan.
Bukan yang pertama. Namun, sudah puluhan episode yang sama, Si Inem berkisah. Dan selalu menitikkan air mata, mengingat sekolahnya yang tak selesai.
“Kenapa, sih? Kok anti sekali dengan singkong. Sebentar ... Manihot itu CEO di sini, kan? Jadi, yang kamu maksud CEO gila sedari tadi itu Pak Manihot?” tukas Inem tak percaya.
Adenium mengangguk lirih. Ini membuat Inem semakin bersemangat mengkorek informasi.
“Lelaki bongkok, jangkung, tapi tampannya minta ampun itu, kan? Apa kamu ditaksir oleh Pak CEO itu? Wow, Adenium. Sikaaat! Perbaikan harkat, derajat, martabat, dan baju!” kata Inem berapi-api.
“Baju?” Adenium mengernyitkan dahi.
“Ya iyalah, Non. Baju! Dengan menjadi kekasih CEO, bajumu akan branded dan bling-bling,” Inem berkata, seraya menerawang. Barangkali perempuan imut-imut tingginya ini sedang berkhayal.
Adenium menepuk jidatnya. Susah punya teman alumni fashion, yang terkontaminasi sedikit matre. Dikit-dikit, dinilai materi.
Syut! Sebuah colekan dari Inem. Lengkap dengan kedipan matanya, membuat Adenium bergidik.
“Adenium! Katakan sama senior, kamu dijadikan kekasih atau simpanannya CEO!” Inem mendekatkan daun telinganya, seraya menepuk-nepuk dadanya.
“Woi, Inem! Lancang sekali kamu, Nisanak!” Adenium terperangah.
“Lha, kan gosipnya Pak Manihot itu punyanya Mbak Femila. Sejak pertama kali dikirim perusahaan outsorcing kita, aku sudah tahu itu. Jadi, mungkin saja kan, kamu ditawarinya jadi simpanannya, begitu.” Bibir tebal Inem sibuk berhalusinasi.
Adenium menggeleng lemah. “Bukan! Aku tidak ditawari menjadi kekasihnya, apalagi simpanannya. Aduh, Inem. Aku bukan cabe-cabean yang kegenitan,”
“Lantas apanya, dong? Gundiknya? Atau TTM dia alias Teman Tapi Mesra?” Inem semakin lancang.
Mata belo-nya membulat sempurna, dengan telinga menunggu jawaban seawas mungkin. Suara lalat bersin saja, mungkin Inem tahu.
Adenium menatap temannya lirih. Dia tahu, Inem tukang kepo. Namun, sepertinya Inem bisa dipercaya.
“Dia memintaku jadi istrinya,” jawab Adenium jujur.
Brak! Inem menghentakkan mug berisi kopi ke meja pantri. Mulutnya membisu sejenak, dengan sorot yang setajam silet.
Perempuan ini menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, pantatnya bergeser mendekati Adenium pada kursi panjang itu.
Des! Inem tempelkan tangannya ke dahi Adenium.
“Tidak kusangka, flu dan meriangku menular padamu dengan cepat,” seloroh Adenium.
Adenium mengernyit. “Maksudnya?”
Inem berdehem sejenak. Lalu, tiba-tiba ia mengupil, membuat Adenium bergidik, dan refleks menggeser badannya menjauhi Inem.
Selepas mengupil, bukannya bilang maaf, wajah tanpa dosa Inem malah menatap Adenium dengan bijak.
“Duhai Adenium, penunggu lantai empat dan lima. Maksudnya, kamu OB di sana, bukan jinnya” kata Inem. “kalau mimpi jangan ketinggian. Nanti, jatuhnya sakit.”
Adenium terlongo. Dia tatap Inem yang tersenyum seolah merendahkannya.
“Sekalipun bongkok, Pak Manihot itu sangat tampan paripurna. Jadi, mana mungkin dia jatuh cinta pada seorang OB, lalu berniat menjadikannya istri. Itu halu sehalunya,” nasihat Inem bijak.
“Mari bekerja kembali, Adenium. Sudah cukup dengan berkhayal. Kutinggal singkong jenis mentega ini di atas meja. Barangkali, dengan mengunyahnya, kamu menjadi waras dan sadar. Atau, perlukah kusiram dengan sebuah air doa?”
Lalu, dengan santainya, Inem meninggalkan Adenium. Dengan langkah seperti model papan atas. Kata Inem, dengan berlenggak-lenggok seperti itu, setidaknya dia merasa bahwa dia lulusan fashion sejati. Walaupun sejatinya tak lulus.
Adenium menghening. Antara geli dan sedikit lega. Sepersekian detik, dia bersyukur, jika Inem tidak percaya dengan ujarannya. Dia merasa salah bicara tadi.
Berrr, sebuah panggilan telepon menghampiri Adenium. Dari ayahnya.
“Halo, Ayah,” jawab Adenium.
“Adenium, apa kamu pulang malam lagi sore ini?” tanya Pak Gito.
“Oh, tidak! Ada apa ayah?” tanya Adenium.
“Bisa belikan obat Ibumu?” pinta ayah. “Maafkan Ayah, ya, Nak,”
Adenium tahu, jika sudah seperti itu, berarti ayahnya memang tidak punya cukup uang untuk membeli obat. Adenium harus membelikannya dengan uangnya.
“Oh, bisa, Ayah. Adenium kan baru gajian,” kata Adenium riang. “Apa mau kubelikan ponsel yang bisa WA juga, Ayah? Adenium sudah menabung untuk itu. Kasihan, jika ayah harus menelepon terus.”
Terdengar tawa haru dari panggilan itu. Lalu, Pak Gito menangis.
***
Suasana jalanan bertrotoar itu cukup ramai. Namun, dagangan Pak Gito masih separuhnya.
Sebagian lebih memilih membeli minuman kekinian, yang lebih menyegarkan ketimbang mengemut es Mambo. Sebagian lagi, tertarik, tetapi ragu dengan bahan yang dipergunakan oleh Pak Gito.
Lelaki ini tak patah semangat. Karena, ada saja yang membeli dagangannya.
Tiba-tiba terdengar riuh. Anak-anak SMP dari seberang jalan, pelakunya. Sepertinya, mereka sudah jam pulang.
Dan ini memancing Pak Gito untuk menyeberang dan berjualan di depan sekolah tersebut. Barangkali dengan begitu, dagangannya cepat habis.
Untuk sejenak, dia seka sisa air matanya. Dia baru saja menelepon anaknya – Adenium.
“Maafkan aku, Nak, selalu merepotkanmu. Aku tahu, Asmoro masih tak hendak menikahimu, karena kamu tulang punggung yang harus menanggung juga pengobatan Ibumu dan biaya sekolah adik-adikmu,” lirih Pak Gito berkata pada dirinya sendiri.
Dia angkat dua bok es besar. Satu di tangan kanan, satu lagi di kiri.
“Percayalah, bapak akan berusaha dua kali lebih keras. Agar tidak selalu merepotkanmu,” kata Pak Gito lagi.
Dia raup oksigen sejenak. Napas tuanya merasakan sedikit lega.
Dia toleh kanan. Dia toleh kiri. Memastikan bahwa tidak ada kendaraan yang melintas.
Lalu, tapak kaki Pak Gito mulai melangkah, menyusuri jalanan dengan tergesa. Brek!
“Aaaaw,” Sebuah lolongan kesakitan terlepas dari mulut Pak Gito. Rasanya nyeri sekali.
Kaki Pak Gito tiba-tiba terkilir. Mungkin, karena dia tergesa-gesa, sementara barang bawaannya cukup berat.
Belum sempat Pak Gito melangkah lagi, dari arah belakang sebuah mobil melaju sangat kencang. Dan Braaak!
Tubuh Pak Gito terhantam kuda besi bertipe citi car berwarna merah itu. Membuat es-es mambo dalam boks esnya keluar dan terlempar di udara.
Lalu es-es itu jatuh mendarat di kerasnya aspal. Seiring dengan tempurung kepala Pak Gito, yang juga ikut-ikutan mendarat di sana.
Sejenak, supir mobil yang ternyata masih anak terong-terongan keluar. Namun, segera dipanggil teman-temannya, yang masih di dalam mobil, untuk segera kembali.
Remaja-remaja itu berisik. Mengompori temannya, yang menjadi supir, untuk kabur. Dan mobil bertipe citi car berwarna merah itu pun kabur. Tabrak lari.
Kepala Pak Gito nanar memandangi kepergian penabraknya. Darah mengalir pada pelipisnya yang sobek.
Menjelang hilang kesadarannya, dia masih sempat melihat seorang lelaki tergopoh menolongnya. Seorang pria tinggi dengan baju denim biru bersaku pink.