Bab 14 Ampun Bang Jago, Yeah Bum Bum Bum
Bab 14 Ampun Bang Jago, Yeah Bum Bum Bum
Inem masih mematut-matut lipstick merah menyala, bertaut kedua lapis bibirnya. Namun, tapak yang begitu tergesa menghentikannya.
CEO Manihot. Ya, orang paling terkenal di gedung ini tampak tergesa.
Buru-buru Inem kembali bekerja. Dari cerita Adenium dan teman-teman OB lain, CEO ini terkenal menakutkan dengan mata tajamnya.
Ekor matanya melirik. Lalu, dia mengumpat pada dirinya sendiri.
“Sial! Kenapa Pak Bos itu mendekat padaku. Mak, tolong anakmu ini, Mak,” Inem ketakutan. Dia lengoskan wajahnya ke samping.
Pura-pura tidak melihat. Dengan waktu sesempit itu, dia berdecap-decap. Barangkali, lipstiknya yang merah cethar membahana terlalu norak, dan terlihat menyilaukan Pak Manihot dari kejauhan.
“Hei kamu! Yang pakai lipstick merah cabe!” teriak Manihot.
Jger! Rasanya, Inem ingin mengecil seperti liliput kurcaci. Lalu, dia akan bersembunyi di mana saja.
“Punya telinga?” kata Manihot enteng. Napasnya sedikit tersengal.
Inem makin panik. Benar kata rekan-rekan, Manihot sangat jutek.
Mau tak mau, Inem berbalik. “Maaf, Bapak memanggil saya?”
“Apa ada yang memakai lipstick merah cabe di sini, selain kamu?” Balasan Manihot membuat Inem kikuk.
Perempuan ini menggeleng malu. Lalu, dia memberanikan menatap Manihot.
Alamak! Ternyata dia sangat tampan. Kenapa selama ini aku hanya peduli dengan bongkoknya?
“Tidak ada, Pak. Kalau boleh tahu ...,”
“Apa kamu melihat Adenium?” tukas Manihot cepat, seolah tahu yang ada dalam pikirannya perempuan ini.
Inem terlongo. Membulat, dengan donat mini yang bisa masuk seketika ke dalam longoan mulutnya. Lepas kemoceng dan lap pembersih dari tangannya, saking kagetnya ia.
“Jadi benar kata Adenium? Bahwa Bapak Manihot melamar dia sebagai calon istri?” Inem terpekik.
Ampun Bang Jago, yeah bum bum bum. Ternyata, drama Korea itu benar adanya. Batin Inem terpukau.
Seorang lelaki kaya raya jatuh cinta pada staf OB super cantik. Semoga saja, endingnya bukan seperti isteri-isteri dalam sinetron ‘Ku Menangis’. Ditinggal, setelah saripatinya dihisap.
Namun, sedetik kemudian, Inem segera menutup mulutnya yang ember. Sungguh, tak ia sangka jika dirinya bisa kelepasan bicara sedemikian rupa.
“Apa dia cerita padamu?” Manihot menyusupkan sedikit senyum pada wajah paniknya.
Inem mengangguk. Dan sadarlah dirinya, jika lelaki ini bajunya penuh bercak darah. Pertanda ada yang genting dengan Adenium.
***
Adenium masih sibuk mengelapi kaca-kaca patri yang membentuk lukisan merak besar, yang juga menjadi partisi sebuah dinding di lantai empat. Sampai dia mendengar teriakan Inem memanggilnya.
“Adenium!”
Perempuan berambut hitam berkilau itu menoleh, lalu mendapati teman cetarnya berlipstik merah cabe ini sedang bersama dengan Manihot.
Astaga! Biang kerok itu, kenapa dibawa Inem ke sini? Kata Adenium dalam hati.
Namun, Adenium mengernyitkan dahi, sewaktu melihat Manihot memakai baju denim bersaku pink buatan ibunya. Lelaki ini berarti menepati janjinya.
Tadi, di ruangan Manihot, lelaki itu sesumbar akan memakai baju unik ini, sekalipun sakunya pink menyala feminim. Bahkan, dia dengan santai melepas kancing-kancing bajunya, yang membuat Adenium lari terbirit-birit ke luar ruangan.
Tapi, semakin dekat, maka jelaslah bahwa banyak bercak pada baju tersebut. Darah!
Adenium spontan mendekat. “Pak Manihot, apa bapak terluka?”
Manihot tersenyum. Dia hendak tersipu. Namun, ini bukan saatnya.
“Ayo ikut aku, Adenium!” kata Manihot sedikit lirih, namun terasa mengintimidasi.
Adenium memetakan kebingungan. Wajahnya menuntut tanya.
Srek! Tanpa ba bi bu, Manihot menarik lengan perempuan ini.
“Sebentar, ada apa ini, Pak?” Adenium menarik tangannya. Lalu, dia hentakkan, hingga pergelangan tangannya terlepas dari Manihot.
Manihot memandang sejenak. Dengan deru napas seperti maklum, jika Adenium terlihat menolaknya.
“Maaf, akan kujelaskan di perjalanan. Sekarang, ikut dulu aku, Adenium!”
“Tidak! Ada apa ini, Pak?” tanya Adenium tak sabar.
Manihot saling bertatapan dengan Inem. Dan perempuan berlipstick cetar itu mengangguk, seolah paham dengan perintah Manihot.
“Adenium, sebelumnya jangan kaget, ya!”
Adenium kini menoleh pada Inem. Wajahnya diliputi kecemasan.
“Ada apa, Inem? Jelaskan! Kenapa Pak Manihot seperti ini?”
Inem tampak seperti tak tega. Namun, bagaimanapun dia harus mengutarakan ini.
“Ayahmu kecelakaan,” kata Inem prihatin.
Dan sontak, sendi Adenium melunglai. Dengan sigap, Manihot menahannya.
“Ayaah!” jerit Adenium ketakutan.
“Tenanglah! Adenium, ayahmu masih dirawat!” Manihot berusaha menenangkan.
“Tidak! Ayaaah!” Adenium menggigil ketakutan.
Lalu, Dia menatap Manihot dengan nyalang. Matanya menyala-nyala.
“Kamu yang menabrak ayah saya. Iya, kan?” cecar Adenium.
“Bu ... bukan ...,”
Gedebuk! Gedebuk! Tanpa menunggu Manihot menjelaskan, Adenium sudah memukuli dada Manihot.
***
Senja menguning sudah. Tampak Adenium, Bu Alma, dan kedua adik Adenium – Alamanda dan Nusa mengerubungi ruang rawat itu.
Dinginnya AC menggigilkan sedikit pundak para penunggu itu. Terutama Bu Alma, yang tampak merapatkan sweater rajutannya.
“Nak, ini bisa dikecilkan tidak, ya? Ibu kedinginan?” Bu Alma akhirnya memberanikan diri berkata.
Adenium mengangguk. Dia sedikit banyak mengerti cara mengatur suhu AC. Setiap pagi, kerjanya adalah menghidupkan AC, seraya bersih-bersih.
Dia lakukan itu, agar para karyawan di ruangan sudah merasakan nyaman dan sejuk, bahkan sejak kali pertama masuk kantor. Tak heran, Adenium sering dipuji oleh para karyawan SKY Company.
Adenium menekan tombol atas. Dan suhu pun menaik.
“Apa sekarang sudah nyaman, Bu?” tanya Adenium. Dan Bu Alma mengangguk.
Lalu, pandangannya beralih pada ruangan dengan wallpaper pastel bertekstur ini. Dengan sebuah televisi super besar di sebuah dinding depan.
Pak Gito ternyata tidak terluka parah. Hanya pelipis dekat matanya, yang robek, dan mengeluarkan banyak darah. Beruntung, Manihot segera membawanya ke rumah sakit.
Tak cukup itu, Manihot sendiri yang menjemput Adenium. Lalu, menyuruh stafnya menggunakan mobil lain untuk menjemput keluarga Adenium yang lain.
“Ruangan ini bagus sekali, ya, Kak, seperti ruang hotel-hotel begitu,” celetuk Nusa. “bahkan, toiletnya seperti toilet orang kaya.”
“Seperti apa toilet orang kaya?” ledek Alamanda
“Ya, toiletnya duduk, kalau mau siram tinggal cur!” kata Nusa tak mau kalah.
“He he, kakak kita lagi gajian berarti, bisa-bisanya membiayai ruang inap ayah seperti ini,” tukas Alamanda.
Tiba-tiba, kepala Adenium merasa penat. Dengan lirih, akhirnya ia berkata, “Gaji kakak tiga empat bulan, rasanya tidak mampu membiayai biaya rumah sakit dan ruang rawat semewah ini,”
Dan ketiga pasang telinga yang mendengar menjadi bergidik. Mereka saling berpandangan.
“Jadi, siapa yang membiayai, Nak?”
Adenium menghening. Pertanyaan Ibunya seperti sebuah soal aljabar yang tak bisa ia pahami.
“Sepertinya Pak Manihot, Bu.”
“A ... apa? Kenapa dia berbuat baik seperti itu? Astaga! Ibu jadi deg-degan. Bagaimana kita harus menggantinya?”
“Wah, Kak. Angel iki (Susah ini – bahasa Jawa). Rumah sakit ini saja tarafnya sudah internasional. Pasti mahal!” Alamanda ikut-ikutan meruwetkan suasana.
Adenium terdiam. Lalu, dia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Iya, mau bagaimana lagi? Mungkin, yang terdekat dari lokasi kejadian adalah rumah sakit ini. Yang penting, Bapak selamat.”
“Iya, Nak. Tapi, tetap jangan lupa! Kamu harus mengganti biaya ini. Jangan sampai tidak,” nasihat Bu Alma.
Adenium mengangguk lemah. Dia tersenyum getir. “Iya, Adenium akan ganti ke Pak Manihot, Bu.”
“Tidak usah diganti!” tiba-tiba terdengar suara lantang.
Ternyata, Manihot sudah masuk ke dalam ruangan. Lelaki berkarisma ini mengangguk pelan pada keluarga Adenium.
“Akan saya ganti, Pak,” Adenium berkeras, tak mau kalah.
Manihot menggeleng tegas. Dengan seukir senyum pasta gigi.
“Tidak usah!” tegas Manihot.
[Masak sama ayah mertua hitung-hitungan – demikian batin Manihot nakal]