Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Aku Ingin Menikahi Putri Bapak

Bab 15 Aku Ingin Menikahi Putri Bapak

“Hutang tetap hutang, saya akan bayar pak,” tegas Adenium.

Manihot tidak membantah lagi. Membiarkan Adenium memasuki sorot matanya, berharap perempuan itu mengerti, jika ia tulus.

“Baiklah, nanti kita selesaikan di luar. Mbak-nya nanti saya ajak ke ruang adminstrasi,” Manihot mengalah.

Adenium sedikit tersipu. Tingkah Manihot jauh dari kata menyeramkan, seperti yang ia lakukan saat menjadi atasan Adenium.

Dan setelah bertegas-tegas ria, maka sekarang muncullah kebingungan. Uang darimana untuk membayar biaya rumah sakit. Penat kepalanya.

“Mas Manihot,” sapa Bu Alma mengalihkan sejenak pikiran Adenium tentang biaya rumah sakit.

“Iya, Bu,” kata Manihot.

“Terima kasih untuk semua bantuan, Nak Manihot. Apa jadinya, jika tak ada Manihot yang menolong,” Perempuan paruh baya itu berkaca-kaca.

Tangan Bu Alma memegang pundak Nusa, anaknya, sepertinya ia sedikit goyah. Dan Nusa mengerdik kepada Alamanda agar memegangi tangan Bu Alma pada sisi sebelahnya, agar tidak oleng ke samping.

“Tenanglah Bu Alma. Ini sudah takdir dari Tuhan,” kata Manihot.

Lelaki bongkok, tapi tampan ini, mengambilkan kursi untuk Bu Alma duduk. Sementara Adenium mengambilkan segelas air minum. Keduanya serasi, seperti ... pasutri.

“Nak Manihot,” Sebuah suara lirih menyapa. Rupanya, Pak Gito sudah bangun dari tidurnya.

Pak Gito meringis. Dia rasakan, sebagian tubuhnya dilekat perban.

Manihot menghampiri. Tubuh jangkung bongkoknya terlihat semakin membongkok.

“Pak Gito, bagaimana kabar Anda?” tanya Manihot.

Pak Gito mengukirkan senyum. Luruh netranya menatap Manihot.

“Rasanya masih nyeri, tapi sepertinya akan segera membaik,” kata Pak Gito. “sekarang malah kepikiran, bagaimana harus membalas kebaikan dirimu, Nak.”

Manihot menggeleng-gelengkan tangannya. “Bapak tidak perlu cemas,”

“Nanti Adenium yang menanggungnya, Pak. Tidak usah pikirkan itu dulu,” Adenium ikut menukas.

Pak Gito tiba-tiba menangis. Dengan segera, dia tepis air mata, yang tanpa kompromi meluruhi wajahnya.

“Ya, bagaimana tidak kepikiran. Bapak sudah hati-hati tadi menyeberang. Entahlah, tiba-tiba kaki rasanya sakit. Bapak tidak tahu mengapa,”

“Pasti ini karena Ibu, ya, Pak,” kata Bu Alma sendu.

“Lho? Kenapa Ibu berpikir seperti itu?”

“Ya, Bapak memaksa bawa dua boks besar, ngoyo, menjual es mambo sebanyak itu. Karena Ibu kan? Karena pengobatan Ibu,” Bu Alma semakin terpuruk.

Pak Gito terdiam. Tubuhnya yang paruh baya memang tidak sekekar saat muda.

“Tidak, Bu. Bukan salah Ibu. Ya, sepertinya memang sudah takdirnya begini,” kata Pak Gito menghibur.

Dan suasana hening. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Pak Gito menatap Adenium, yang saat ini wajahnya cukup tenang. Namun, dia tahu. Sesungguhnya pikiran Adenium sangat kusut, karena musibah ini.

Pak Gito menghela napas. Dia sendiri bingung. Bu Alma sebentar lagi akan kontrol kondisi ginjalnya, sementara dirinya malah mendapat kecelakaan tabrak lari. Belum lagi dengan biaya sekolah Nusa dan Alamanda.

Bu Alma terlihat memegang perut bagian bawahnya. Sedikit meringis. Tapi, dia tahan.

Perihal ini tak lepas dari tatapan Pak Gito. Dia tahu, istrinya sedang terbebani pikiran, yang terbawa pada suasana ginjalnya.

“Pak Gito, Bu Alma, maaf ... saya tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi, menanti waktu yang tepat, rasanya membuat saya selalu berpikiran tak enak,” Manihot membuka suara.

Pak Gito lekat menatap wajah yang membingkai hidung mancung mencuat. Dia memaksakan tersenyum.

“Ada yang ingin kamu katakan, Nak? Ah, ya, perihal pembayaran rumah sakit, ya?” kata Pak Gito. “kalau boleh, bapak mau minta tempo ...,”

“Bukan, Pak. Masalah itu sudah dibicarakan tadi bersama Adenium,” Manihot menyesap oksigen sejenak. “Ini masalah ... HATI,”

Kata terakhir membuat wajah Adenium, yang mendengar, terasa panas dan memerah. Dia merasa tidak enak.

Tangannya mengepal. Hatinya ingin melesakkan sebuah kecemasan. Apa pria bongkok ini hendak mengatakan hal gila, seperti saat keduanya pertama kali bersapa?

“Cieee, wah, ada apa ini?” kata Nusa meledek. Anak puber itu membuat Alamanda, kembaran tak sejenis gendernya, merengut.

Bagi Alamanda, dia lebih setuju dengan Voltase Asmoro – kakak calon ipar impiannya. Daripada Manihot, yang aneh, sok akrab dengan Adenium. Dia ketemu dengan Manihot juga baru-baru ini.

Namun, Alamanda menepis pikirannya. Tidak mungkin lelaki ini meminang kakaknya sekarang. Atau ... Manihot ingin membuat pengakuan bahwa dirinya adalah pebinor kakaknya?

“Gelay!” desisnya, yang didengar oleh Manihot. Lelaki itu tersenyum padanya. Dan Alamanda menundukkan kepalanya. Dia hendak buang muka, sebenarnya, tapi sedikit tidak enak karena bagaimanapun, Manihot lah yang menolong ayahnya.

“Dek Alamanda dan Dek Nusa, Mas Manihot juga mau izin dengan kalian untuk menyampaikan hal ini,”

“Katakanlah, Nak Manihot, ada apa?” Pak Gito penasaran.

Manihot menatap Pak Gito dan Bu Alma. Lalu, menatap Adenium yang wajahnya sudah seperti udang rebus. Manihot tersenyum melihatnya.

“Pak Gito, saya mengajukan diri untuk menjadi suaminya Adenium. Saya tidak mengenal Adenium dengan baik, demikian juga dengan dia. Tapi, saya tahu, dia baik untuk saya,”

Jger! Adenium melongo. Berharap apa yang dikatakan Manihot ini mimpi saja.

Nyut! Lengannya dicubit Nusa. “Ini bukan mimpi, ya, Kak! Sikaat, gaskeun!”

“Jangan dengarkan playboy cap kadal buntung, Kak! Setialah pada Mas Asmoro!” bisik Alamanda di sebelahnya.

Kedua adik kembarnya ini memusingkan kepala Adenium. Perempuan ini tak menyangka, bahwa lelaki di depannya ini benar-benar nekat dan serius.

“Apa yang kamu katakan itu serius, Nak? Kalau Bapak ...,”

“Maaf, Bapak. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Pak Manihot. Permisi,” kata Adenium.

“Tapi ...,”

“Pak, biarkan dulu. Barangkali, Adenium dan Nak Manihot butuh waktu sebentar,” cegah Bu Alma, yang sejujurnya juga terkaget-kaget dengan kata-kata Manihot.

Pak Gito maklum. Dia mengangguk. “Iya, silahkan, Adenium,”

“Terima kasih, Bapak. Adenium dan Pak Manihot permisi dulu,” Adenium melirik Manihot. Matanya mengisyaratkan lelaki ini untuk keluar.

Namun, Manihot tampak tenang. Dia malah pura-pura tak mendengar.

Srek! Lengan bajunya seperti ditarik paksa oleh Adenium. Membuat Manihot mau tak mau mengikuti. “Permisi, Pak, Bu,”

Dan tahu-tahu, dia sudah di luar ruangan. Pada sebuah lorong yang menghubungkan ruang-ruang rawat pasien.

“Maaf, Pak, saya menarik lengan baju Bapak, seperti ini,” Adenium akhirnya melepas lengan baju itu, setelah dirasa jaraknya cukup untuk berkata-kata.

Manihot tertawa. Dia tatap Adenium tak percaya.

“Oh, sopan sekali kamu, Istriku. Aku pikir, kamu akan memaki-maki aku, karena telah lancang meminangmu, meminta kamu pada Bapak,” kata Manihot.

Adenium mengepalkan tangan. Ingin dia berjinjit. Lalu memberi pelajaran pada bibir lelaki yang sudah lancang ini. Agaknya sebuah tamparan, akan membuat bibir itu merasa seperti memakan bon cabe level lima belas.

Namun, ia urungkan. Bagaimanapun, itu sebuah hal tak pantas. Apalagi, Manihot adalah penolong ayahnya.

“Kenapa, Pak?” kata Adenium.

“Kenapa apanya?” kata Manihot sok polos.

“Iya, kenapa Bapak terus-terusan mengatakan akan menikahi saya. Itu gila! Dan kini Bapak katakan itu malah di depan orang tua saya. Apa saya tidak makin gila, jadinya!”

Manihot menatap Adenium penuh kasih. Menyelami kemarahan Adenium dengan tenang.

“Karena itulah yang ada dalam pikiran saya, Adenium. Saya tidak ingin pacaran dan saya ingin menikahimu. Apa kamu tidak bisa menjawab yes saja?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel