Bab 16 Polos Boleh, Blo’on Jangan
Bab 16 Polos Boleh, Blo’on Jangan
“Jadi, katakan Yes saja. Sekarang! Bisa kan?” Suara Manihot tidak membentak, datar saja.
Namun, bagi Adenium rasanya sangat mengintimidasi. Dia beranikan menatap garang lelaki ini.
“Tak usah menatap seperti itu! Aku tahu, kamu tak bisa marah!” cetus Manihot lagi, sementara Adenium belum mengeluarkan satu patah kata pun.
[Aslinya, aku tak bisa menatap matamu. Terlalu indah, membuat jantung berbunyi ser ser ser.]
“Mau Bapak apa, sih? Apa Bapak mau mengerjai saya?”
Manihot tertawa santai. Dia selalu pintar berakting.
Andai saja kamu tahu, bahwa saat ini aku kesulitan bernapas. Betapa susahnya mengendalikan akrobatik jantungku, Adenium. Manihot mengeluh dalam hati.
“Mengerjai kamu? Rasanya, aku tidak pernah mencoba mengajakmu ke hotel, motel, atau losmen,” ledek Manihot.
Adenium sejenak memejamkan mata. Apa yang dia dengar barusan, truly madly memuakkannya.
“Bajingan!” desis Adenium.
Desibel suara itu terdengar di telinga Manihot. Lelaki ini tertawa kecil.
“Oups! Aku salah, ternyata kamu bisa marah juga, ya!”
Adenium diam. Memilin-milin ujung bajunya. Sejujurnya, dia jadi merasa tidak enak. Kata itu belum pernah sekalipun keluar dari mulutnya.
“Maafkan saya, Pak,” kata Adenium. “saya kelepasan!”
MAHLUK LANGKA YANG PALING SEKSI. Penyabar, bertutur kata baik, apa kamu manusia, Adenium? Seperti robot saja. Sungguh, calon pembimbing dari zuriat-zuriatku yang sangat sempurna.
Manihot melihat sekilas perempuan ini. Tersenyum senang.
“Aku tidak pernah salah menilai,” Manihot sedikit sombong. “kamu memang pantas menjadi calon istriku. Ralat, istriku. Jadi, mari kita kembali lagi ke ruang rawat,” ajak Manihot.
Kepala Adenium rasanya seperti tertimpa kelapa. Tuhan, mahluk apa yang kamu kirim kepadaku ini? Apakah dia bebal akut? Kenapa seenaknya sendiri menyimpulkan.
“Baik, mari kita jelaskan, bahwa tidak ada apa-apa antara kita. Pak Manihot harus mencabut ucapan Bapak tadi! Biar ayah dan ibuku tidak salah paham.”
“Kita ke ruang rawat bukan untuk itu, tapi bicarakan hari-hari lamaran, pesta, dan kira-kira busana pengantinnya seperti apa,” kata Manihot santai.
“Astaga, Pak! Bapak jangan bercanda. Rasa-rasanya, Bapak perlu ke psikiater. Menikahi orang yang tak bapak kenal sebelumnya, itu hal menakutkan! Bapak perlu konsul!”
Manihot hendak mengayunkan tangannya. Namun, dia batalkan menyentuh pundak perempuan ini. Sekalipun dia inginkan lebih dari itu, misal mendekap penuh haru karena bertemu perempuan ini.
“Aku pikir, psikiaternya akan memaklumi aku. Kamu terlalu mempesona, makanya aku kegatelan hendak menikahimu. Panu, kadas, kurap, kalah sama kegatelanku!”
Adenium refleks tertawa. Mahluk congkak itu mempermalukan dirinya sendiri dengan menyebut sebagai insan kegatelan. Namun, segera ditepisnya kelucuan itu. Ini bukan saat untuk berhumor.
“Kamu tertawa? Yeah, meskipun aku sombong, judes, tidak berperikemanusiaan – seperti yang kau dengar pada semua ocehan staf kantor, kamu harus akui. Selera humorku bagus. Dan aku setia orangnya.”
“BAPAK GILA!”
“Tanggung sekali! Tambahkanlah kata sableng, tidak waras, sekalian. Biar poll,” tukas Manihot.
“Bapak boleh setia, tapi jika itu terjadi, berarti saya yang tidak,” kata Adenium lirih.
Manihot mempersilahkan Adenium untuk duduk di barisan bangku koridor. “Sepertinya negosiasi kita akan lama, intim, dan penuh cinta. Duduk dulu!”
Adenium enggan. Dia tetap berdiri, dengan tatapan kosong lurus ke ujung koridor.
“Saya sudah punya kekasih. Namanya Voltase Asmoro. Bapak melihatnya sendiri di kedai susu,” kata Adenium.
“Ah, kamu memesan susu melon kan, ya? Sejodoh denganku,” tukas Manihot.
“Saya tahu, bapak orang yang baik,”
“Tentu saja,”
Adenium tersenyum kecil. Lelaki kepedean ini selalu mengintimidasi. Mungkin, karena dia seorang CEO. “Yeah, setidaknya hati kecil saya berkata demikian, karena saya belum kenal lama dengan bapak.”
“Nanti, kita punya waktu yang banyak untuk mengenal satu sama lain, kamu akan menjadi owner hatiku – istriku.”
“Tidak, Pak. Bapak bilang, Bapak orang yang setia. Saya pun juga. Saya setia pada Voltase Asmoro – kekasih saya,” tegas Adenium.
Jger! Seperti ditimpa dua ton besi, hati Manihot hancur. Dia tidak terbiasa dengan penolakan.
“Oh, kamu ...,”
“Terima kasih, Dek. Kamu berkata demikian di depan Bosmu,” Sebuah suara memotong perbincangan Manihot dan Adenium.
Seorang lelaki, sejangkung Manihot, dengan alis tebal yang nyaris bertaut, tiba-tiba sudah ada di antara mereka. Di tangannya, sebuah parsel buah tertahan.
Tajam tatapan Voltase Asmoro pada Manihot. Seolah ingin menelan bulat-bulat lelaki itu.
“Apa dia merayumu, Dek?” tanya Asmoro, tetapi dengan tatapan tak lekang pada Manihot.
Adenium terdiam. Dan Manihot merasa perlu bicara.
“Tentu saja, aku ...,”
“Tidak, Mas Asmoro! Kami sedang membahas biaya rumah sakit, lalu Pak Manihot malah bercerita tentang kisah cintanya,” tukas Adenium cepat, sebelum Manihot dengan bahasa ala CEO-nya yang tanpa dosa berkata.
Asmoro menyeringai. Oh, kisah cinta Si Bongkok ini rupanya tadi. Unta atau Sapi betina berpunuk mana yang menjadi pasangan Bongkok ini? Ejek Asmoro dalam hati.
“Oh, semoga seperti kisah cinta kita, ya, Dek. Awet, akur, sudah dua tahun,” congkak Asmoro.
Gantian, Manihot yang berseringai. “Waktu dua tahun? Rasanya ...,”
“Pak Manihot, kalau begitu, saya mengantar Mas Asmoro dulu, ya. Perihal biaya rumah sakit, nanti kita bicarakan, ya, Pak. Tidak enak, nanti Mas Asmoro salah sangka dengan kita,” Adenium kembali menukas. Entah kenapa, setiap Manihot bicara, dia selalu takut lelaki ini ceplas-ceplos.
Adenium pun mengajak Asmoro berlalu. Meninggalkan Manihot, yang memandangi perempuan ini sampai menghilang.
Perjalanan Asmoro dan Adenium menjadi sungkan jadinya. Mereka tidak berkata apa-apa lagi.
“Jadi, yang menolong Bapak dan membiayai rumah sakit ini adalah CEO kamu?” tanya Asmoro akhirnya.
Adenium mengangguk lirih. Dan sebuah risau terpeta di wajah Asmoro.
“Apa dia menuntut balas? Dia pasti akan memperalatmu, iya kan?”
Adenium menggeleng. “Tidak! Pak Asmoro malah berkata, bahwa biaya rumah sakit sudah ia ikhlaskan,”
“Gratis?” Asmoro tak dapat mengendalikan emosinya.
Adenium diam. Dia tahu, Asmoro cemburu mendengar hal itu.
“Gratis kah?” ulang Asmoro.
“I ... iya, Mas!”
“Halah! Pasti hanya pencitraan. Dia katakan itu pasti di depan Bapak dan Ibu kan?” suara Asmoro semakin tinggi desibelnya.
“Mas! Tenanglah! Iya, dia berkata demikian. Tapi, aku dan keluarga menolak. Akan kami ganti, biayanya, Mas,”
Asmoro akhirnya bernapas lega. Matanya sendu berkaca-kaca.
“Mas, kenapa? Kamu menangis?” Adenium bertanya.
Asmoro menggeleng. “Tidak! Aku hampir saja kehilangan harga diri, sebagai kekasihmu, jika kamu menerima tawaran pembiayaan CEO itu. Harusnya, aku yang membantu membiayai pengobatan Bapak,”
Kata-kata Asmoro membuat Adenium tersanjung. Ternyata, Asmoro begitu perhatian dengan keluarganya.
“Aku akan berusaha membantu biaya pengobatan Bapak,” tekad Asmoro. “aku akan bantu cicil pada CEO Bongkok itu!”
Adenium menggelengkan tangannya. “Tidak usah, Mas!”
Asmoro menatap Adenium lekat, tajam. Dia terlihat tak senang.
“Lho, kamu meragukanku, Dek?”
“Bukan begitu, Mas. Tapi, ini ... kan masalah keluargaku,”
[Sementara kita sendiri bukan apa-apa. Kamu bukan suamiku.]
“Aku juga akan menjadi keluargamu, kelak. Tenanglah, aku akan bantu melunasi hutang pembiayaan rumah sakit ini,” kata Asmoro mantap.
Adenium tersenyum haru. Blip! Tiba-tiba sebuah pesan terdengar di ponsel Adenium. Dari Manihot.
Manihot : Dear, calon istriku. Aku tahu kamu polos dan baik hati. Apa kamu yakin dengan Asmoro? Selidiki pakai mata, jangan pakai hati. POLOS BOLEH, BLO’ON JANGAN