Bab 17 Ketakutan Pemilik Cermin Ajaib
Bab 17 Ketakutan Pemilik Cermin Ajaib
“Cermin ajaib, katakan! Siapa yang paling cantik?” Perempuan dengan gincu impor Korea itu menatap sebuah kaca.
Cermin kaca itu simpel, dengan berlapiskan cover berwarna silver metalik. Sekilas seperti barang Tanah Abang yang bagus, tapi murah meriah. Namun, harga cermin itu sama dengan sebuah ponsel tujuh juta-an.
Entahlah, kenapa bisa mahal. Barangkali mengandung sunscreen dan anti aging, sehingga pantulan wajah yang bercermin auto cakep tiga kali lipat.
Yang jelas, barang itu selalu ada di tas ratusan juta milik Femila. Pasti.
“Apa? Aku yang paling cantik? Ha ha, jelas!” satir Femila.
Dia rengkuh oksigen, sebanyak paru-parunya menampung. Lurus tatapannya getir.
“Dan secantik ini, sekaya ini, semenarik ini, Si Manihot tetap tidak mau denganku,” monolognya terkekeh.
Perempuan dengan rambut lurus, dengan cat blue black yang membuat kilaunya semakin memikat, membanting stirnya ke kanan.
Merci berwarna merah itu menurut. Kuda besi itu memutar anggun, seanggun lagu-lagu balad yang mengalun di dalamnya.
Ya. Femila sedang menuju rumah Manihot. Lebih dulu dari Manihot, yang ia ketahui masih meeting.
Apa soal? Ternyata, ibu Manihot datang dari Jerman, bersama suami bulenya.
Manihot adalah anak yatim, ayah kandungnya sudah meninggal sejak ia berumur sembilan tahun. Lalu, beberapa tahun lalu, Ibunya menikah dengan Bule Jerman.
Dia harus cari muka. Bila perlu, meracuni pikiran perempuan itu untuk segera membujuk anak lanangnya menikah. Tentu saja, dengan Femila, bukan dengan perempuan lain.
Dia lirik goody bag eksklusif, yang stafnya sudah siapkan tadi. Duduk manis di sebelah kursi kemudinya.
“Batik tulis super premium ini pasti membuat Ibu Zea senang,” kata Femila. Senyum-senyum sendiri.
Sama seperti Manihot, perempuan yang mengandung lelaki ini juga memiliki nama unik, yaitu Zea Mays. JAGUNG.
Sebentar lagi, rumah Manihot sampai. Yang membuat Femila bangga, adalah pola pikir Manihot.
Pemuda itu tidak menyewa rumah, ataupun membeli apartemen di kawasan elit, melainkan membuat rumah super megah di kawasan pemukiman biasa. Tentunya, dengan gaji CEO dan beberapa laba investasi lelaki ini.
Femila memelankan lajunya. Dengan sebuah alat dengar di telinga, yang tersambung ponsel, dia melakukan panggilan pada Manihot.
Tanpa perlu menunggu lama, panggilan itu terjawab. Sebuah deheman Manihot membuat awalan, membuat Femila tersenyum.
“Bukannya menyapa dengan halo, kamu malah memulai sebuah deheman seksi, Beb. Jiwa liarku meronta,” sapa Femila.
“Oh, haruskah disapa dengan Halo, seorang direksi yang mangkir dari meeting penting? Ke mana Anda, Ibu Femila Sky Rahardjo?”
“Aku sebentar lagi sampai di rumahmu!” jawab Femila santai. “rumahku juga nanti,”
“Aku tidak mencintaimu”
“I know it so well. Aku bisa apa, selain berusaha mendapatkannya,” jawab Femila enteng. Meski hatinya rasanya hendak meledak.
“Dan meetingnya bukan di sana. Perlukah saya sampaikan ke owner SKY Company, perihal hal kemangkiran Anda? Tolong profesional!”
“Sampaikan saja! Kurasa, ayahku akan membelaku. Dan dia akan sedih, karena tahu bahwa calon menantu idamannya tidak mencintaiku. Beritahu dia, aku pergi ke rumah calon suamiku.”
Tut tut tut. Sambungan diputus Manihot dengan sengaja.
“Manihooot! Brengsek!” maki Femila kesal bukan kepalang. “aku seperti tak ada harganya saja. Macam bucin saja!”
Femila merengut. Dia sudah sampai di depan gerbang rumah Manihot, yang mewah. Dan kesalnya menguap. Bagaimanapun, dia harus tampil segar di hadapan camer alias calon mertua.
“Tarik napas ... pelan-pelan, buang!” kata Femila seraya tangannya bergerak ala yoga.
Lalu, ia lajukan Merci merahnya, mengklakson satpam untuk membuka pintu. Sedikit berbasa-basi dengan satpam yang sudah mengenalnya itu, untuk kemudian masuk ke dalam rumah dengan halaman yang sangat luas.
Mobilnya masih harus melaju beberapa putaran roda, sampai dia banting setir ke kanan, untuk kemudian berhenti di samping sebuah mobil Merci pula, yang sudah dimodif dengan sebuah garis pink di tengah badan hitamnya.
Femila tampak shock. Dia seperti tak asing dengan mobil tersebut.
“Claire? Anjay! Dia di sini juga,” sinis Femila.
Claire adalah teman sekolah Manihot dulu. Seorang manajer di perusahaan tekstil, yang tergila-gila pada Manihot. Demikian yang Femila tahu.
Beberapa waktu ini, sosok itu sering muncul dalam beberapa grup sosialita, yang juga ada Femila di dalamnya. Dan perempuan ramah ini sungguh menyebalkan bagi Femila.
Femila membuka pintu mobilnya dengan malas. “Belum juga ketemu calon mertua, sudah bertemu dengan batu kerikil,” gerutunya.
Claire sudah menyambut dengan sebuah senyum. Sinis, yang membuat Femila hendak melempari wanita itu dengan telur busuk.
“Hei, Femila, mau apa ke sini?” tanya Claire tanpa basa-basi. Ramah, tapi Femila tahu itu palsu.
“Harusnya, aku yang tanya, mau apa seorang level manajer ke rumah Manihot?” ejek Femila.
Claire tertawa. “Ah, sarkas sekali kata-katamu. Aku terluka. Sumpah! Sakit, tapi tak berdarah,”
Femila mendengus. Dalam hatinya makin kesal. Claire tahu bahwa posisinya hanya manajer, hanya seujung kuku dibanding anak owner perusahaan bonafit sepertinya. Namun, perempuan ini tak pernah gentar.
“Oups! Sori. Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya, iya kan?”
“Ya! Betul! Aku hanya manajer di perusahaan tekstil, disuruh belajar di tempat orang. Sebelum akhirnya memimpin perusahaan ayahku,” kata Claire tajam.
Telinga Femila terusik. Baru kali ini, Claire bicara sesumbar padanya. Pantesan berani bersaing, ternyata anak pengusaha juga toh? Kupikir, hanya manajer doang, kata Femila dalam hati.
Sset! Tiba-tiba bayangan seorang perempuan cantik berkelebat di pikirannya.
“Tidak!” desis Femila.
“Apanya yang tidak?” tanya Claire mencari tahu.
Femila sejenak acuh dengan perempuan berambut ikal-ikal nanggung, khas noni-noni Belanda tempo dulu. Dia masig fokus dengan yang ada dalam pikirannya sekarang. Adenium.
Tidak! Jangan-jangan, Adenium sama seperti Claire. Anak orang kaya – richman yang melakoni pekerjaan-pekerjaan rendahan, demi menempa mental.
“Ah, tidak! Jangan!” desis Femila. Entah kenapa, dengan Adenium, Femila sedikit minder. Perempuan itu sangat cantik dan memikat.
“Femila, apanya yang tidak? Jika kamu berpikir ketakutan bersaing denganku, kamu berada pada pilihan yang tepat untuk mundur,” congkak Claire.
“Aish, sombong sekali, Bu Manajer,” ejek Femila.
“Oh, apa aku salah? Baiklah, jika demikian, kenapa kamu mendesis kata TIDAK sedemikian panik?”
Femila menatap perempuan yang cantik dengan lipstick peach itu. Haruskah ia informasikan, bahwa dia lebih menakuti Adenium, dibanding perempuan ini.
“Katakan! Santai saja, aku pendengar yang baik,” Claire terkekeh.
Femila merapikan rambutnya. Masih tak acuh dengan Claire. Bahkan, dia keluarkan cermin silver metaliknya dengan bangga. Mematut-matut diri.
Claire yang merasa diperlakukan seperti kambing congek masih sabar menunggu. Sekalipun ingin ia labrak wanita yang mencuekinya ini.
Kudengar, kamu ada pacar di Bogor,” Femila santai, mengalihkan pembicaraan.
Claire tertawa terpingkal-pingkal. Seperti Femila ini adalah pelawak kenamaan.
“Lucu sekali! Apa kamu paparazi, pengintai para seleb, Femila? Kok bisa tahu? Padahal, aku di sana dalam suasana kerja,”
“Oh, kedapatan berciuman di taman, apa itu termasuk kerja? Memangnya, kamu sedang mangkal?” kata Femila sadis.
“Mangkal?” kata Claire terbata. Tak percaya dengan ucapan Femila.
Claire mengepalkan tangannya. Anak owner SKY Company itu memang mulutnya seperti tidak disekolahkan.
Namun, dia berusaha tetap anggun. Claire tahu, jika Femila sengaja memancing kemurkaannya.
“Oh, lelaki yang bersama denganku di Bogor itu tampan bukan? Punya alis tebal yang nyaris bertaut.” tukas Claire santai.
“I don’t care! Kenapa kamu tidak dengan mahluk itu saja? Rasanya, Manihot kebagusan untukmu,” tanya Femila.
“Voltase!” teriak Claire.
Femila berkerut. Voltase? Apa Claire hendak menyetrumnya, karena ucapannya yang tak sopan, sampai menyebut istilah kelistrikan.
Claire tersenyum. Memindai wajah Femila yang kebingungan.
“Kalau kamu mau tahu nama lelaki yang menciumku di Bogor itu, namanya Voltase!” Claire memperjelas.