Bab 18 Sie Ist Sehr Schoun
Bab 18 Sie Ist Sehr Schoun
“Voltase! Nama yang aneh,” kata Femila tanpa basa-basi.
[Seaneh kamu!]
Claire tersenyum, mengangguk seolah menyetujui pernyataan Femila. Dia tidak tersinggung.
“Iya ya, aneh. Dan pasti kamu bingung, karena aku malah mendukung pendapat kamu,” tukas Claire.
Femila gengsi. Menggeleng dengan cepat.
“Aku sih tak heran. Soalnya, kamu juga aneh. Apa jadinya, jika Manihot tahu bahwa kamu berciuman dengan lelaki itu?” cecar Femila.
Claire merentangkan kedua tangannya, seolah dia sedang stretching. Tak acuh dengan perkataan Femila.
“Apa dia akan cemburu, Femila?” tanya Claire balik.
Femila tertawa. “Kurasa tidak,”
Dan Claire mengangguk-anggukan lehernya dengan lebay. Membulatkan matanya yang sudah bulat.
“Nah, itu dia masalahnya. Aku berharap dia cemburu, jadinya itu pertanda ada cintanya padaku,” jawab Claire santai dan bersahabat.
“Orang gila!” ketus Femila.
“Kok gila, sih? Namanya juga harapan, boleh kan? Sama seperti kamu yang juga mengharapkan Manihot,” Kata-kata Claire tidak keras, tapi menusuk.
“Kuharap, dia segera tahu ulahmu di belakangnya,” Femila mengguratkan sinis.
[Jika tidak, aku yang akan memberitahunya.]
“Kuharap juga demikian. Kasih tahu saja, kalau kamu mau kasih tahu,” tantang Claire santai.
Femila mengepalkan tangannya. Dia hampir selalu kalah berkata-kata dengan Claire.
Dia taruh goody bag mahalnya di atas meja. Pamer pada Claire.
“Apa kamu menantangku?” tanya Femila.
“Tidak! Aku memberimu kesempatan untuk mengatakan aku melakukan kissing, tidak, tepatnya hot kissing pada Manihot terzheyeng!”
Femila terpukau. Wanita di hadapannya ternyata bukan wanita waras sempurna.
“Dengan begitu, pintumu mendekati Manihot akan tertutup. Baiklah!” kata Femila senang.
“Pintuku akan selalu terbuka,” sergah Claire.
Wuss! Bayu nakal sejenak menggoda kedua perempuan pemuja Manihot ini. Claire sibak rambut ombrenya.
“Itu karena Manihot belum mencintaiku. Jadi, ciuman itu hanya akan menjadi masa lalu saja,” skak Claire.
Femila terpaku. Dia terkaget-kaget dengan ucapan pesaingnya ini. Claire ternyata tidak main-main.
“Ka ... kamu,” kata Femila geram.
“Tak perlu baku hantam. Dapatkan saja Manihot, maka aku akan mundur teratur. Demikian juga sebaliknya, jika aku yang mendapat, sebaiknya kamu legowo,” tandas Claire. Sukses menohok Femila. Satu Nol.
“Oke, deal!” kata Femila. “jangan menangis, seperti anak TK, jika kenyataan pahit itu kamu terima. Kuharap, kamu memegang janjimu,”
“Pasti!” kata Claire mantap.
[Di mulutku saja, Femila. Aku tak akan memberikan Manihot pada siapapun. Bahkan, bukan sampai janur kuning melengkung. Sampai bendera kuning berkibar, aku akan berusaha mendapatkan Manihot]
Sejenak suara burung-burung terbang ke peraduan terdengar. Langit mulai menjingga.
“Baiklah, aku sudah satu jam-an menunggu di sini. Kurasa, aku harus pamit. Apa kamu masih mau menunggu? Karena aku baik, kuberitahu kamu, keluarganya Manihot belum pulang ke rumah.”
“Ke mana mereka?” tanya Femila.
“Entahlah, mungkin masih terganjal di bandara. Apa kamu mau ke sana? Kabari aku, ya, jika kamu bertemu mereka. Jadi, persaingan kita bisa dimulai,” kata Claire santai.
“Gila!” sahut Femila.
“Oh,satu lagi, ternyata goody bag kita sama-sama batik tulis, dari tempat yang sama. Hanya saja, punyaku sudah dimasukkan ke tas batik,” kata Claire congkak.
“Oh, berarti bukan aku saja yang punya mata-mata, kamu juga. Kamu terinspirasi dari aku, kan, membelikan batik itu?” kata Femila sengit.
Claire mengerdikkan bahu. “Bisa jadi. Sebaiknya, kamu pastikan batik tulismu lebih mahal dariku. Kamu kan anak owner perusahaan ternama,”
***
“Hai Manihot, sayang!” Seorang perempuan santai, tanpa merasa bersalah, menerima panggilan Manihot.
“Bun, kan sudah Manihot bilang, kalau pulang ke Indonesia bilang-bilang. Jangan seperti ini!”
“Oh, soal itu ...,”
“Malah yang lebih getol duluan adalah Claire dan anaknya Pak Toro (Femila). Mereka sudah menunggu Bunda di rumah, sementara aku masih meeting dan bingung kenapa mereka menemui Bunda.”
Perempuan itu terkekeh. Anak semata wayangnya itu bersiap untuk menceramahinya.
[Manihot! Apa kamu tidak bisa membaca bahasa perempuan? Tentu saja, mereka ingin menemui ibumu ini. PDKT!]
Satu-satunya strateginya adalah bertahan, karena jika ia mengotot, maka lelaki ceplas-ceplos itu akan balas menyerangnya.
“Maafkan! Bunda dan Einhard spontan saja pergi ke Indonesia. Itu karena Garry ingin mengajakmu ke Jerman,” kata Bu Zea. Einhard adalah ayah tiri Manihot dan Garry adalah adik tirinya.
“Buat apa? Masalah itu lagi? Yeah, dia tak bosan-bosan membujukku. Sungguh, bukan kebiasaan orang sana? Bukankah mereka tidak pernah suka mencampuri privasi”
“Dia keturunan campuran, Manihot. Ada darah Turki dan Rusia, selain Jerman. Dan sekarang dididik oleh Ibu berdarah Indonesia! Apa salahnya adikmu mengingatkanmu untuk berobat?” Bu Zea mengingatkan kembali silsilah adik tiri Manihot itu.
“Oke. Silahkan bujuk terus, hasilnya akan sama saja. Aku nyaman dengan bongkokku. Gibt es ein problem? (Apa ada masalah? – bahasa Jerman). So far, banyak perempuan cantik mengagumiku.”
Bu Zea menjauhkan ponselnya, menutup speakernya, lalu menggerutu. “Bitte hilft mir (tolongin aku – bahasa Jerman). Anak ini sungguh keras kepala dan sok ganteng!”
“Halo, Bun!”
Bu Zea masih memonyongkan mulutnya. Namun, ia enggan mengomentari kenarsisan Manihot.
“Yeah, ini Bunda, Manihot. Bunda rasa, obrolan kita cukup sampai di sini, ya,” kata Bu Zea. “jangan khawatirkan, Bunda. Kamu fokus meeting saja. Ini kami lagi jalan-jalan di supermarket.”
Bu Zea menghela napas. Rencananya gagal. Setidaknya, kepulangannya ke Indonesia bisa mendapat suasana panas Jakarta yang selalu ada, meski di musim penghujan sekalipun. Beda dengan Jerman yang kerap dingin menggigil.
Lelaki yang berjalan santai di depan Bu Zea menoleh, lalu tersenyum smirk. “Sudah kuduga, dia menolak untuk berobat lagi, kan? Oke! Biarkan saja!” kata Einhard.
“Das Fass’ ich nicht! (Saya tidak percaya ini – bahasa Jerman). Pria bego!” gerutu pria muda di sebelah Einhard.
“Garry, jaga bicaramu! Dia kakakmu!” Einhard mengingatkan.
Jika saja Garry tidak berhutang nyawa pada Manihot, tentu saja sudah ia maki lelaki bongkok itu dengan frase du kannst mich mal alias fuck you! Namun, dia masih menghormati Manihot.
Sementara Bu Zea sendiri membiarkan saja anak tirinya berumur tujuh belas tahun itu memaki Manihot. Dia sendiri mengakui, jika Manihot memang sangat menyebalkan.
“Baiklah, kalau begitu, kita selesaikan belanja kita. Tinggal belanja beberapa macam buah di bagian buah dan sayur,”
“Sandal jepit, Bunda,” teriak Garry dengan aksen bulenya. “aku kangen sandal jepit Swallow buatan Indonesia,”
“Oh, baiklah, Garry. Aku akan membelikannya untukmu,” kata Bu Zea.
Einhard yang sedikit pemalu tampak menunggu penawaran Bu Zea. Sejatinya, dia juga ingin istrinya membelikannya sandal jepit itu.
Satu ... dua ... tiga, tak kunjung ada tawaran. Dan dia berdehem.
“Oh, iya! Apa kamu juga mau sandal jepit, Sayang?” tawar Bu Zea pada Einhard.
Lelaki bermata biru dengan jenggot coklat orange itu mengangguk senang. Dan Zea mencoleknya, pertanda menggoda. “Kok diam-diam saja, kalau mau. Bilang saja!”
“Kamu tahu, ayahku pemalu,” ceplos Garry.
Dan Bu Zea hanya maklum. Anak ini kadang memanggilnya Mom, Bunda, dan parahnya lagi kadang sekedar kamu.
“Dia pemalu, seperti ... aku. Astaga! Sie ist sehr schoun (Dia sangat cantik – bahasa Jerman),” Garry refleks berteriak, ketika melihat seorang perempuan dengan rambut hitam dan wajah selayak model ada di depannya.
ADENIUM. Gadis itu.