Bab 19 Anjing Herder yang Selingkuh
Bab 19 Anjing Herder yang Selingkuh
MEETING SKY COMPANY
SEBUANG RUANG RAPAT FUTURISTIK
“Jadi, branding sebagai produk detergen murah, tapi berkualitas, akan kita lekatkan pada Busae – nama detergen ini. Sudah kita lakukan uji pula, terkait kemampuannya membersihkan,”
Presentasi Beti terlihat cukup meyakinkan. Sesekali matanya menatap Manihot, seorang lelaki yang beberapa hari ini menunjukkan gelagat yang aneh.
Masak, lelaki bongkok ini mencari dengan semangat ’45 keberadaan seorang cleaning service. Hanya karena minta dibersihkan ruangannya.
Sempat-sempatnya perempuan berambut ombre kecoklatan ini menggunjingkan bosnya dalam pikiran, bahkan ketika ia masih presentasi. Bukan apa-apa, ini kali pertama Manihot menunjukkan kesukaan pada seorang perempuan.
Oh, tidak masuk akal. Kenapa tidak meminta stafnya untuk menghubungi divisi terkait untuk mengirim cleaning service lain atau ... divisi itu yang mencari Adenium-nya. Kenapa harus Pak Manihot yang turun tangan tangan?
Manihot suka Adenium? Ah rasanya tak mungkin! Pasti dia lebih memilih Femila yang anak owner. Realistis!
“Bagus, Bu Beti. Pantau terus bagian research and development terkait keunggulan produk ini. Jangan lupa berkonsultasi dengan bagian kemasan produk. Buat kemasan yang merakyat, tapi eye catching,” Manihot mengarahkan.
Beti mengangguk dengan senyum lebar. Artinya, sejauh ini produk barunya disetujui. Sementara Edo – yang sering mengatainya dan Heidi – tukang kompor yang senang memakai jas hitam mengangguk setengah malas. Bagaimanapun, Beti adalah saingan mereka untuk prestasi.
“Baik, Pak!”
Manihot masih berwajah datar. Namun, dia rasa perlu memberikan sedikit senyum pada Beti dan tim, tentu saja kepada para manajer yang hadir di sana.
“Terima kasih untuk kerja keras kalian semua. Saya rasa cukup, meeting kita hari ini selesai. Selanjutnya, tim C tolong persiapkan kemungkinan kita merambah ke pasar sabun kecantikan.”
“Siap, Pak,” kata Heidi dengan senyum penjilat.
“Oke! Kalian boleh meninggalkan ruangan, kecuali Beti,” perintah Manihot.
Para partisipan rapat dengan segera menuruti instruksi itu. Tinggallah Beti yang berkerut keningnya. Kenapa dia ditahan di sini.
Apa lelaki ini hendak menyatakan cinta padanya. Mana mungkin! Sekalipun kagum dengan Manihot, dia tahu bahwa dia bukan seleranya lelaki ini.
“Beti!” panggil Manihot, masih dengan wajah melihat draft presentasinya versi cetak.
“Iya, Pak,” sahut Beti. “kenapa bapak menyuruh saya pergi terakhir? Apa ada presentasi saya, yang perlu dibicarakan secara rahasia?”
Manihot tersenyum. Matanya yang tajam seperti mengirim kekuatan super, yang membuat dengkul Beti gemetar.
Gila! Karisma Pak Manihot memang te o pe begete alias top banget, kata Beti dalam hati.
“Tidak! Aku yakin, Busae akan menjadi detergen terkenal dengan konsepmu,” celetuk Pak Manihot.
“Lantas, ada apa ya, Pak?” Beti mulai terlihat panik.
Mungkinkah Pak Manihot akan melakukan hal tak senonoh padanya? Tapi, rasanya tak mungkin.
Beti sendiri yang sangsi. Dia yakin seratus persen, tak ada kurang sedikit koma pun, bahwa dia bukan tipe Pak Manihot.
“Kamu jangan berpikir, seolah-olah aku mau berlaku tak senonoh padamu, ya! Kamu bukan tipeku!” kata Manihot mengejutkan Beti.
Perempuan berambut ombre itu memegang jidatnya. Barangkali bolong, sehingga Manihot bisa meneropong isi kepalanya.
“Oh, saya tidak berpikiran seperti itu, kok, Pak,” Beti mengelak. Pipinya merona merah.
“Berpikir seperti itu juga tak apa. Kita kan bukan mahram, sudah selayaknya tak boleh berdua-dua,” ledek Manihot, membuat Beti melongo.
Kenapa lelaki bongkok ini mendadak menjadi ustadz? Tapi, tak pelak dia hanya mengangguk-angguk.
“Aku ingin tanya,” kata Manihot pada akhirnya.
“Tanya apa, Pak?” tukas Beti cepat. Matanya membulat ke arah Manihot. Dan dia bisa tangkap, Manihot memang terlihat kebingungan.
Manihot menerawang ke atas. Memperhatikan atap plafon yang terlihat etnik, jika diperhatikan seksama berpola seperti kain tenun songket.
“Perlu berapa lama calonmu mengajak kamu menikah?”
Pertanyaan Manihot sontak membuat Beti melongo. Jelas, ini tidak ada pada draft presentasi detergen Busae, yang baru ia paparkan.
“Hem, kami kenalan tujuh bulan. Lalu, dia melamarku, dan bulan depan kami sudah menikah. Itu hitungannya cepat, lho, Pak,” kata Beti sesumbar.
“Ah, kelamaan! Aku keburu makan hati,” gerutu Manihot. Entah pada siapa. Manihot tak tampak seperti menyerang pernyataan Beti.
Namun Beti simpulkan saja, bahwa ini respon untuk pernyataannya. “Ah, kelamaan ya, Pak! Temanku ada, Pak, yang lima bulan kenalan, langsung diajak menikah,”
“Kelamaan juga! Mana herdernya sok protektif lagi. Padahal, tukang selingkuh!” celoteh Manihot lagi.
Beti mengerutkan kening. “Herder siapa, Pak, yang protektif. Ini kita cerita tentang anjing, ya, bukan manusia? Jadi, anjing bapak kenal dengan anjing tetangga, lalu mau dinikahkan? Ya, wajar kalau bapak bilang lima bulan itu kelamaan,”
Beti berceloteh panjang lebar. Membuat Manihot sukses terlongo. Mungkin, jika ada bakwan jagung yang dilempar ke mulut Manihot, bisa masuk dengan sempurna.
“Kamu sehat, Beti?” tanya Manihot dengan mimik serius.
“Sehat, Pak. Apa ...,”
“Saya tidak sedang cerita anjing, karena saya pelihara harimau di rumah saya,” kata Manihot kejam. “Harimau mainan, tapi!”
“Ah, apa saya salah bicara, Pak?” tanya Beti hati-hati.
“Iya. Kamu salah bicara. Kita sedang bicara tentang saya sebenarnya,” kata Manihot sedikit malu-malu.
“Tentang Bapak?” tanya Beti. Lalu dengan segera perempuan ini menangkupkan kedua tangannya, menutupi mulut. “Oh My God!”
“Bapak ingin melamar pasti, ya? Sama siapa? Ibu Femila, ya? Waduh, selamat, Pak! Semangat, Pak Manihot!”
Manihot yang ketus memandang Beti dingin. “Lamongan, Kudus, Babat, Ayam, itu jenis apa?”
“Soto, Pak!”
“Nah, itu kamu! Soto!” kata Manihot tanpa seulas melucu.
Mungkin, jika tidak kenal lama, Beti sudah tersinggung berat dengan Manihot. Dia disindir sotoy (sok tahu) dengan nama-nama soto.
Beti terdiam. Kepalanya sejenak berpikir keras. Jika bukan Femila, lantas siapa?
“Saya melamar Adenium!” sentak Manihot.
“What? Eh ... maaf, Pak! Bapak mau melamar Adenium?”
“Bukan mau, tapi sudah!”
Beti semakin membeliakkan mata. Ikan Mas Koki, yang matanya hendak tumpah, kalah dengan matanya.
“A ... Adenium cleaning service itu?” Beti sungguh tak percaya.
“Iya, betul sekali.”
Beti pegangi jantungnya yang berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang. Ini sulit dipercaya.
“Apa bapak bercanda?” tanya Beti. “Lantas, bagaimana dengan Ibu Femila? Baiklah ..., saya tidak ikut campur, saya mengerti,”
“Femila rekan kerjaku. Tidak lebih,” tukas Manihot.
Beti menarik kedua tangannya, seolah-olah dia sedang mempraktekkan yoga. Dia tak habis pikir, Pak Manihot sepertinya sok idealis dengan cinta sejati.
Rasanya, cerita CEO yang jatuh cinta pada wanita missquen (saking miskinnya) hanya ada di FTV ataupun novel. Bukan di dunia nyata.
“Kenapa Bapak bercerita pada saya? Saya ini orangnya cerewet, lho, Pak! Besok, mungkin di kantor akan tersebar berita ini oleh mulut ember saya.”
“Do it! Aku tidak keberatan. Entahlah, aku merasa ingin bertanya pendapatmu perihal lamaranku pada Adenium. Apa itu gila? Menurutku, itu normal saja.”
“Memangnya, kapan Bapak melamar Adenium?” tanya Beti hati-hati.
“Saat aku menyuruhmu pergi duluan naik lift. Itu perbincangan pertamaku dengan Adenium. Aku melamarnya, saat kami pertama kali berbicara,” kata Manihot.
Membuat Beti mundur beberapa langkah. Ini bukan lagi gila, ini mengerikan. Sungguh, Pak Manihot benar-benar maniak, pikir Beti.
“Apa aku gila?” tanya Manihot.
“Oh, tidak, Pak,” jawab Beti rikuh.
[TIDAK SALAH LAGI!]
Blip! Sebuah video call Bu Zea menghampiri Manihot.
“Sebentar ya, Beti. Aku masih butuh masukanmu,” tahan Manihot.
Lalu, Manihot fokus pada layar ponselnya. Membiarkan Beti yang masih bingung kronis soal CEO melamar tukang bersih-bersih.
“Lho, Bund, katanya mau pulang ke rumah. Kenapa masih di supermarket? Perlukah aku jemput kalian?” kata Maniho, seraya melihat layar ponselnya.
“Tak perlu! Aku hanya ingin memperlihatkan info menarik ini, ha haa,” Bu Zea cekikikan seolah ada yang lucu.
“Apaan?” tanya Manihot.
“Ssst, Garry – adikmu jatuh cinta pada cewek Indonesia. Cinta pada pandangan pertama, ha ha! Perempuan itu pengunjung supermarket juga,” Bu Zea semakin tergelak.
“Halah! Cinta monyet. Anak ingusan begitu main cinta-cintaan.”
“Tapi, kamu penasaran kan, siapa yang ia suka. Kamu lihat deh, adikmu itu sampai tak berkedip menatap cewek ini. Aduh, beningnya, Manihot! Kamu harus cari yang seperti ini,” saran Bu Zea.
“Mana? Coba lihat!” kata Manihot penasaran.
Bu Zea membalikkan ponselnya, sehingga terlihat wajah Adenium yang cantik. Manihot segera bereaksi.
“No! She is mine. Dia milikku!” teriak Manihot sekencangnya.