Bab 8 Simpan Aku di Hatimu
Bab 8 Simpan Aku di Hatimu
“Siapa dia?” tanya Asmoro. Matanya menatap tak suka lelaki, yang dengan santainya duduk tak jauh dari mereka. Beda meja saja.
“Hush! Jangan kencang-kencang suaranya. Nanti, Pak Manihiot mendengar obrolan kita.”
“Oh, namanya Manihot. Angkuh sekali dia, padahal ... badannya bongkok, seperti udang. Tidak, seperti unta tepatnya,” kata Asmoro panas.
“Hush! Mas!” Kali kedua Adenium menenangkan. Dia lirik sedikit Pak Manihot.
Lelaki ini sangat tenang. Menenggak susu strawberry – gelas bening itu memperlihatkan warna merah muda yang mencolok. Sesekali, mulutnya yang seksi mengunyah roti bakar, yang dari toppingnya berwarna coklat, tentu saja Adenium tahu rasanya.
Seksi? Adenium mengguncang kepalanya. Gara-gara ditodong menikah sore tadi oleh Manihot, dia mulai ikut-ikutan gila.
“Kenapa, sih? Kamu suka dengan lelaki bongkok, yang ganteng – tinggi itu?” Asmoro protes, ketika Adenium mengingatkannya.
“Dia bosku!” terang Adenium.
“Bos?” Voltase Asmoro mengernyitkan dahi. Memindai Adenium dengan sorot matanya yang begitu tajam.
Adenium menelan ludahnya. Baru kali ini, Asmoro yang selama ini selalu bertutur lembut dan kalem terlihat emosional.
Adenium sendiri tidak mengerti kenapa. Dia hela napas, hendak menjeda, sebelum memberitahu Asmoro.
“Maksudku ...,”
“Pesanannya Mas, Mbak,” sela seorang pelayan perempuan dengan dandanan ala peternak noni Belanda.
Adenium dan Asmoro mengangguk. Adenium tampak memundurkan dadanya ke belakang, sehingga tulang punggungnya menyentuh sandaran kursi. Dia mempersilahkan pelayan menghidangkan.
Aroma susu rasa melon milik dirinya dan susu rasa plain milik Asmoro menyeruak. Ditingkahi roti topping selai kacang kesukaan mereka.
Sejenak, Adenium menyesapi wangi yang begitu menggoda ini. Dia tersenyum, memperlihatkan dua lesung pipinya yang begitu dalam.
“Kamu cantik, kalau tersenyum begitu,” puji Asmoro. Lelaki beralis tebal ini menatap Adenium penuh cinta.
Mata Adenium membulat. “Benarkah?”
Asmoro hendak membalas dengan sebuah roman. Namun, lelaki ini terlihat mengurungkannya. Wajahnya menjadi serius kembali.
“Lanjutkan yang tadi!” kata Asmoro.
Adenium terdiam. Dia pegang susu hangat rasa melon itu. Sejenak mengusir dingin pada kedua tangannya.
“Yeah ..., begitulah, Mas. Dia bosku, tepatnya CEO di tempat outsourcing-ku menempatkan aku. Jadi, ya ... bisa dibilang bosku juga kan?”
Asmoro terdiam. Dia tatap lelaki tak jauh dari tempatnya.
“Asyik benar Si Bongkok itu makan. Lahap, tak terganggu apapun,” kata Asmoro.
“Mas! Kok sinis banget, sih? Biasanya, kamu tidak begitu,” kata Adenium.
Asmoro menghirup susu rasa plain-nya pelan-pelan. Dia juga tidak mengerti, kenapa dia begitu julid dengan lelaki bongkok yang baru dikenalnya. Seperti ada yang membuatnya marah.
“Aku kesal saja. Saat dia menyenggol kamu, lagaknya seperti borjuis yang habis menyenggol pembantunya,” jelas Asmoro. Slurp! Dia sesapi susu di tenggorokannya.
Adenium menepuk dahinya. Lalu tertawa. Setidaknya, dia merasa berharga di mata Asmoro.
“Kamu itu, lho! Memang benar kan, dia bosku. Sementara aku adalah upik abunya, hanya tukang sapu-sapu di kantornya.”
“Nah, apa kubilang? Etdah! Kamu membela dia terus!” Asmoro memonyongkan bibirnya dengan manja. “bibirnya Si Bongkok itu seksi, ya?”
Adenium tercekat. Mengapa Asmoro bisa mengatakan apa yang baru saja dipikirkan Adenium terkait lelaki sengak, yang kepergok tengah berciuman dengan anak pemilik SKY Company.
“Biasa aja, ah! Sudah! Tak usah dibahas lagi. Lagipula, dia sudah minta maaf, kan?” kata Adenium mengelak.
“Yeah, minta maafnya sengak. Mungkin karena dia CEO kamu. Siapa tadi namanya?”
“Manihot!” kata Adenium lirih.
“Manihot Utillissima?” tanya Voltase Asmoro.
Adenium membulatkan mata. Tersenyum sedikit aneh. “Darimana kamu tahu?”
Gantian, sekarang Asmoro yang tersenyum aneh. Lelaki dengan alis tebal dan hidung mencuat mancung ini manggut-manggut.
“Oh, jadi bener ya? Namanya Manihot Uttilisima alias singkong alias ubi kayu. Ha ha, lucu sekali. Kenapa tidak sekalian tape saja namanya?”
“Mas!” Adenium mulai khawatir.
Kata tape yang dikatakan oleh Asmoro tadi terdengar sangat keras. Dia lihat, Manihot tampak menghentikan kunyahan.
Sesaat saja. Setelah itu, Manihot mengunyah seperti biasa.
Ada kelegaan pada dada Adenium. Artinya, Manihot tidak mendengarnya.
“Kamu sebegitu takutnya, lelaki itu mendengar. Aku jadi cemburu,” kata Asmoro tenang. Dia kunyah roti bakar selai kacang miliknya.
“Oh, jelas saja! Aku bisa dipecatnya! Jangan begitu lagi, Mas,” kata Adenium menyeka keringat di dahinya. Dia ternyata benar-benar takut.
Asmoro menghentikan kunyahannya. Melihat Adenium yang begitu takut, dia jadi tak enak juga.
“Maaf,” katanya singkat.
Adenium mengangguk. Namun, wajahnya yang memucat tak bisa berbohong.
Asmoro maklum, kenapa Adenium begitu. Ibunya butuh biaya pengobatan, dan Adenium salah satu tulang punggung keluarganya.
Itu juga yang membuat Asmoro setengah tak yakin untuk menikahi Adenium dalam waktu dekat. Dia yang hanya karyawan pabrik, tentunya akan menjadi menantu yang harus ikut membantu keluarga Adenium.
Dia belum siap. Setidaknya, untuk satu dua tahun ini.
“Dia tak akan marah, Adenium. Ada banyak nama unik di sini. Kamu contohnya. Dan juga aku. Namaku ..., Voltase Asmoro. Tidakkah itu unik?”
Kesempatan dalam kesempitan, Asmoro memegang telapak tangan kanan Adenium. Dan dengan segera Adenium melepasnya.
Asmoro cekikikan. Setidaknya, dia bisa memastikan bahwa gadis sok suci itu perempuan baik-baik. Tetaplah seperti itu, sampai aku memetikmu nanti, batin Asmoro.
“Kamu bilangnya kan tape, bukan singkong tadi!” kata Adenium perlahan.
“Tape!” teriak Asmoro.
Deg! Adenium ketakutan setengah mati. Apalagi, Manihot sampai menoleh.
Aduh! Asmoro! Apa yang kamu lakukan? Baru saja, kamu meminta maaf. Tapi, kenapa sekarang membuat onar? Sibuk hati Adenium merutuki hal tersebut.
“Pelayan! Aku minta tape goreng dua, bisa?” teriak Asmoro, dengan mata melirik jahil pada Adenium.
Adenium memukul bahu Asmoro. Dan lelaki ini cekikikan.
“Aku mau pesan tape, Sayang. Tidak ada maksud lain,” kata Asmoro.
“Sayang-sayang, kepalamu peyang? Jantungku nyaris copot, Mas!”
Asmoro tertawa lagi. Dia kedipkan matanya pada Adenium. Dan Adenium pura-pura tidak melihat.
“Sudah, ah, Dek! Aku mau ke belakang dulu! Kamu minum dulu susu melonmu itu. Sudah dingin!” tukas Asmoro.
Lelaki itu berlalu. Dan Adenium tahu, ada beberapa pasang mata cewek-cewek yang mengikuti jalan Asmoro.
Astaga! Kekasihku yang tampan, sampai kapan kamu menggantung aku. Kenapa kamu tak kunjung melamarku? Kelu batin Adenium. Takut juga dia, jika Asmoro selingkuh.
Namun, sejauh pengamatannya, Asmoro lelaki yang terbilang dingin dengan perempuan lain. Dia juga bukan tipe lelaki yang suka lirak-lirik perempuan.
Blip! Sebuah pesan masuk.
Adenium mengernyitkan dahinya. Siapa nomor ini? Nomor yang tidak ia kenal.
Nomor tak dikenal : Kekasih kamu tidak sopan ya! Masak aku dibilang tape. Wah, sembarangan. Apa kamu yang mengajarinya?
Adenium menelan ludahnya. Tangannya gemetar.
Dia tatap perlahan Manihot. Lelaki ini tampak tenang. Tidak menoleh padanya. Namun, memang tangannya tengah mengetik-ngetik di gawai alias ponsel, yang Adenium tahu merupakan keluaran terbaru sebuah merek terkenal.
Nomor tak dikenal : Kenapa? Kaget?
Adenium memberanikan membalas. Dia sedang mengetik, sebelum nomor tak dikenal itu menyambar.
Nomor tak dikenal : Lama amat mengetiknya, Amat saja sedang main bola sekarang. Sebelum kamu tanya, siapa aku? Aku akan menjawab. Aku Manihot. TOLONG SIMPAN NOMORKU baik-baik!