Bab 7 Kekasih vs Pria Gila
Bab 7 Kekasih vs Pria Gila
“Hai, aku atasannya Voltase. Kemarin sudah jalan-jalan bersama kekasih kamu ini selama tiga minggu di Bogor. Aku Claire,” kata perempuan, yang wajahnya putih seperti kebule-bulean. Mengulurkan tangan pada Adenium.
Rambut sebahunya yang ikal, dicat warna ombre kuning, membuatnya semakin seperti orang londo. Dibiarkan tergerai, dengan sebuah jepit hitam di samping kanan, sekedar merapikan.
Mendadak, Adenium merasa terancam. Wanita cantik ini tampak sangat percaya diri.
Dari lisannya saja, dia sengaja memperkenalkan sebagai atasan, seolah hal tersebut suatu keharusan yang diketahui Adenium. Pamer, tapi seperti tidak terasa congkaknya.
Mungkin, karena Claire terlalu jumawa dan biasa mengatakan itu sebagai pimpinan. Masih perempuan ini mengulurkan tangannya.
Adenium memandang Asmoro. Dan lelaki itu mengangguk, menyetujui jika Adenium berkenalan dengan Claire.
Adenium mengelap telapak tangannya dengan ujung baju. Dia takut, saat berkenalan dengan Claire, tangannya kotor.
“Saya Adenium, Mbak. Saya ...,”
“Kekasihnya Voltase, kan. Yes, absolutely you are his lover. I know it, so well!” potong Claire.
Adenium mengangguk sopan. Dan tatapan Claire ... menakutkannya.
Entahlah. Tatapan itu biasa saja. Tapi, perasaan Adenium merasa tidak enak setiap Claire memandangnya.
Perempuan itu seperti hendak menilai bibirnya, dadanya, bokongnya, hingga tiap jengkal tubuhnya. Yeah, dia tahu, perempuan ini bak model.
Seharusnya, Claire tak perlu merasa minder dengan perempuan setinggi standar Indonesia 160 centimeter ini. Namun, sepertinya Claire merasa kesal, walau sorot matanya tenang sekali.
“Kamu seperti boneka porselen Jepang, ya,” tukas Claire. “cantik sekali, imut juga! Apa benar, kamu hanya cleaning service, seperti kata Voltase?”
“Terima kasih, Mbak, eh, Bu Claire. Iya, saya hanya cleaning service saja, Bu. Seperti yang dikatakan Mas Asmoro,” kata Adenium. Dia sedikit rikuh, jika harus menyebut Voltase, seperti yang dikatakan Claire.
“Panggil saya Claire. Claire saja. Aku rasa, aku dan kamu seumuran kan. Berapa umurmu?” Claire mulai mencecar.
Adenium memandang Asmoro. Dan lelaki ini masih diam, seolah ada yang salah dengan kehadiran Claire yang terlalu berlama-lama ini.
“Saya ... dua puluh tiga tahun, Bu,” kata Adenium.
“Claire! Ingat, cukup panggil Claire,” dengus Claire.
Adenium buru-buru meralat. “Oh, iya, Claire!”
“Dua tiga? Tak jauh beda denganku, ya. Aku dua sembilan,” kata Claire.
Spontan, mendengar itu, Asmoro hendak terkekeh. Namun, ditahannya. Sayangnya, ledakan tawa awalnya sudah menyembur duluan.
“Lucu ya, Volt?” Claire menatap Voltase.
“Enggak, Bu Claire! Sama sekali tak lucu. Saya hendak batuk saja,” Lelaki ini santai menanggapi.
“Oh, shit! Kekasih tersayang kamu saja kupinta panggil Claire, kamu malah menambah embel-embel Ibu. Apa kamu lupa ...,”
Lisan Claire terhenti, manakala Asmoro menatapnya tajam. Claire alihkan pandangan ke samping.
“Oke, kalau begitu, aku masuk dulu. Tak enak dilihat satpam gerbang, dikira aku sedang memarahimu di depan gerbang ini, Volt,” kata Claire akhirnya.
“Baik, Bu Claire,” kata Asmoro. Claire mengangguk.
Dia sudah melangkah dua langkah. Namun, langkahnya terhenti kembali.
Sesaat, dikibasnya rambutnya, yang terpapar angin cukup deras. Rupanya, jepitan rambut simpel di samping kanan tidak cukup menahan rambutnya untuk tetap rapi.
“Adenium!” panggil Claire.
“Ya, Bu. Maaf, maksud saya ... Claire,”
“Apa kamu yakin, bahwa kamu hanya seorang cleaning service? Maksudku, tidakkah kamu sedang bersandiwara, kalau kamu sejatinya adalah anak miliarder. Lalu, menyamar menjadi cleaning service?” cecar Claire.
“Seperti yang dikatakannya tadi, kekasih saya ini hanya cleaning service, bu,” Asmoro mencoba melindungi Adenium, akhirnya, dari intimidasi Claire.
Claire mengangguk. Dia pandangi Asmoro dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Baiklah Voltase. Aku minta maaf. Karena ... kekasihmu ini sangat cantik sekali, seperti bintang iklan,” jelas Claire.
Deg! Adenium merasa de javu. Pernyataan Claire ini mirip dengan kata-kata dari Femila kepada Manihot.
Duh, tiba-tiba Adenium gemetar. Dalam sel kelabu otaknya pria bongkok, namun tampan itu tampak tersenyum padanya. Tuhan, kenapa aku memikirkan Manihot lagi, guman Adenium dalam hati.
“Satu lagi! Jangan membuat onar dan mesum, yang mungkin saja viral, Voltase! Jangan coba-coba lagi, ganti baju di depan gerbang. Itu memalukan,” kata Claire.
“Baik, Siap, Bu Claire!”
Asmoro dan Claire saling tersenyum, kemudian Asmoro mengangguk hormat. Adenium maklum. Lelakinya ini memang terkenal sopan, jadi wajar jika dia menghargai Claire semacam demikian.
“Saya dan Adenium permisi, Bu Claire,” Asmoro menggamit tangan Adenium. Dan dengan terpaksa, Adenium menuruti.
“Baik. Ingat ya Volt, jangan bugil-bugil di depan publik. Adenium! Ingatkan calon suami itu, ya!” ledek Claire. Lalu perempuan itu menjauh dan benar-benar masuk ke dalam gerbang perusahaan, yang kantornya menyatu dengan pabrik.
“Ibu yang cerewet ya,” kata Asmoro pada Adenium.
“Hush! Jangan berkata begitu. Apa dia seperti itu kepadamu, selama tiga minggu di Bogor?” tanya Adenium.
“Begitulah. Kepo dan selalu ingin tahu segala hal, termasuk dirimu. Dan sepertinya, dia kaget, melihat kekasih hatiku ini teramat cantik aslinya,” rayu Asmoro. Membuat wajah Adenium bersemu merah.
“Ah, kamu gombal, Mas, he he,” kata Adenium “rasanya, aku harus pulang. Tidak usah diantar, aku bisa naik angkot,”
“Kenapa? Bagaimana kalau kekasih hati aku ini dicolong orang? Aku bisa mati!” Asmoro kembali menggoda Adenium.
Adenium tertawa terbahak-bahak. Dia tatap lelaki yang selama ini selalu sopan padanya.
“Kamu gombal kuadrat hari ini. Sepertinya, tiga minggu bersama bos kamu di Bogor itu, kamu semakin ahli menggombal. Apa dia mengajarimu demikian?” tanya Adenium bercanda.
Asmoro menepuk dahinya. Dia tatap Adenium penuh cinta. “Apa pertemuan kita ini mau dihabiskan dengan obrolan perempuan berambut jagung itu?”
“Hush! Itu bos kamu, lho, Mas,”
Asmoro memonyongkan bibirnya. Bibir yang sangat seksi, dan Adenium memalingkan wajah. Terlalu seksi, dan jantungnya gemetar.
Sabar, Adenium. Tunggu Asmoro melamarmu, maka bibir itu akan menjadi milikmu, guman Adenium dalam hati. Nakal.
“Bagaimana jika sebelum pulang, kamu aku traktir ke kafe susu. Ada yang asyik, dekat sini. Janji, nggak akan sampai malam. Sekedar mengganjal perut.”
Adenium setuju. Dan keduanya akhirnya berboncengan.
“Pegangan, dek! Aku akan ngebut,” kata Asmoro.
Adenium memegang ujung saku jaket Asmoro. Dan memang seperti itulah yang dilakukannya.
Brem! Asmoro menambah laju motornya. Membuat Adenium kaget. Dengan spontan, dia memeluk pinggangnya Asmoro.
Asmoro tidak berkata-kata. Tapi, senyumnya mengembang. Dia bahagia, mendapatkan Adenium yang demikian baik, walaupun tak ingin sekalipun dijamah.
“Kamu sengaja, ya, Mas? Naik motornya kencang begitu?” Adenium sedikit sewot.
Tidak ada jawaban. Asmoro hanya diam saja.
Jika dia bilang ya, pasti Adenium akan marah. Lalu, melepas pegangan itu.
“Mas, kamu nggak dengar, apa kataku?”
“Apa dek? Kafe susunya? Sebentar lagi. Di situ ada roti bakar rasa srikaya yang enak, lho.” Asmoro sengaja tuli. Dia menjawab dengan melantur.
Dan tak berapa lama, sampailah mereka di kafe itu. Sebuah kafe yang berlampu cukup terang dan meriah dengan nuansa country. Bahkan, pelayan-pelayannya pun berpakaian ala koboi.
Brek! Tiba-tiba seorang lelaki menyenggol bahu Adenium.
“Woi, Mas hati-hati!” teriak Asmoro.
“Ma ... maaf, Mas. Maaf, Mbak! Lho ...,” Lelaki itu menggantung kata-katanya.
Sementara Adenium sudah terlongo. Lelaki berbaju biru, yang sempat diledeknya sama dengan baju Asmoro ini sangat dikenalnya sekarang.
Lelaki yang tadi mengajaknya menikah. Lelaki gila!
“Pak Manihot ...,” desis Adenium mengenali lelaki itu.
Asmoro memandang Adenium dengan mata menyipit. Lalu matanya beralih pada Manihot.
Perasaannya tidak enak. Seolah lelaki ini akan menjadi petaka bagi hubungannya dan Adenium.