Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Voltase Asmoro

Bab 6 Voltase Asmoro

“Oalah, ganteng banget, Si Asmoro.” Seorang perempuan pekerja pabrik memulai gosip pada pria di depannya. Bersama dengan tiga temannya, yang juga perempuan.

“Kece badai!”

“Ganteng sih ganteng, tapi sepertinya sudah punya herder. Tadi kulihat, ceweknya sudah menunggu di halte depan pabrik.”

“Kok tahu? Bukannya selama ini dia jomblo?”

“Jomblo gundulmu! Dia sudah punya cewek tahu. Aku pernah ketemu, mereka jalan berdua di mal.”

“Habis ke mal, kira-kira ke mana, ya?”

“Pasti, berakhir di kamar, ya nggak, he he,”

“Sembarangan. Asmoro tidak mungkin melakukan itu. Dia lelaki baik-baik. Kulihat, ceweknya juga bukan ulat cabe yang meliuk-liuk kecentilan, seperti kamu!”

“Asem, mulutmu!”

Asmoro hanya senyum-senyum sendiri. Dia tak menyangka, dirinya bakal membuat heboh para perempuan di belakangnya.

Sengaja, dia jalan perlahan. Hanya untuk mendengarkan bagaimana komentar para perempuan itu.

Kapan lagi dia dikagumi sedemikian rupa? Demikian pikir seorang Voltase Asmoro.

Dan Asmoro melihat kekasihnya itu sudah duduk di halte. Beberapa teman prianynya sesama pekerja pabrik menggoda, tapi Adenium diam saja.

Perempuan itu tampak melamun. Bengong.

“Hayo, melamunin apa?” Asmoro mengagetkan perempuan berambut panjang dengan helai-helai hitam itu.

Adenium tersenyum kikuk. Mana mungkin dia bilang, jika dia melamunin CEO gila yang tadi mengajaknya menikah.

“Mas!” Suara yang Asmoro kenal terasa hangat di telinganya.

“Eh, Dek! Sudah lama menunggu?”

Adenium, perempuan yang spontan membuat pandangan julid pada keempat perempuan di belakang Asmoro, hanya mengangguk.

“Ooh, lama ya? Maaf, maaf!” kata Asmoro.

“Tak apa, Mas. Aku mengerti kok. Kamu pulangnya jam lima sore. Jadi, aku bisa ke sini duluan.”

Asmoro tersenyum. Dia gamit tangan kekasihnya ini.

Namun, seperti biasa, Adenium berusaha melepaskannya. Ya, perempuan kampung ini tidak pernah mau digandeng. Malu, demikian katanya.

“Ada apa, kok, kamu sampai bela-belain datang ke sini?” tanya Asmoro.

Lelaki tegap, setinggi seratus tujuh puluh delapan centimeter ini menatap kekasihnya dengan semburat kangen. Dia lengkungkan senyum.

Adenium mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah bungkusan koran, yang segera diserahkan pada Asmoro.

“Apa ini, Dek?” Asmoro mengernyitkan dahi. Adenium membalasnya dengan senyum.

“Dari Ibu, Mas. Nggak tahu, dia sayang banget sama kamu, sampai dibuatin itu. Buka aja, Mas!”

Dan mata Asmoro segera berbinar-binar. Dengan cekatan, ia buka lipatan-lipatan koran, lalu menemukan sebuah kemeja berwarna biru. Sama seperti yang ia pakai, tapi ada lis hitam di sepanjang jalur kancing dan saku.

“Apa kemeja seperti ini boleh di pabrikmu? Soalnya, kulihat kemejamu hanya biru polos saja, tidak ada lis hitam,” tanya Adenium ragu.

“Boleh! Boleh banget, malah. Yang penting, warna dasarnya biru dan tidak mengganggu kerja. Selebihnya, boleh dimodif sedikit-sedikit,” jelas Adenium.

“Syukurlah,” kata Adenium lega.

“Astaga! Apa Ibu membuatkan kemeja ini untukku? Aku jadi tidak enak! Dia kan lagi sakit,” kata Asmoro.

Adenium tertawa kecil. Dia lega, jika Asmoro sukacita menerima pemberian ibunya ini.

“Ibu selalu sehat, jika itu berhubungan dengan kamu, Mas. Dia senang menjahit baju ini, jadi ayah dan aku membiarkannya saja.”

“Iya, sampaikan terima kasih pada Ibu, ya. Sampaikan maaf, jika tiga minggu ini belum pernah main lagi ke rumah. Soalnya, kamu tahu sendiri, aku lagi ada tugas kantor di Bogor.”

“Jadi supir atasan kamu, kan?”

“Iya, tuh tahu,” kata Asmoro.

“Hebat, Mas. Pekerja pabrik dipercaya nyupir khusus atasan. Semoga saja, nanti naik jabatan. Barangkali kerja kamu di kantornya, bukan di pabriknya,” kata Adenium penuh harap.

“Aamiin,” kata Asmoro sumringah.

Dan keduanya saling menatap. Tersenyum penuh kembang bersama. Disaksikan rekan-rekan Asmoro, di dalam pos, sembari senyum-senyum sendiri.

“Aku pakai ya,” kata Asmoro tiba-tiba seraya melepaskan kancing-kancing baju, yang sekarang ia kenakan.

“Eh, eh, Mas, kamu mau apa? Apa kamu mau buka baju di sini?”

Asmoro tersenyum simpul. Dia mengangguk cepat.

“Jangan gila kamu, Mas!”

Brak! Baju kemeja biru pabriknya sudah terbuka, menyisakan kaos dalam, yang tak urung memperlihatkan lekuk-lekuk lengan berotot dan tubuh ramping beroti sobek.

Adenium memejam mata. Lalu spontan berbalik.

“Mas, kalau mesum, jangan di sini. Porno tahu!” goda seorang satpam, seraya tertawa terpingkal. Ditingkahi riuh teriakan temannya.

“Mbaknya nggak mau lihat? Wah, masih perawan berarti. Awas! Jangan lihat Mbak, nanti ketagihan,” tukas satpam yang lain.

“Sudah, dek! Aku sudah selasai ganti bajunya. Berbaliklah!”

“Aku tidak mau berbalik,” Adenium mengeleng-geleng. Menciptakan tawa Asmoro.

“Berbaliklah! Aku malu nih, diketawain para satpam!”

BERBALIK. Tiba-tiba, Adenium merasa de javu.

Seketika, dia ingat bahwa kata-kata itu dilontarkan oleh lelaki bernama Manihot Utillissima, yang berarti singkong itu. Pria berpunuk, terlihat bongkok, dan gila.

Bagaimana tidak gila. Tega-teganya, lelaki ini mengajaknya menikah di hari mereka bersapa. Membuat Adenium ketakutan setengah mati.

Plek! Sebuah tepukan bahu, menyadarkan Adenium.

“Berbaliklah. Maaf, jika tadi terasa kurang sopan. Aku terlalu senang, karena dibuatkan baju oleh ibumu,” Asmoro mengajak dengan sebuah kelembutan.

Adenium menuruti. Bagaimanapun, yang Asmoro lakukan tadi ada di tempat umum.

Tentunya, itu tidak akan terjadi apa-apa, seperti meminta Adenium melepas bajunya juga. Kecuali jika itu ditempat sepi, ataupun mungkin di semak-semak.

Ah, pikiran Adenium kemana-mana. Ini karena aksi konyol Asmoro, yang sekarang Adenium lihat tampaknya viral.

Beberapa perempuan pekerja pabrik tampak berhenti. Memperhatikan ulah Asmoro tadi rupanya.

Sebagian melihat Adenium keheranan. Apa perempuan ini belum pernah melihat tubuh kekasihnya? Demikian pikir mereka.

“Apa kamu marah, Dek? Maaf, please,” Asmoro tampak cemas.

“Iya, aku marah. Aku terkejut, Mas. Lain kali, jangan begitu lagi,” kata Adenium. “tak enak, entah apa yang di pikiran satpam dan teman-temanmu tadi.”

“Ya ... mereka mengira kamu gadis baik-baik, karena kamu langsung berbalik dan malu-malu. Apa kamu yakin, tidak mau melihat otot-otot perutku?” goda Asmoro.

Dia yakin, sebentar lagi, dia akan terkena cubitan Adenium. Tiga ... dua ... satu, dan benar saja. Perempuan ini mencubitnya.

“Kita belum jadi siapa-siapa. Kamu berlagak sok tahu, mengira teman-temanmu berpikir aku perempuan baik-baik. Bagaimana denganmu? Apa kamu pria baik-baik?”

Asmoro tercekat. Dia tidak menyangka godanya tadi berbalik menjadi bumerang.

Lelaki ini tersenyum manis. Menatap hidung mancung Adenium, yang tak pernah bosan ia lihat.

“Tentu saja. Selama kita menjadi kasih, aku tak pernah kurang ajar padamu, kan. Bahkan, sekedar kiss pun tak pernah,” goda Asmoro.

Dan Adenium tersenyum. “Makasih ya, Mas. Sudah jaga aku,”

“Sudah sepantasnya, bukan?”

Kiss. Cium. Tiba-tiba, Adenium kembali de javu.

Memikirkan Manihot yang kedapatan sedang saling merasa bibir dengan Femila. Membuatnya kaget, dan merusakkan patung seharga dua puluh juta.

Ah, gila! Kenapa lelaki yang baru ia kenal itu begitu masuk dalam pikirannya?

“Voltase Asmoro!” panggil seorang perempuan penuh wibawa.

Adenium terdiam. Dari jenis panggilannya, sepertinya wanita ini selevel dengan Femila.

Benar saja. Seorang perempuan dengan blazer dan berkacamata hitam mendekati mereka berdua.

“Dia bosku,” bisik Asmoro pada Adenium. “dia bos yang selama beberapa minggu lalu kuantar di Bogor,”

Dan lisan tambahan Asmoro membuat Adenium tidak enak. Bos Asmoro secantik dan sebohai ini?

Apa Asmoro bisa tahan berlama-lama bersama wanita ini? Asmoro kan juga laki-laki, yang katanya punya roti sobek-sobek.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel