Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Menikahlah Denganku

Bab 5 Menikahlah Denganku

“Hei laknat! Kamu mengintip, ya? Berani-beraninya!”

Femila bermuka berang. Membuat Adenium dilanda kepanikan luar biasa.

Dia spontan menggeleng-gelengkan kedua telapak tangannya. Matanya tak kuasa mengalirkan tangis.

“Tidak, Bu! Saya hanya merasa, ada lap kotor tertinggal di meja Pak Manihot. Saya rasa, saya tidak sopan meninggalkannya di sana.”

“Halah! Dasar tukang ngintip! Kamu siap-siap saja dipecat!”

Dan pernyataan Femila itu semakin melemahkan lutut Adenium. Dia tidak bisa berhenti, sekalipun mungkin dapat pesangon. Siapa yang mau membiayai sakit ibunya?

“Maafkan saya, Bu! Saya tidak tahu, jika bapak dan ibu ber ...,”

“ber apa?” pancing Femila dengan senyum sinisnya.

“Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Adenium,” Manihot yang sedari tadi diam, mencoba menjelaskan.

“Alah! Sudahlah, Manihot, jangan dibela orang kampungan ini. Dia mau bilang, jika kita berciuman, iya kan?” serang Femila.

Manihot berdehem. Dan matanya dengan segera menyambarkan amarah.

Femila buang muka. Pura-pura tidak melihat.

“Maafkan saya, Bu,” kata Adenium.

Dalam hati, Adenium mengutuki Manihot. Jika saja lelaki ini tidak sekonyong-konyong mengajaknya ke ruangan CEO, tentu saja kejadian ini tidak akan terjadi.

“Oke. Tapi awas ya, kalau lancang lagi. Kutandai ... sebentar,” Pembicaraan Femila teralih.

Dengan segera, ia menyeruak ke sebuah sumber tatapannya, tepat di belakang Adenium. Saking tergesanya, bahkan Femila mendorong bahu Adenium untuk minggir. Dia melihat sebuah patung keramik yang pecah.

Adenium terhuyung ke samping. Kakinya saling bertautan, membuatnya nyaris oleng.

“Aah!” teriak Adenium.

Brak! Dengan cekatan, Manihot menyangga tubuh yang hendak jatuh itu.

Dan keduanya saling berpandangan. Menyisakan amarah pada Femila, yang dengan segera berbalik badan, begitu adenium berteriak.

“Ehem!” teriak Femila.

Menyadari tatapan itu, Manihot buru-buru menegakkan Adenium. Lalu menyandarkannya perlahan di dinding.

Femila mendengus sinis. Dia semakin iri dengan Adenium. Bisa-bisanya mendapatkan perlakuan istimewa demikian dari Manihot.

“Ehem!” dehem Femila lagi. Dan tangan dengan kutek bermotif bunga itu mengambil pecahan patung yang pecah.

“Saya maafkan, ketika kamu tak sengaja melihat adegan aku dan Manihot. Tapi, lihat ini!”

Femila menunjukkan serpihan cukup besar ke arah Adenium. “Harga patung ini dua puluh juta, lho!”

Cetusan Femila semakin menciutkan Adenium. Perempuan cantik ini semakin terisak menangisnya.

Dan dia sudah bersiap. Tidak hanya dipecat, tetapi mungkin akan didenda. Dua puluh juta? Darimana ia dapatkan itu, sementara upahnya yang standar UMR hanya mencukupi untuk biaya pengobatan Ibu dan makan sehari-hari.

“Maafkan saya, Bu,” isak Adenium.

Dan Femila tertawa angkuh. “Hei! Tukang ngintip! Enak betul, kamu bilang begitu. Maaf tidak bisa dimakan atau buat ganti patung ini, dear!”

“Kalau kamu tidak datang, lalu melakukan hal tak senonoh tadi, mungkin kejadiannya tidak begini, Femila,” Manihot berkata lantang.

“Beuh, cemburu aku, Sayang. Kamu belain dia terus. Serius, aku nanya sekali lagi, dia ini mantan kamu, ya?”

“Cukup, Femila. Hentikan omong kosongnya. Lebih baik, kamu pergi dari sini!”

“Ini perusahaan ayahku, Manihot. Ayahku yang owner, dan kamu tak lebih dari CEO.” Ancam Femila. Kuku-kuku cantiknya mengeras. Ingin ia cakar-cakar wajah Adenium yang ayu itu.

“Lantas, apa kamu ingin aku keluar dari perusahaan ini?” tantang Manihot.

“Aish, kok kamu bicaranya begitu, sayang?” Femila merendah. “aku benar kan? Setidaknya, kamu lebih peduli sama aku.”

“Diamlah! Aku di sini bekerja,” Manihot semakin kesal.

Femila terpojok. Dia tak sangka, jika Manihot berani sekali.

Ada banyak lelaki yang ingin menikmati tubuhnya. Namun, tidak pada lelaki, yang sebenarnya tak sempurna karena berpunuk, yang membuatnya seperti bongkok ini.

“Baik, aku akan pergi. Tapi, pastikan Humas kamu bilang ke perusahaan outsourcing rekanan, kalau mahluk pengintip ini harus dipecat!” tandas Femila.

“Jangaaaan! Tolong, Bu. Saya ganti, tapi nyicil! Saya benar-benar butuh pekerjaan ini,”kata Adenium ketakutan.

Dan kecongkakkan yang hakiki menyembul pada Femila. Deru napasnya licik.

“Boleh! Nyicil, ya! Tapi, kamu bersujud menangis di dekat high heels, sepatu aku!” perintah Femila.

“Kamu konyol, Femila! Sky Raharjo pasti akan sangat malu, punya anak kekanakan begini!” kata Manihot.

Femila terdiam. Mengibaskan rambutnya yang cantik.

“Malu? Apa saya membuat sebuah pelanggaran, Pak CEO? Sudah sepantasnya, kan, jika Adenium ini dipecat. Bukankah demikian dalam instruksi kerja tercantum ya? Merusak barang perusahaan, maka hukumannya ...,”

“Aku akan menggantinya, Femila! Tunai! Siang ini juga, patung yang sama akan ada di lorong ini,” tegas Manihot.

Laksana kaca yang dihancurkan berkeping-keping, begitulah hati Femila. Dia tak mengerti.

Kenapa Manihot demikian membela perempuan, yang bahkan baru dikenalnya, dan berkasta rendah pula. Benar-benar tak masuk akal.

Radar Femila bekerja. Dia bisa lihat, jika lelaki ini mencintai Adenium pada pandangan pertama.

Taik babi! Guman Femila dalam hati.

Aku kalah dari seorang babu tukang bersih-bersih. Ya! Radarnya tak pernah salah.

***

Lima belas menit sudah, usai Manihot menyelamatkan Adenium dari ancaman Femila. Dan kini, perempuan cantik, yang secantik namanya ini sudah bekerja membersihkan ruangan Manihot.

Tidak banyak, yang ia lakukan. Ruangan ini sudah sangat bersih. Berbeda dengan pernyataan Manihot, saat di depan lift tadi, yang seolah-olah ruangan ini sangat jorok dan kotor.

Adenium melap meja dengan perlahan. Dia tidak berani melihat Manihot barang satu detik pun.

Dia sudah jera. Cukuplah karena matanya yang tak bisa dikontrol, dia memecahkan patung di lorong tadi.

“Engsel kamu lepas satu?” tanya Manihot santai, seolah tak terusik. Dia tengah menandatangani beberapa berkas.

“Maaf, maksud bapak?” Adenium mengernyitkan dahi.

“Iya, engsel kamu lepas satu. Tepatnya, di leher. Aku perhatikan, dari tadi lehernya ditekuk. Tak melihat ke mana-mana, selain bawah lantai.”

“Tidak, pak! Leher saya baik-baik saja,” Adenium memaksakan tersenyum.

Setidaknya, dia perlu berterimakasih pada Manihot. Sekelas anak owner, yang ingin memecatnya, berani ditentang lelaki ini. Bukankah itu sangat heroik?

“Yakin? Are you sure?” kata Manihot.

“Sure! Absolutely, i am sure,” kata Adenium.

Dan Manihot terpukau. “Woah, bisa bahasa Inggris juga, tho?”

Adenium menggeleng. Dia lanjutkan lagi mengelap kaca.

“Oh, ya, Pak Manihot terima kasih,”

“Untuk apa?” tanya Manihot.

Dia menatap Adenium, memastikan pikirannya sekali lagi. Sebuah pikiran gila, yang jika dilontarkan pada Adenium sekarang, pasti perempuan ini akan berpikir dirinya tak waras.

Dan hatinya semakin mantap. Pada perempuan bermata coklat ini.

“Bapak sudah mengganti patung yang pecah tadi. Saya sangat-sangat berterima kasih,” kata Adenium berkaca-kaca.

Tak dinyana, Manihot malah tertawa terkekeh-kekeh. Seolah itu adalah lucu.

“Apa menurut kamu, yang aku keluarkan tadi hanya gratis?” tanya Manihot tajam.

Pertanyaan itu sanggup membuat Adenium kembali tegang. Dia remas lap yang ada di tangannya.

“Kalau begitu, berarti harus saya bayar ya, Pak?” tanya Adenium terbata-bata.

Dan Manihot kembali mengukir sebuah senyum wibawa. Pada bibirnya yang tipis, dengan hidung mencuat di atasnya.

“Izinkan saya mencicilnya ya, Pak. Saya tidak sanggup, jika harus sekali bayar,” kata Adenium memelas.

“Tidak, kamu tidak harus melakukan itu, Adenium,” kata Manihot.

Adenium kebingungan. Jadi ..., apa yang harus ia lakukan.

“Maksud bapak?”

“Anggap saja, itu hal pertama yang aku lakukan untukmu,” Manihot masih membuat kata-kata membingungkan Adenium.

“Hal pertama apa ya, Pak?”

“Hal pertama aku sebagai lelakimu. Tepatnya, sebagai calon suamimu. Menikahlah denganku, Adenium!”

Kata-kata itu meluncur deras. Dan Adenium hanya bisa berkata, “Gilaaa, kamu monster!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel