Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Kupikat Kau dengan Gertakan

Bab 2 Kupikat Kau dengan Gertakan

Manihot geli bukan kepalang. Dia kasihan, dengan gadis cleaning service, yang sejak pertama bertemu sudah membuatnya tertarik.

“Apa kamu mau dipecat oleh perusahaan outsourcing kamu?” tanya Manihot dengan tegas.

Matanya mendelik-delik jenaka, sebenarnya. Namun, Adenium terlalu gemetar untuk menatap lelaki bongkok ini.

Ah, gadis ini begitu cantik dan lugu. Sepertinya tidak neko-neko dan menghormatinya.

Sayang, aku tidak bertemu dia, ketika dia tak tahu aku adalah CEO perusahaan ini. Bisa jadi, dia hanya pura-pura menghormatiku, karena aku CEO, guman Manihot dalam hati.

“Kamu mau dipecat, ya? Kok diam saja?” gertak Manihot.

“Sa ... saya takut, makanya hanya diam saja, Pak Manihot,” kata Adenium.

Mata Manihot membulat. “Kamu tahu namaku. Kamu cleaning service baru kan?”

“Tidak, Pak. Saya sudah dua minggu kerja di sini. Biasanya, saya di lantai tiga dan empat. Tapi, pegawai lobi dan lantai dua sedang sakit. Jadi ... saya menggantikannya,” Adenium terbata-bata menjelaskan.

“Sok heroik!” ketus Manihot.

Adenium terdiam. Wajahnya memerah. Dan dia sudah siap menangis.

“Lantas, bagaimana job kamu yang sebenarnya? Kamu malah ngerjain milik orang lain!”

Adenium memegangi dadanya. Dia tak sengaja tersedak. Dan dengan susah payah, dia berusaha menahannya.

“Saya sudah bersihkan kemarin sore, Pak.”

“Lembur? Emang siapa yang bayar?” tanya Manihot ketus.

Sekali lagi, Adenium berdebar-debar jantungnya. Manihot ternyata sungguh menakutkan.

“Tidak, Pak. Saya kerjakan tanpa meminta lembur. Ini juga sebentar lagi bersih, kok, Pak.”

“Edo! Hari ini kita ketemu owner di resort miliknya. Sebaiknya, kamu siapkan diri kamu!” Manihot terdengar tidak menanggapi jawaban Adenium barusan.

“Saya? Dipecat, Pak? Astaga ...,”

“Siapa yang bilang kamu dipecat? Kamu kemarin saya suruh siapkan bahan presentasi untuk peluncuran merek clothing terbaru kita kan?”

“I ... iya, Pak Manihot. Saya bahkan sudah siapkan pilihan logo, beberapa alternatif nama brand, dan tagline segala.” Edo menarik napas lega.

“Kali ini saja ya Edo,” ancam Manihot. “selanjutnya, saya akan memberikan surat peringatan. Karena ... apa yang kamu katakan tadi terlalu kekanak-kanakan.”

Edo menatap lelaki ini dengan tatapan bersyukur. Meskipun kepala boleh hitam, hati siapa tahu.

Dalam hati, Edo mengumpat lelaki ini. Terang saja, dia sebut kekanak-kanakan. Coba, kalau aku yang punya kuasa, apa dia masih berani menyalahkan kata-kataku? Memang dia bongkok macam unta, kok.

Dan kericuhan itu sepertinya nampak usai. Edo, sang tersangka sudah selamat, melenggang masuk lift dengan selamat sentosa. Tentu saja, diiringi dengan Beti dan lelaki dengan setelan jas, yang tadi mengompori Edo.

“Hebat kamu, Do. Berani menghadapi Bos Bongkok itu. Salut aku!” kata lelaki itu. Masih saja dia mengompori Edo.

“Iyalah. Tunggu saja, saatnya dia jatuh!”

“Diamlah! Kalian tidak takut, pembicaraan kalian didengar Pak Manihot apa?” ingat Beti.

Sementara lelaki yang dipergunjingkan masih saja ada di luar lift.

“Hold on, Beti. Please!” kata Manihot.

Beti mengangguk. Dia tekan tombol hold, sehingga pintu lift tetap terbuka.

“Kalian lihat! Gara-gara Edo, Cleaning Service itu kena sasaran Pak Manihot,” tutur Beti. Bibirnya mencuit ke arah Manihot dan Adenium.

“Wow, ternyata Cleaning Service itu tadi cantik banget ya. Kok, aku nggak menggubris ya tadi,” Edo spontan berbinar matanya.

“Iya, Do. Wah, perlu disamperi pas jam kerja. Kali aja, bisa diajak main,” Lelaki berstelan jas tak kalah sumringah.

“Itu karena kalian terlalu sibuk menggunjingkan Pak Manihot,” kata Beti.

“Salahnya, dia hanya Cleaning Service,” kata Edo.

“Lho, kok kamu ngerendahin orang lain,” Beti menggeretakkaan giginya. Mengerem kata-katanya, agar tidak keluar dari luar lift.

“Emang kenapa? Manihot bongkok saja kurendahin. Apalagi dia, yang kerjanya hanya bersih-bersih, paling banter beliin Americano di Cofee Shop depan kantor kita.”

Sementara ketiga staf Green Sky Company ini berdebat, Manihot tampak tenang menghampiri Adenium. Lekat dia tatap perempuan, yang hanya bisa tertunduk leher.

Sudah selayak tikus, yang ketahuan kucing, dalam peringkukan di lorongnya. Adenium terlihat gemetar, tak berani menatap Manihot.

“Menakutkan sekali lelaki ini,” Adenium berguman dalam hati.

Gadis dengan mata bulat yang indah itu hendak menangis. Dan satu lagi, dia ingin PIPIS. Saat ini mengumandangkan harap, semoga saja air seni itu tidak mengalir dari sela-sela pahanya, lalu membanjir di lantai, saking takutnya.

“Siapa namamu?” tanya Manihot.

Tatapan lelaki itu dalam. Masuk langsung ke pusat netra Adenium.

Hatinya merasakan debaran kali pertama. Dan dia ingin memusnahkannya.

Cinta? Apakah ini cinta? Nonsen! Tidak mungkin, guman Manihot.

Namun, rasa penasaran sebesar ini, pada seorang Cleaning Service. Membuat Manihot ingin berteriak INI GILA!

“Siapa namamu? Bisa ngomong kan? Tadi kudengar lancar-lancar saja. Kenapa sekarang gagu?” tanya Manihot.

Gadis itu memberanikan menatap Manihot. Dan ini membuat jantung Manihot semakin akrobatik.

Tidak! Jangan tatap aku seperti itu. Tatapanmu tajam sekali. Dan mempesona!

“Sa ... saya Adenium, Pak Manihot,” jawab perempuan ini, yang mungkin didandani akan lebih pas sebagai bagian humas ataupun seorang sekretaris.

“Adenium?” tanya Manihot ragu.

Dan Adenium – gadis dengan mata indah itu mengangguk. “I ... iya, saya Adenium, Pak!”

Manihot tersenyum. Lalu, dia menoleh ke arah Beti.

“Sudah boleh dilepas tombol hold-nya,” kata Manihot santai.

“Pardon me. A ... apa, Pak?” Beti tak sanggup menyembunyikan wajah yang terkejut.

“Kalian boleh duluan, ya. Aku ditinggal saja,” kata Manihot.

“Yakin, Pak?”

“Sure! A thousand percent, i am sure!”

Dan lift itu pun tertutup. Tersisa Manihot dan Adenium.

Sekarang, mau ke mana kamu, wahai perempuan bernama Adenium, yang secantik Adenium? Geli Manihot, melihat perempuan ini mulai berkeringat dingin.

“Adenium itu nama sayur-sayuran, bukan?” Manihot menaikkan alisnya, pertanda dia sedang mengerjai Adenium.

“Nama sayur? Eh, bukan ... bukan, Pak! Itu nama bunga. Kalo di Indonesia, kerennya disebut dengan Kamboja Jepang,”

Manihot menatap tajam kembali. Dan Adenium terlihat pasrah sekali. Tangannya yang gemetar mencengkram erat tungkai vacum cleaner.

“Kalau begitu, saya panggil Boja, boleh? Kan namanya Kamboja,”

Adenium mengangguk-angguk. Asal saya jangan dipecat, Pak, gumannya dalam hati.

“Serius, kamu mau?” Manihot maju satu langkah.

Kini, Adenium dengan sangat jelas bisa mencium aroma wanginya parfum mahal, yang dipakai lelaki bongkok, tapi tampan ini.

“I ... iya, Pak!”

Manihot tertawa. Benar-benar gadis lugu.

Srek! Tiba-tiba tangan Adenium merengkuh telapak tangan Manihot.

Jreb! Adenium membuat suatu kesalahan. Dia sudah membuat jantung Manihot semakin berdebar kencang.

“Apa-apaan ini? Lepas!” teriak Manihot berwibawa.

“Pak, bapak boleh memanggil saya Adenium, Kamboja, Boja, atau Pak Manihot mau panggil saya Kembang Sepatu juga tak apa. Asal ...,” Suara Adenium tersedak. “Asal jangan lapor, kalo saya menguping ke perusahaan outsourcing saya.”

Dan rebah sudah air mata Adenium. Dia menangis tergugu.

“Tolong saya, Pak Manihot. Saya janji, tidak akan menguping lagi,”

Manihot tersenyum. Meskipun, hatinya juga kasihan dengan sosok ini.

“Boleh, tapi ada syaratnya!” kata Manihot.

Note.

Halo! Romanov Aldebaran di sini. Penulis yang tergabung dalam Romansa Universe. Terima kasih banyak ya, kalian sudah mulai mengiringi novel ini. Semangat untuk kita semua. Tarik, Sis, Melon Hijau, ha ha.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel