Bab 1 Senyum Seorang CEO
Bab 1 Senyum Seorang CEO
“Dia bongkok!”
“Nasib baik saja, dia kesayangan owner, jadi bisa jadi CEO di sini.”
“Bongkok sialan! Sudah bongkok, judes, dan tak punya perasaan,”
Berdenging-denging ejekan itu dilesakkan pada seorang lelaki yang berjalan sedikit terburu. Baru saja dia masuk melewati pintu kaca, pada gedung dengan lobi seluas ini.
Dan Adenium hanya mendengarkannya, seraya asyik mengedarkan selang vacum cleaner ke semua penjuru lantai lobi. Dia tidak tertarik untuk mengikuti apa kata rekan-rekannya itu, yang sedang menunggu giliran masuk di pintu lift lobi.
Rekan? Bagaimana bisa disebut rekan? Dia hanya cleaning service. Bahkan, dia bukan dari perusahaan itu. Dia pegawai outsourcing, rekanan dari perusahaan ini, yang dipekerjakan di sana.
“Namanya saja kampungan. Norak!”
“Hei, berhentilah berkata demikian, Bos sudah mau sampai ke sini,” teriak seorang pegawai yang juga menunggu di lift.
Rekan-rekannya itu melihat. Lelaki bongkok dimaksud sedang berada pada bagian sekuriti.
Lelaki itu menggesekkan kartu masuknya. Dan terbukalah palang besi penghalau. Memang tidak semua orang diperkenakan untuk masuk ke gedung ini.
Adenium saja harus memakai kartu khusus, yang setiap hari akan diaktifkan oleh pihak sekuriti.
Sejenak, Adenium terpaku. Lelaki bongkok – yang katanya adalah CEO Perusahaan ini ternyata sangat profesional. Dan ... tampan!
Andai ia tidak bongkok, mungkin lelaki dengan kemeja biru ini sudah sangat sempurna. Posturnya tinggi, paras wajahnya seperti model-model Amerika Latin.
“Tuh, Si Kampungan sok ngobrol sama sekuriti. Apa dia juga harus mengontrol hal remeh seperti ini!” seorang lelaki berkacamata tebal dengan gingsul tersenyum sinis. “dasar! Pemilik nama norak!”
“Diamlah Edo! Aku tahu, kamu pasti masih sakit hati dimarah-marahi oleh Pak Manihot kemarin, iya kan,” Seorang perempuan dengan rambut ombre coklat yang kekinian menasihati.
“Memang namanya norak kan? Manihot Utillissima, yang artinya ubi kayu. Ndeso banget kan?”
“Edo!”
“Sudah, ah, Beti. Kamu tak usah memperingatkan aku! Si Manihot itu kan memang Si Ubi Kayu. Rasanya nggak enak!”
“Kayak yang udah pernah nyoba aja,” seorang lelaki dengan setelan jas berwarna hitam mengompori. Lagaknya bijak, padahal dia tadi yang melisankan “Nasib baik saja, dia kesayangan owner, jadi bisa jadi CEO di sini.”
“Woi! Mulutmu! Emangnya aku pisang makan pisang? Sialan!” sungut Edo. Sukses membuat lelaki itu tertawa.
“Edo ... di belakang!” desis Beti pelan.
“Halah, gak usah nakut-nakutin ya Beti La Fea,” kata Edo seraya menyangkutpautkan nama Beti dengan sebuah telenovela terkenal era tahun 2000-an.
“Edo!”
“Dia itu CEO terjahat, tersadis, dan sok keren, yang pernah aku lihat. Dasar singkong norak!”
Adenium yang tengah membersihkan sela-sela pot besar dengan lidah mertua alias sansivera yang menjulang tinggi-tinggi, rasanya masih mengingat ujaran lelaki itu. Dan tampaknya, lelaki ini sengaja memancing lelaki bernama Edo.
Pak Manihot sudah melangkah dengan sangat cepat, bahkan dengan sedikit suara ketukan sepatu. Dan sekarang sudah tepat berada di belakang Edo.
Adenium sejenak memandang iba pada Edo. Bagaimana jika lelaki ini dipecat Manihot Si Ubi Kayu alias singkong, yang katanya jahat dan judes ini.
Dan ... tatapan iba Adenium dipergoki oleh Manihot. Lelaki ini sejenak menekuk leher ke samping, memandang Adenium seksama.
Deg ... deg, perasaan apa ini. Kenapa aku gugup? Guman Adenium dalam hati.
Iyalah, gugup. Siapa yang tidak gugup, begitu mengetahui bahwa lelaki yang katanya judes dan jahat ini?
Tak disangka, lelaki ini malah tersenyum. Lalu, dia mengangguk hormat pada Adenium.
Hah? Seorang CEO mengangguk hormat padanya? Sungguh! Ini merupakan peristiwa langkah.
“Singkong parut! Singkong busuk! Woi, kenapa kalian diam begitu. Kalian tersedak? Kalian lupa caranya lucu? Aku lagi melucu, nih!” Edo masih pecicilan.
“Kamu ada masalah dengan nama saya?”
Deg! Suara itu terdengar sangat tenang. Namun, Adenium tahu, suara itu sangat berwibawa dan ... mengintimidasi.
Lelaki bernama Edo, yang ternyata hanya seketiak Manihot tampak menoleh. Wajahnya yang garang tadi berganti pucat.
“Pak ..., apa bapak mendengar, yang saya katakan tadi?” Edo mengeluarkan pertanyaan bodoh. Super bodoh, malah.
“Tidak!” kata Manihot.
Dan jawaban itu membuat Edo sedikit lega. Dia tarik napas panjang-panjang. Pertanda, dia akan selamat dari ancaman CEO ini, yang terburuknya adalah pemecatannya.
“Tidak salah lagi,” tukas Manihot menjabarkan.
“Singkong busuk, nama ndeso, judes, dan jahat. Jadi ..., kamu mau dibuatkan SP 2 atau SP 3 oleh sekretaris saya? (SP – Surat peringatan. SP 3 pada sebagian perusahaan berarti pemecatan.)”
Edo bergeming. Wajahnya sepucat kapas. Atau mungkin selayak vampir yang kekurangan darah.
“Maaf, Pak,” suaranya bergetar.
Dia hendak berlutut. Dan lelaki itu sudah memulai prosesinya dengan berjongkok.
Adenium yang masih membersihkan bagian sekitar lobi ini memilih menjauh beberapa langkah dari area lobi lift ini. Namun, matanya tak bisa diajak kompromi.
Dia ingin tahu, apa yang dilakukan oleh lelaki dengan jabatan CEO kepada anak buahnya yang berujar penuh kebencian padanya? Mungkinkah, seperti sinetron Indonesia?
Atau mungkin, seperti drakor-drakor, yang membuatnya terkecoh. Bos itu seolah memaafkan, tetapi kenyataannya tidak.
“Tidak usah bersujud. Itu memalukan. Kamu pikir kita lagi syuting acara masak?”
Lelaki dengan setelan jas hitam, yang tadi mengompor-ngompori Edo nyaris terkikik. Bagaimana tidak, Bos Bongkoknya ini bilang bahwa mereka syuting acara masak?
Bah, yang benar saja? Ada juga ini terlihat seperti sinetron atau reality show putus-putusan cinta.
“Pak, jangan Pak. Pliz, Pak!”
“Edo, nggak sopan, bilang plaz-pliz begitu,” Beti mengingatkan.
“Aku takut banget, Beti. Pak ..., tolong saya jangan dipecat. Tolonglah, Pak! Ibu saya sakit di kampung.” Edo ketakutan.
Manihot sudah beberapa kali memecat rekannya. Meskipun bukan dengan insiden bully-bully seperti ini, melainkan penyelewengan wewenang dan ada main dengan pemenang tender perusahaan mereka.
Manihot memandang mata Edo, yang membuat Edo dengan segera menundukkan pandangannya. Dia takut. Pandangan Manihot sangat horor, seperti tatapan kuntilanak merah.
Lalu, pandangan Manihot beralih ke samping. Dan mendapati cleaning service ikut memantau kejadian ini.
“Hei, ladies!” seloroh Manihot.
Semua yang ada di situ tertegun. Celingukan.
“Maksudnya, Pak Manihot manggil saya?” Terbata-bata, Beti bertanya, dengan tangan yang menunjuk dadanya.
“Apa saya menoleh ke kamu, Beti?” tanya Manihot.
Beti spontan menggeleng. Tapi, dia masih kebingungan. Jika bukan dia, lalu siapa yang dipanggil Ladies?
“Hei Ladies!” sapa Manihot lagi.
Adenium dengan ketakutan menatap Manihot. Jika bukan perempuan berambut ombre coklat, bernama Beti itu, berarti yang disapa Manihot tentunya dia.
“Iya, kamu yang punya warna mata coklat! Bisa dengar saya kan?” kata Manihot.
“I ... iya, Pak,” kata Adenium gugup.
Lelaki yang tadi tersenyum padanya, kini berubah menjadi sosok menakutkan, seperti Drakula. Pantas saja, bawahannya mengatai bahwa Manihot CEO menyeramkan.
“Kamu tahu, ada yang saya benci, melebihi orang-orang yang mengatai nama saya!” titah Manihot.
Adenium tak berani membantah. Perasaannya jadi tidak enak.
“Pekerja yang melihat pertikaian, sementara dia punya pekerjaan. Saya tidak suka sosok seperti itu dan dia layak dipecat!”
“Maaf, Pak,” Adenium ketakutan. Tangannya gemetar memegangi selang vacum cleaner.
“Apa kamu mau, saya lapor ke perusahaan outsourcing kamu, jika karyawan yang dikirim ke sini tidak layak?”
Note :
Halo! Romanov Aldebaran di sini. Penulis yang tergabung dalam Romansa Universe. Selamat menikmati ceritaku. Semoga kalian suka, ya.