Ancaman Amelia Archer
“Okey, okey. Mommy, kami tidak berbuat seperti yang Mommy pikirkan. Saya masih perawan alias gadis ting-ting dan Kean tidak perlu bertanggung jawab. Lagian, saya juga belum memikirkan untuk menikah. Menikah bukanlah perkara yang bisa dianggap mudah dan enteng. Menikah hanya sekali dan tidak untuk main-main. Karena itu, saya tidak mau menikah dengan anak anda.” Alen kembali menjelaskan dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti.
Kean tersentak mendengar ucapan Alen. ‘Apakah dia barusan menolakku? Hah, drama apalagi ini? Bagaimana bisa dia tidak tertarik denganku? Apa dia tidak tahu betapa banyak wanita diluar sana yang sangat mengimpikan aku? Apa aku kurang tampan atau kurang kaya, gitu?’ Kean membatin dengan wajah kesal.
“Hahaha, Mommy suka sama kamu, sayang. Bahkan sangat suka malahan. Biarlah, meskipun kamu mengatakan bahwa kalian tidak melakukan apapun, Mommy tetap tidak percaya karena buktinya sudah ada di depan mata.” Amelia memutar otaknya untuk mengikat Alen. Dia menunjuk ke arah sprei yang bernoda merah.
Selanjutnya, dia menatap Alen dan Kean secara bergantian. Amelia menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh kedua orang tersebut.
“Tetapi, Mom…” Ucapan Alen terhenti karena dipotong oleh Amelia. Jantung Alen berdetak dengan sangat kencang mendengar ucapan Amelia barusan. Bagaimana mungkin dia harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya? Jangankan saling mencintai, saling kenal saja tidak. Beragam masalah mulai menghampiri kepala Alen.
“Mommy tidak menerima alasan, sayang.” Amelia memeluk Alen dengan erat seraya mengusap punggung gadis itu dengan sayang. Hatinya sangat bahagia bertemu dengan seorang gadis seperti Alen. Jujur, terbuka dan tidak neko-neko bahkan boleh dikatakan bahwa Alen tidak berprioritas terhadap uang.
“Tetapi mengapa harus menikah sanksinya, Mommy?” Alen mendesah dengan berat. Nafasnya mendadak terasa sesak mendengar ucapan Amelia. Dia tidak tahu harus berkata apalagi. Harus bagaimana lagi cara menjelaskan semuanya. Alen seakan kehabisan akal memikirkan semuanya. Dia menatap Amelia dengan wajah yang memohon.
“Kamu masih bertanya mengapa harus menikah? Bagaimana jika ada yang tumbuh di dalam sini, sayang?” Mommy Amel mengusap perut datar Alen. Seketika jantung Alen berdetak dengan sangat kencang. Sepanjang itu dia menjelaskan, ternyata semua penjelasannya itu tidak ada artinya bagi Amelia.
Alen hanya menatap ke arah Kean dengan pasrah. Sedangkan Kean terlihat memijit pelipisnya. Kepalanya terasa pusing memikirkan semuanya. Pengaruh alkohol belum hilang dari tubuhnya, sekarang ditambah lagi dengan salah paham ini.
“Pakai dulu pakaian kamu,” ucap Kean saat pelayan mengantarkan pakaian yang telah di pesannya tadi.
Alen segera mengambil paper bag yang disodorkan oleh Kean. Tanpa permisi, dia berjalan dengan cepat menuju kamar mandi. Alen mengambil sisir di dalam tas. Setelah selesai, akhirnya dia keluar dengan baju kaos longgar dan celana levis panjang. Pakaian tersebut terasa pas di tubuhnya.
“Kamu sangat cantik dan baik, sayang,” puji Amelia saat melihat Alen yang telah keluar dari kamar mandi. Dia menatap Alen dengan wajah yang bersinar memancarkan kebahagiaan. Lebih tepatnya bahagia diatas penderitaan anaknya yang terlihat sedang pusing.
“Terima kasih, Mommy,” balas Alen dengan tersenyum lembut. Dia tidak mungkin berkata kasar kepada Amelia. Setidaknya mereka akan menjelaskan semuanya besok setelah suasananya agak tenang. Sekarang tubuhnya terasa sangat lelah dan pusing dengan semua kejadian yang menguras emosi dan tenaga itu.
“Yaudah, sekarang kita pulang. Kamu antarkan Alen pulang dan setelah itu langsung pulang kerumah. Ada banyak hal yang mau Mommy bicarakan.”
“Bicaranya besok saja, Mom. Aku capek dan mau istirahat. Ditambah lagi dengan salah paham Mommy.” Kean berkata dengan ketus. Dia menendang kaki kursi yang berada tepat di depannya. Pria itu sangat kesal seakan sedang menyalurkan emosinya.
“Mommy tunggu besok di rumah!” Setelah mengucapkan hal tersebut, Amelia memutar tubuhnya untuk keluar dari kamar hotel tersebut. Dia menggenggam telapak tangan Alen dengan lembut. Alen hanya menatap Amelia dengan terkejut dan heran. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran orang kaya tersebut.
“Terima kasih, sayang,” ucapnya kepada Alen.
Alen hanya menatap Amelia dengan kening yang berkerut heran. Pikirannya menjadi kacau karena masalah yang tidak terduga tersebut.
“Mommy pulang, kamu diantar Kean saja!”
“Tidak usah, Mom. Saya bisa pulang sendiri dengan taksi.”
“Mommy tidak menerima penolakan. Kean, antarkan calon menantu Mommy pulang. Pastikan Alen selamat sampai di rumah atau kamu akan Mommy coret dari Kartu Keluarga!”
Tawa Alen hampir saja terlepas saat mendengar ucapan Mommy Amelia. Bagaimana tidak, semuanya main ancam saja dan terlebih saat melihat wajah kesal Kean. Dari awal pembicaraan sampai sekarang semuanya terasa seperti ancaman bagi Kean.
Setelah kepergian Mommy Amelia, Kean segera keluar dari kamar hotel tersebut. Mereka melangkah beriringan memasuki lift. Tidak terdengar lagi pembicaraan dari keduanya. Masing-masing sibuk dengan pemikiran sendiri. Wajah mereka terlihat sangat kusut layaknya pakaian yang sudah satu bulan tidak tersentuh oleh gosokan.
“Aku bisa pulang sendiri dengan taksi. Tidak usah diantarkan,” ucap Alen saat mereka sudah sampai di tempat parkir. Dia tidak ingin merepotkan Kean apalagi sampai berhutang budi dengan pria menyebalkan itu.
“Masuklah, aku tidak mau bertengkar. Atau kamu memang bahagia jika aku dicoret dari Kartu Keluarga?”
“Hah? Bukan begitu. Aku hanya tidak ingin merepotkan. Kamu tinggal bilang sama Mommy bahwa sudah mengantarkan aku. Berbohong demi kebaikan itu tidak masalah,” Alen berkata dengan gugup sambil mencari alasan lain.
“Jangan main-main, Alen. Mommy tidak pernah main-main dengan ucapannya. Please!”
“Baiklah,” jawab Alen dengan pasrah seraya membuka pintu mobil. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di samping kemudi. Sekilas dia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Hufh, mengapa semuanya menjadi seperti ini?” desahnya dengan nafas yang terdengar sesak.
Kean hanya menoleh sesaat kepada Alen. Perlahan mobil mewah tersebut menyusuri jalanan malam di tengah pusat kota. Lebih tepatnya sudah dini hari. Akan tetapi, jalanan masih terlihat ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang.
“Simpan nomorku,” ucap Kean seraya menyebutkan nomor teleponnya. Alen menoleh ke arah Kean dengan kening yang berkerut.
“Untuk apa?” tanyanya dengan heran. Dia tidak mempunyai kepentingan dengan Kean setelah ini. Semua ini hanya karena Joan yang memaksa. Jika bukan karena Joan, maka mereka tidak akan terjebak dalam kesalah pahaman ini.
“Kamu masih nanya untuk apa? Apa kamu nggak paham dengan semua ucapan Mommy tadi? Bisa-bisa besok malah aku yang disalahkan. Pastinya besok Mommy akan memintaku untuk menghubungi kamu karena akan membicarakan pernikahan kita.”
“Kamu jangan bercanda, Kean. Aku tidak mau menikah dengan kamu!” tegas Alen dengan wajah kesal dan marah. Dia tidak menyangka jika Kean juga menanggapi semuanya dengan serius.
Seketika dunia Alen berubah menjadi gelap. Dia benar-benar belum memikirkan untuk menikah dan berumah tangga. Alen belum siap untuk terikat dengan Kean.
Kean menginjak rem dengan mendadak hingga kepala Alen terbentur pada dasbor mobil. Gadis itu mengusap keningnya yang terasa sakit.