BAB 7
"Iya, ibunya meninggal ketika melahirkan dia. Karena itu Theo menamai putrinya Grace, sama dengan nama istrinya." Sarah menelan ludah sambil terus menatap Rachel. Membicarakan Grace selalu membuatnya merasa pilu.
"Lalu, apakah dia menikah lagi?" tanya Rachel ragu.
"Tidak, laki-laki itu sepertinya masih sangat mencintai almarhum istrinya sampai terus bertahan sendirian. Aku yakin dia mencari perempuan yang sama seperti istrinya. Aku sudah katakan, sampai mati pun pasti tidak akan bertemu dengan wanita seperti Grace!" ucap Rachel terdengar seperti mengejek, tapi sebenarnya merasa kasihan.
Sarah yang masih terkejut mendengar penjelasan Rachel tiba-tiba seperti mendapat hadiah yang sangat dia inginkan.
'Dia single. Dia bukan suami seseorang.' Sarah terus berguman di dalam hatinya dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Suasana hati Sarah tiba-tiba menjadi sangat baik. Ternyata cintanya tidak salah, dia boleh memiliki rasa itu. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati Sarah.
"Bagaimana hubungan kau dan Theo? Kalian sama-sama single. Menurutmu apa dia menyukaimu?" tanya Sarah penasaran.
"Ha! Dia dan aku tidak memiliki perasaan itu. Aku sudah menganggapnya seperti keluarga, karena dia menikahi sepupuku. Aku yakin dia juga beranggapan seperti itu." Sarah mengangguk lega.
"Sudahlah, cukup membicarakan tentang Theo. Sebaiknya kau bersiap-siap untuk mengajar!" perintah Rachel sambil berjalan ke arah ruangannya.
Sarah berjalan menuju ke kelasnya sambil bersenandung. Dia menyusun bukunya dengan rapi di meja samping piano, lalu dia mengeluarkan tisu dari tasnya dan mulai membersihkan tuts-tuts piano dengan perlahan. Dia tidak bisa berhenti tersenyum. Padahal biasanya dia akan menyeka tuts-tuts itu sambil mengomel karena seharusnya itu menjadi tugas Ronald, si office boy.
"Selamat sore Miss," sapa murid Sarah seorang gadis muda yang tampak kelelahan karena baru pulang kuliah.
"Selamat sore," jawab Sarah dengan ceria dan bersemangat. Gadis muda itu mengernyitkan dahi karena heran. Ini kali pertama dia melihat guru pianonya tampak begitu bersemangat.
***
Sudah dua hari rekan-rekan Sarah membahasnya di belakang. Mereka heran melihat perubahan yang sangat signifikan dari sikap Sarah dua hari ini.
"Tumben dia selalu tersenyum dan menyapa semua orang dengan ramah." bisik Dono di ruang tunggu guru, tepat setelah Sarah keluar dari sana untuk mengambil sesuatu.
"Iya benar, padahal biasanya dia selalu tampak lelah dan tidak bersemangat. Saat disapa jawabannya cuma mmh," sahut Catri heran.
"Apa mungkin dia menang lotre?" komentar guru lain.
"Apapun alasannya semoga itu bertahan lama. Aku selalu ketakutan melihat wajahnya setiap kali selesai mengajar," ucap Dono penuh harap.
Sarah sendiri menyadari perubahan suasana hatinya. Sejak mengetahui bahwa Theo seorang duda, dia sangat bahagia. Rasanya dia tidak sabar untuk bertemu Theo lagi, memandang wajah tampannya dan mendengar suara merdunya.
Sayangnya hari ini dia tidak bisa menikmatinya sendirian. Rachel memaksa untuk ikut Sarah ke rumah Theo. Dengan alasan, ingin mengobservasi cara mengajar Sarah. Dia juga memaksa Sarah untuk berangkat bersama dari Cantilena.
"Cepatlah, Grace anak yang sangat tepat waktu. Kalau kita terlambat karena macet, dia pasti akan mengamuk," paksa Sarah yang sudah tidak sabar lagi.
"Aku sudah selesai. Ayo berangkat," ajak Rachel sambil memakai tasnya.
Perjalanan yang biasanya bisa ditempuh Sarah selama tiga puluh menit kini menjadi satu jam karena kemacetan jalan. Untungnya mereka tiba tepat waktu.
Grace sudah berdiri tegak di samping piano, sementara Theo duduk di kursi piano ketika Sarah dan Rachel masuk ke rumah.
"Bernyanyi? Bernyanyi?" seru Grace tidak terkendali begitu menyadari kehadiran Sarah.
"Ayo kita bernyanyi," jawab Sarah segera meletakkan tasnya di sofa dan berjalan terburu-buru ke arah piano. Rachel hanya berdiri diam, memperhatikan Sarah yang segera memainkan jari-jarinya di atas tuts-tuts piano. Dia bahkan tidak sempat mengatur napasnya setelah berlari dari mobil.
Theo menghampiri Rachel lalu memintanya duduk sambil mendengarkan Grace dan Sarah.
"Suaranya indah sekali," bisik Rachel kepada Theo, setelah mendengar Grace bernyanyi.
"Aku juga baru tahu kalau dia mewarisi suara ibunya," sahut Theo berbisik.
"Mendengar suaranya membuat aku merindukan ibunya." Rachel membuang napas pelan, dadanya sesak. Dia sangat menyayangi Grace, istri Theo, seperti saudara kandung. Theo mengangguk, dia juga merindukan almarhum istrinya.
Tidak terasa 45 menit berlalu. Rachel dan Theo sangat menikmati kelas Sarah. Sebagai seorang guru Sarah sangat pintar dan menyenangkan. Sarah mampu membuat Grace bertahan selama 45 menit tanpa mengamuk karena lelah atau bosan. Bahkan Rachel dan Theo merasa waktu 45 menit berlalu sangat cepat.
"Ternyata kau adalah guru yang sangat luar biasa," puji Rachel setelah Grace kembali ke kamarnya untuk menonton acara luar angkasa kesukaannya.
"Terima kasih. Andai kau lebih sering memperhatikan, kau pasti sudah menyadarinya sejak dulu," bisik Sarah tapi Theo mendengarnya.
"Dasar besar kepala!" ejek Rachel lalu mereka berdua tertawa.
"Nona Sarah, apakah anda punya waktu lain? Saya ingin menambahkan waktu kursus Grace, agar dia tidak terlalu lama berdiam di kamarnya."
"Pasti punya," jawab Rachel mewakili Sarah yang langsung memelototinya.
"Saya berencana memberi dia pelajaran lain selain bernyanyi, mungkin bermain piano atau alat musik lain yang Nona Sarah kuasai."
"Dia sangat jago bernyanyi, memainkan piano, gitar bahkan memainkan drum. Silakan pilih kau ingin Grace belajar apa," seru Rachel bersemangat.
"Kenapa tidak belajar hal lain selain musik? Olahraga misalnya atau seni lain seperti melukis?" tanya Sarah tanpa menghiraukan Rachel yang baru saja mempromosikannya.
"Sudah pernah aku coba, tapi tidak berhasil. Mungkin bukan masalah bidangnya tapi masalah pengajarnya. Dan sepertinya dia cocok dengan anda," jawab Theo dengan sopan.
"Baik, kalau begitu nanti kami akan bicarakan jadwal yang pas untuk kelas Grace," sahut Rachel yang langsung dipotong oleh Sarah.
"Tuan Theo, sebaiknya nanti kita bicarakan lagi. Kalau ada kelas lain, maka mari kita bicarakan tanpa melalui sekolah musik, terutama mengenai pembayarannya," ucap Sarah sambil tersenyum. Rachel melongo mendengar kata-kata Sarah.
"Sarah, kau mulai lagi. Sangat perhitungan," keluh Rachel kesal.
"Apakah kau tidak perhitungan? Aku yang mengajar mengapa sekolah harus dapat bagian?" jawab Sarah ketus.
"Tapi kau dapat pekerjaan ini melalui aku. Jadi apa salahnya berbagi dengan sekolah?"
"Kau memberikan pekerjaan yang pertama, kita sudah membaginya. Yang kali ini aku mendapatkannya sendiri jadi semuanya hakku," tegas Sarah.
"Aku benar-benar tidak percaya. Akhir-akhir ini kau benar-benar sangat perhitungan. Kau hidup sendirian, memangnya mau kau apakan semua uangmu?" tanya Rachel kesal. Sudah tiga tahun belakangan ini Sarah berubah menjadi sangat perhitungan, sungguh berbeda dengan dirinya yang sebelumnya. Rachel tidak tahu apa sebabnya, tapi dia tidak menyukainya.
"Uangku adalah urusanku. Aku tidak punya kewajiban melaporkannya kepadamu."
"Maaf, kalau begitu, untuk kursus berikutnya kita bicarakan lain waktu saja," potong Theo yang merasa tidak nyaman dengan pembicaraan antara Sarah dan Rachel.
Theo tidak percaya dengan apa yang di dengarnya dan itu membuatnya semakin tidak menyukai Sarah. Kalau bukan karena putrinya Grace mungkin Theo sudah mengusir Sarah dari rumahnya.
Theo berguman dalam hatinya, 'ternyata selain pemarah dan tidak sopan, perempuan ini juga mata duitan. Benar-benar kecantikan yang sia-sia.'