BAB 6
"Nadine." Dengan suara sedikit bergetar Sarah memanggil nama adik tirinya.
"Kalian saling kenal?" tanya Theo heran.
"Ya, dia anak ayah tiriku," jelas Nadine sambil tersenyum palsu.
"Dunia ini memang sempit. Ternyata kau keluarga guru musik putriku." komentar Theo tidak percaya. Dalam sehari dia sudah mendapatkan dua kejutan.
"Nona Sarah, Nadine adalah sekretaris baru saya. Ada beberapa pekerjaan yang harus segera kami selesaikan. Tapi saya juga ingin melihat kelas musik pertama Grace, karena itu saya memintanya membawa pekerjaan kesini," jelas Theo canggung. Sarah mengangguk.
"Nadine, ini putriku Grace."
"Halo Grace," sapa Nadine mencoba meraih tangan Grace.
"Berhenti!" perintah Sarah cepat. Nadine langsung menghentikan gerakannya dan menatap Sarah dengan tajam.
"Dia tidak suka disentuh." Nadine mengalihkan pandangannya ke arah Theo yang mengangguk tanda setuju dengan perkataan Sarah.
"Nona Sarah bisa lanjutkan lagi pelajarannya. Nadine dan saya akan ke ruang kerja," ucap Theo sambil memberi tanda kepada Nadine untuk mengikutinya.
Nadine berjalan tegak mengikuti Theo, lalu dengan sengaja mengibaskan rambut panjangnya ketika melewati Sarah, hingga ujung rambutnya mengenai wajah Sarah.
'Brengsek!' maki Sarah dalam hati. Dia tidak bisa melakukan apapun karena Grace masih berdiri di sampingnya.
Sarah benar-benar kesal, bukan hanya karena tingkah Nadine tapi juga karena Theo terus memanggilnya dengan panggilan formal dan memanggil Nadine dengan kasual. Mereka tampak terlalu akrab untuk hubungan seorang bos dan sekretaris. Sarah yakin istri Theo pasti tidak suka melihat kedekatan Theo dan Nadine.
"Bernyanyi? Bernyanyi?" pinta Grace setelah Theo dan Nadine masuk ke dalam ruang kerja Theo. Sarah segera berjalan kembali ke piano dan memainkannya untuk mengiringi Grace bernyanyi.
Selama mengajar Grace, Sarah sangat kesulitan untuk tetap fokus. Matanya terus menatap ruang kerja Theo yang tertutup rapat. Meski sesekali dia memuji Grace atau memperbaiki cara Grace bernyanyi tapi pikirannya terus ke ruang kerja Theo.
'Pekerjaan apa yang harus dibicarakan selama itu?' batin Sarah kesal.
"Selesai! Sudah 45 menit. Sekarang menonton acara luar angkasa." Grace langsung mengepak-ngepakkan tangannya sambil tersenyum senang. Sarah bermaksud menahannya lebih lama. Agar bisa menunggu Theo dan Nadine selesai, tapi dia takut hal itu akan membuat Grace tantrum.
"Baiklah, selamat menonton," jawab Sarah pasrah. Tepat setelah mengucapkan itu, pintu ruang kerja Theo terbuka.
"Kalian sudah selesai?" tanya Theo yang langsung mendatangai Sarah dan Grace.
"Sudah selesai. Sudah selesai. Tinggal tiga menit lagi acara luar angkasa akan dimulai," ucap Grace tampak gelisah, kakinya mulai dihentakkan dengan pelan.
"Kalau begitu, cepat naik ke kamarmu," seru Theo sambil menunjuk tangga. Grace segera berjalan dengan cepat ke kamarnya tanpa mengatakan apapun kepada Sarah.
"Kalau begitu, saya juga harus pulang," ucap Sarah sambil melirik jam tangannya.
"Kau pulang naik apa kak?" tanya Nadine seakan-akan peduli dengan Sarah.
"Kereta bawah tanah," jawab Sarah dingin.
"Kalau begitu, pulang bersama saja. Aku bawa mobil."
"Tidak usah," tolak Sarah sambil membereskan tas dan buku-buku musiknya.
"Kalau tidak, biar aku antarkan ke stasiun kereta. Daripada berjalan kaki," bujuk Nadine. Theo mengangguk tanda setuju.
"Aku lebih suka jalan kaki!" seru Sarah ketus.
"Tapi Ka-"
"Aku bilang tidak usah!" bentak Sarah tanpa sadar.
"Tuan Theo, saya permisi. Sampai bertemu lagi lusa." ucap Sarah dengan nada suara yang sangat berbeda dengan nadanya ketika berbicara dengan Nadine tadi.
"Baik, terima kasih Nona Sarah," jawab Theo sopan. Sarah segera keluar dari rumah Theo dengan langkah besar dan cepat. Nadine dan Theo memandang Sarah yang dalam sekejap sudah hilang dari pandangan mereka.
"Maafkan kakakku, dia memang memiliki sifat yang kurang baik. Pemarah dan tidak sopan," ujar Nadine dengan wajah sedih, saat akan berpisah dengan Theo di depan pintu.
Theo hanya mendengus tanpa memberi komentar apapun. Meski dia setuju dengan Nadine tapi rasanya tidak pantas membahas orang yang baru saja dia kenal. Walau menurutnya Sarah tampaknya memang memiliki sisi yang kurang baik.
'Mungkin karena wajahnya cantik jadi sikapnya agak sombong dan tidak sopan,' guman Theo dalam hati. Lalu menyadari pikirannya yang aneh. Sudah lama dia tidak menganggap seorang wanita cantik.
"Yah dia memang lebih cantik dari Rachel dan Nadine. Tapi sikapnya jauh di bawah mereka," ucap Theo meyakinkan dirinya bahwa pujiannya atas kecantikan Sarah, hanya karena dia membandingkannya dengan Rachel dan Nadine.
***
Nadine mengendarai mobilnya dengan kesal. Sudah berminggu-minggu dia berusaha keras untuk menarik perhatian Theo dan tampaknya hampir berhasil. Tiba-tiba Sarah muncul di rumah Theo.
"Bisa-bisa usahaku gagal!" pekik Nadine dengan marah sambil memukul kemudi mobilnya.
Bagi Nadine, Sarah adalah saingan terberatnya dalam mendapatkan pria. Sejak remaja, Sarah selalu mencuri perhatian pria-pria yang disukai Nadine. Sarah memang tidak berbuat apa-apa, tapi wajahnya selalu membuat para pria jatuh cinta padanya. Nadine selalu menjadi pelarian setelah mereka gagal mendapatkan Sarah.
"Tidak, kali ini aku tidak akan membiarkan dia menang. Kali ini Theo harus menjadi milikku!" tekad Nadine sambil menggenggam kemudi mobilnya dengan keras. Dia berencana akan melakukan apapun juga untuk menjauhkan Theo dari Sarah.
Sementara di tempat lain, Sarah juga merasa sangat marah. Dia sadar kini Theo akan menilainya buruk karena tindakannya tadi. Sarah membenci sikapnya yang tidak pandai bersandiwara. Dia bagaikan buku yang terbuka. Orang tahu apakah dia senang, sedih atau marah. Dia tidak pernah membungkus perasaannya dengan sikap yang bertentangan.
Sementara Nadine sangat berbeda darinya. Sejak kecil dia sangat pandai menutupi perasaannya. Sarah sering iri kepada Nadine karena semua orang menyukainya. Sikapnya yang selalu manis walaupun kesal, bahasanya yang selalu lembut meskipun marah, membuat orang-orang kagum dan senang berada di dekatnya.
Sarah masih ingat betapa menyakitkannya menjadi satu-satunya orang yang tidak diajak bicara dalam acara keluarga. Semua orang mengerubuti Nadine, sementara Sarah diacuhkan. Satu-satunya hal yang membuat orang meliriknya adalah piano dan suaranya. Mereka hanya mengaguminya ketika dia bernyanyi dan bermain piano.
"Bagaimana kelas pertamanya?" tanya Rachel yang sudah menunggu kedatangan Sarah di lobi Cantilena.
"Biasa saja. Kau berharap ada kejutan apa?" jawab Sarah ketus.
"Kau kenapa? Apa ada masalah dengan Theo? Kenapa langsung marah-marah?" balas Rachel dengan kesal.
"Maaf, aku hanya capek. Tidak ada masalah dengan Theo." Sarah merendahkan nada suaranya. Dia sadar tidak seharusnya melampiaskan kekesalannya kepada Rachel.
"Bagaimana dengan anaknya?"
"Oh itu dia kejutannya. Ternyata Grace adalah salah satu muridku di Sekolah Pioneer. Dia adalah muridku yang paling brilian, suaranya sangat indah dan musikalitasnya luar biasa. Sepertinya musik memang sudah ada di dalam darahnya," jelas Sarah dengan bersemangat. Dia memang selalu bergairah setiap kali membicarakan tentang murid-muridnya, terutama yang dekat di hatinya.
"Ternyata bakat dan kemampuan almarhum ibunya mengalir di dalam tubuhnya. Andai ibunya masih hidup, dia pasti sangat bangga dengan putri kecilnya." Rachel berbicara sambil menatap dinding putih yang ada di belakang Sarah dengan mata yang mulai berair. Sementara mata Sarah membesar mendengar ucapan Rachel.
"Almarhum?"